“Mikir nanti malam grogi apa enggak waktu ketemu sama Bunda Nuril,” jawabku, semoga Mas Afif percaya. “Tenang saja, Bunda baik dan sudah bucin sama calon menantunya.” Leganya hatiku. Mas Afif percaya dan tidak curiga sama sekali denganku. Padahal di otakku saat ini penuh dengan wajah menyebalkan pilot gila. Mas Aiman memang tidak ada di sini namun semua tentangnya seolah berputar-putar di pikiranku. Membuatku membandingkannya dengan Mas Afif. Jelas-jelas pria baik yang saat ini bersamaku adalah yang terbaik. Sikapnya lembut dan tutur katanya pun sopan. Aku sangat merasa dihargai sebagai seorang perempuan. “Hehe, maaf ya, Mas. Soalnya aku pernah menolak perjodohan jadi takut kalau Bunda sakit hati dengan keputusanku saat itu.” Mas Afif tersenyum, kedua matanya berbinar, tangan besarny