#DB- 001- Dibalik Rasa Bahagia

1417 Kata
Malam ini, gue memutuskan untuk tidak berkutat dengan apapun. Tidak dengan ponsel, tidak dengan makanan, dan juga tidak dengan lapotop yang berisi file skripsi yang masih harus gue edit. Karena ada aja typo yang nyempil dan lolos dari mata gue. Gue hanya berbaring di kasur dengan posisi terlentang. Seraya menatap langit langit kamar yang cat plavonnya sudah mulai mengelupas. Kapan kapan gue akan bilang ke ibu kos, buat cat ulang plavon kamar gue. Gue gak tahu, apa cuma gue aja atau orang-orang di luar sana juga pernah ngerasain. Kadang, gue merasa kalau terlalu bahagia itu adalah tanda kalau kesedihan sudah sangata amat dekat dan akan menyapa kita setelah fase kebahagiaan itu berkahir. Seharian ini, gue bahagia banget. Selain karena besok adalah hari di mana gue kembali ke lab Kimia, buat ngecek hasil penelitian, gue juga bahagia karena hubungan gue sama pak Gala udah gak buram lagi. Maksudnya gak buram, itu karena sekarang kita berdua udah sama sama saling tahu. Sama sama paham akan hal-hal yang terjadi di masa lalu yang tidak sempat dia jelaskan dan hal hal yang terjadi di masa sekarang sudah menemui titik terang. Ya. Kenapa pak Gala menyebalkan setiap kali gue bimbingan sama dia? Kenapa pak Gala tahu banyak hal tentang diri gue? Bahkan hal hal yang terjadi di masa kecil gue. Lalu kenapa kenapa yang lainnya pun ikut terjawan setelah beberapa kesempatan yang diberikan Allah untuk meluruskan simpul masalah yang kusut antara gue dan Gala. Menghela dan mengembuskan napas panjang merupakan aktivitas baru yang akhir akhir ini gue lakukan. Entah kenapa, setelah melakukannya gue merasa seolah olah beban berat di pundak dan kepala gue ikut keluar bersama keluarnya karbondioksida yang keluar dari sistem pernafasan. Bunyi detakan jarum jam berwarna biru kehijauan yang tertempel erat di dinding kamar, seolah menjadi paduan yang pas dengan suara detak jatung serta hembusan napas yang gue lakukan. Paduan yang pas untuk mengisi keheningan malam yang belum bisa gue taklukan. Padahal, tadi sore gue cuma minum s**u deh. Gak ngopi sama sekali. Kenapa mata gue kayak ditunjang di kedua kelopaknya? Gak ada ngantuk ngantuknya sama sekali. Padahal, jarum jam di dinding sudah berada tepat di angka dua belas. Itu artinya ini sudah larut malam. Sebisa mungkin gue nahan tangan gue biar gak bergerak ke atas nakas samoing tempat tidur. Lalu meraih benda berbentuk pipih berwarna hitam itu sekarang juga. Sebab, selain gue lagi gak mau diganggu dengan berbagai chat yang muncul di notifikasi ponsel, gue juga gak mau bikin mata gue tambah segar alih alih ngantuk, gue malah makin susah tidur saat sudah bertatapan dengan benda persegi bernama ponsel itu. Namun, tetap saja, gue kalah dengan rasa penasaran gue yang membuncah. Saat kedua mata gue menangkap kedipan yang berasal dari layar benda berbentuk pipih itu. Layarnya berkedip berkali kali. Itu artinya ada sebuah panggilan telepon yang entah dari siapa. "Halo, Assalamu'alaikum pa," sapa gue pertama kali saat tahu papa udah nelpon gue untuk yang kesebelas kalinya. "Papa lagi ngeprank Alina ya?" tanya gue skeptis masih dengan kekehen kecil di bibir. "Pa, ini udah malam. Tengah malam malah, Pa. Bisa-bisanya papa ngeprank anak sendiri tengah malam begini?" Gue masih saja meracau. Padahal tidak ada nada bercanda sama sekali dalam suara papa. "Bentar lagi, Gala akan ke kossan buat jemput kamu. Mama kamu nyebut nama kamu terus, Ka. Kamu jangan ngedrop ya. Anak papa kuat! Papa yakin itu. Yaudah ya, nak. Papa harus nemenin mama kamu di kamar. Kabarin papa kalau sudah di jalan." Setelah kalimat panjang dan diakhiri salam oleh papa tanpa menunggu jawaban dari gue yang masih ngerasa kalo ini mimpi, panggilan itu diakhiri papa begitu saja. Gak! Gak mungkin mama jatuh sakit dan harus dilarikan ke ICU. Gue gak percaya. Baru tadi pagi, mama ngajak gue videocall padahal gue lagi di kantin kampus. Baru tadi pagi mama bilang kalau gue harus makan dengan baik dan jaga kesehatan. Baru tadi pagi gue liat mama gue baik baik aja. Kenapa? Kenapa secepat ini? Air mata gue sudah mengucur deras mengalahkan derasnya air terjun. Meski masih tidak percaya dan terpukul. Gue tetap bangkit dari kasur. Mengambil beberapa lembar pakaian dari lemari. Lalu memasukkannya ke ransel dengan asal diiringi oleh air mata yang terus saja terjun bebas dari kelopaknya. Dada gue mendadak sesak. Gue gak bisa mikirin apapun kecuali mama. Di dalam kepala gue cuma ada mama yang tengah merintih kesakitan seraya memanggil nama gue. Setelah selesai memgenakan jilbab dan cardigan abu yang membalut tubuh. Gue bergegas keluar kamar. Menyambar sepasang sepatu dengan asal lalu memakainya dengan cepat. Tepat setelah gue berdiri dan membuka pintu kontrakan. Seseorang yang papa sebut di telepon tadi, kini sudah berdiri di hadapan gue. Gue gak mau menghabiskan waktu hanya untuk memastikan dia benar benar Gala apa bukan. Yang gue lakukan hanya mengunci pintu kontrakan dan bergegas mendahuluinya memasuki mobil berwarna putih yang kini terparkir di halaman. "Kamu baik-baik aja kan, Al?" Gue yang baru saja selesai memasang sabuk pengaman, beralih menoleh pada si penanya. Gurat kekhawatiran di wajahnya nampak begitu jelas. Hampir saja gue ingin berteriak padanya, "Lo gak liat sekacau apa muka gue sekarang?! Baik baik aja dari Hongkong?! Cuma orang gila yang baik baik aja saat tahu orang yang berharga dan ia sayang dalam keadaan sakit!" Tapi, gue urungkan saat ia mulai mengemudi mobilnya dengan cepat keluar dari perkarangan kampus. Menuju jalan besar dan bergabung dengan kendaraan lain yang masih melintas. Terlebih, dia sudah berbaik hati mau menjemout gue ke sini. Gue gak boleh jahat, kan. "Sebelum ke sini, aku dapat telepon kalo kondisi mama sudah membaik. Dan gak lagi dirawat di ICU. Kamu jangan panik ya, Al." Gak ada yang bisa gue pikirkan selain mama. Bahkan saat Gala mengajak gue bicara pun, gue gak fokus pada apa yang ia bicarakan. Gue dengar apa yang dia bilang barusan. Tapi tetap aja, rasa cemas, khawatir dan rasa bersalah masih mendominasi diri gue. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama lima belas menit. Akhirnya mobil yang dikendarai Gala memasuki area parkir Rumah Sakit dan sedetik setelah ia menghentikan laju mobilnya. Segera gue keluar dari sana dengan cepat. Bahkan sebelum pria itu mematikan mesin mobilnya. Langkah gue sangat lemah namun dalam hati gue ingin berlari kencang dan menemukan keberadaan mama sekarang juga. Namun, kedua lutut gue terasa gemetar dan lemah. Bulir bening bernama air mata itu kini berlomba-lomba meloloskan diri dari kelopak mata. Layaknya air bah yang tumpah ruah. Bahkan beberapa kali gue harus menabrak bahu orang-orang yang berlalu lalang seraya menatap gue dengan nelangsa. "Al, kamu gapapa?" Gue menoleh saat gue menatap linglung sekeliling gue saat ini. Ini kali kedua gue menginjakkan kaki di tempat yang paling gue benci ini. "Mama mana Gal?" tanya gue dengan suara serak. "Di kamar mana mama aku, Gal?" Gue benci saat haru mengulang pertanyaan yang sama. "Kamu denger gak, sih?! Aku tanya di mana mama dirawat?!" Gue murka, sebelum gue makin khilaf karena pria batu di hadapan gue ini hanya menatap gue dengan lirih dan kasihan. Akhirnya gue putuskan untuk mencari ruangan mama sendiri. Gue bahkan lupa kalo gue bisa telepon papa buat tanya kamar mama di mana. Namun, setelah merogoh saku baju tidur yang gue kenakan, mengobok isi tas yang gue bawa. Benda pipih itu tak juga gue temukan. Ingin merutukki diri sendiri karena bisa-bisanya gue meninggalkan benda itu di kontrakan. Akan tetapi, merutukki diri sendiri tidak mengubah apapun, bukan. Oleh karena itu, gue hanya mendesah seraya mengusap wajah gue dengan telapak tangan. Gue akan menenangkan diri supaya otak gue bisa bekerja dengan baik. Tidak panik dan linglung kayak tadi. "Al?" Gala datang. Melangkah mendekati gue dan terpaku selama beberapa detik. Netranya nampak memindai penampilan gue saat ini. Lalu, sedetik kemudian ia tersenyum kecut dan membuka mulutnya, "Penampilan kamu sedikit lebih baik dari sebelumnya. Ayo! Aku antar ke ruangan mama." Belum sempat gue membuka mulut untuk sekadar mengiyakan. Ia sudah lebih dulu menarik lengan gue dan mengikuti langkahnya seraya menatap heran dan kesal. Tentu saja gue kesal. Gue harus marah marah dulu, ya. Baru dia mau berbaik hati nganterin gue. Dan bodohnya gue, kenapa gak langsung tanya ke suster penjaga meja informasi. Panik bercampur cemas berlebihan membuat otak gue tidak bekerja dengan baik. *** Langit malam ini nampak terang karena keberadaan rembulan yang berbentuk bulat sempurna meneranginya. Ini kali pertama gue duduk di rooftop saat lewat tengah malm dan ditemani oleh seorang pria. "Kamu tahu, aku masih marah sama kamu!" aku gue seraya menoleh ke samping kanan. Menatap pria yang berjarak satu meter dari gue itu, dengan tajam. "Iyaa. Aku tahu kamu masih marah." jawabnya pelan dan sangat pasrah. Seolah tahu isi pikiran gue. -Bersambung di Bab bertanda # Lainnya-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN