5. Putus

1653 Kata
Maura merasa sangat kesulitan berkonsentrasi seharian ini. Beruntung dia tidak menjadi ketua di project program selanjutnya sehingga dia hanya menyimak saja, dia yang biasanya dipenuhi ide-ide cemerlang kini hanya berdiam diri saja. Atasannya pun sampai menegurnya karena Maura yang tak seperti biasanya. “Kalau sakit sebaiknya kamu pulang dan istirahat, apa mau aku hubungi Daniel untuk mengantar kamu pulang?” ujar head section divisinya. “Jangan Mbak, aku masih kuat kok, aku izin duluan ya,” ucap Maura mengambil tasnya. Dia berpamitan pada teman-teman kerjanya untuk pulang lebih dulu. Dia memutuskan untuk ke ruangan tempat Daniel bekerja. Pria itu pasti masih lembur malam ini. Sesampainya di depan ruang kerja Daniel, dia bisa melihat seorang wanita yang duduk di samping Daniel. Dia adalah Sonia, admin bagian General Affair, bisa dibilang wanita berpakaian seksi itu juga merupakan sekretarisnya atau asistennya karena semua yang berurusan dengan Daniel pasti melaluinya. Sonia terlihat terkekeh menatap layar komputer yang berada di hadapan Daniel, roknya sangat pendek membuat Maura jengah, sementara dia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak dengan celana jeans yang memudahkannya beraktifitas. Maura mengetuk pintu kaca itu. Sonia yang semula agak menunduk itu pun berdiri. “Mbak,” sapanya. Sonia memang termasuk karyawan muda, usianya baru dua puluh tiga tahun ini. “Mas, bisa bicara?” ucap Maura, Sonia menyadari keberadaan dirinya yang mungkin mengganggu, dia pun berniat ke luar. “Di sini saja Sonia, kita masih ada pekerjaan. Kamu mau bicara apa lagi Ra?” tanya Daniel dengan pandangan dingin. Mata hangat itu seperti es kini. “Mas, aku mau bicara berdua,” ucap Maura. Sonia menjadi salah tingkah, satu sisi atasannya memintanya tetap tinggal, satu sisi dia tidak mau mengganggu hubungan atasannya dengan tunangannya. Semua pun tahu bahwa Maura dan Daniel sudah bertunangan dan akan menikah sebentar lagi. “Bicara saja, lagi pula kita sudah putus,” ucap Daniel mambuat Sonia menoleh ke arahnya dengan pandangan penuh tanda tanya. “Mas, aku enggak mau putus, kita bisa bicarakan baik-baik kan?” “Semuanya sudah jelas Maura Lovata, kita sudah enggak ada hubungan apa-apa lagi, jadi sebaiknya mulai sekarang kamu enggak perlu menemui aku lagi,” ucap Daniel. “Kamu berubah,” ujar Maura sambil mengepalkan tangannya. “Aku yang berubah, atau kamu yang licik?” sindir Daniel. “Mas!” “Jangan buat keributan Maura, pergilah aku sedang banyak pekerjaan.” Daniel kembali menekuri layar komputernya. Maura menggeleng, tidak habis pikir. Dia ke luar dari ruangan itu, menyeka air matanya yang keluar begitu saja dengan kasar. Menekan tombol lift, sebaiknya dia membicarakan itu nanti ketika Daniel sudah tenang. Karena saat ini pasti Daniel masih emosi. Maura yakin Daniel masih sangat mencintainya, seperti yang setiap kali dia ucapkan ketika mereka bersama. “Mas Daniel sudah putus?” tanya Sonia kembali duduk di samping Daniel, melipat kakinya hingga roknya sedikit terangkat. “Iya, kenapa?” tanya Daniel seraya tersenyum. “Pasti banyak yang senang nih dengan kabar ini, Mas tahu banyak yang suka sama Mas Daniel, Mas itu tipikal suami idaman para gadis tahu?” ujar Sonia dengan suara yang serak menggoda. “Oiya? Kenapa bisa berpikir seperti itu?” Daniel menatap wanita di sampingnya, dia tidak bodoh, dia tahu bahwa wanita ini telah lama menggodanya, termasuk dengan pakaian minim yang selalu dikenakannya, terlebih dia sangat berani ketika berada berdua dengannya seperti malam ini. Daniel yakin wanita itu sengaja memakai pakaian pendek ketika harus lembur dengannya. “Mas itu baik, tampan lagi, pintar dan berwibawa. Makanya semua iri sama mbak Maura yang akan menikah dengan Mas,” ucap Sonia. “Apa kamu termasuk?” tanya Daniel menggoda. Sonia tersenyum dan mengangguk malu. Daniel memperhatikan di sekitar, lampu lampu di ruangan lain telah padam, hanya di tempatnya yang menyala karena memang setelah lewat jam enam sore, jika karyawan tidak lembur, lampu akan dimatikan untuk menghemat energi listrik. Daniel mulai berani mengusap lutut Sonia naik ke atasnya. Sonia seperti tidak terkejut, justru dia tersenyum sumringah dan memegang tangan Daniel, wanita itu membasahi bibirnya. Daniel tahu apa yang wanita itu inginkan, dia mencium bibir Sania dan menggigitnya kecil. Selama ini Daniel sangat setia terhadap Maura karena dia sangat mencintainya. Akan tetapi kini dia menyadari kesetiaannya hanyalah sebuah kebodohan, karena Maura rupanya seperti gadis lainnya yang tidak bisa mempertahankan kesuciannya. Dia saja yang terlalu naif berpikir bahwa Maura adalah wanita suci, rupanya wanita itu jauh lebih parah. “Bahaya nih bisa ada yang berdiri,” ucap Daniel seraya melepas ciuman Sonia. Sonia menyelipkan rambut di telinganya. “Terus kenapa?” ucapnya menggoda. Daniel hanya tersenyum menatap wanita itu. Sonia memang tidak secantik Maura, tapi dia juga tidak terlalu buruk untuk dijadikan kekasih kan? *** Pelayan restoran mengenal Maura yang merupakan sahabat dari owner restoran tersebut. “Bu Sherly di kamarnya, di atas,” ucap pelayan itu seolah tahu tujuan Maura datang ke tempat ini untuk mencari Sherly. Memang di restoran ini Sherly memiliki kantor sendiri di lantai teratas. Ada ruang kerja dan juga kamar pribadinya yang sering digunakan untuk beristirahat jika malam tiba, sebelum dia pulang ke rumahnya. Maura naik melalui tangga, mengetuk pintu ruang kerja Sherly. “Masuk,” ucap Sherly dari dalam. Maura mendorong pintu besi itu dan melihat Sherly yang masih berkutat dengan laptopnya. Ada sofa di dalam ruangan itu, ruangan yang tampak sangat nyaman dengan warna hitam dan merah yang mencolok. “Ada apa? Enggak biasanya?” tanya Sherly melihat jam tangan yang masih menunjukkan pukul delapan malam. “Daniel minta putus,” tutur Maura seraya duduk di salah satu sofa, meletakkan tas di atas meja, dia menyandarkan tubuhnya dan mengusap wajahnya. “Ada hubungan dengan Ardana?” tanya Sherly. “Bukan kamu kan yang kasih tahu alamat kostku?” tuduh Maura. “Ngigo!” sentak Sherly, dia menelepon bagian kasir dan meminta dibawakan makanan serta minuman untuk Maura ke ruang kerjanya. “Sebentar ya, aku selesaikan proposal bisnis dulu,” ucap Sherly, dia memang ingin memperbesar restorannya dan membuka banyak cabang di luar kota, karena itu dia sangat sibuk belakangan ini. Lima belas menit kemudian, seorang pramusaji membawakan pesanan Sherly, Sherly menyelesaikan pekerjaannya dan menutup laptopnya. “Thanks ya,” ucap Maura ke pada pramusaji itu. Pramusaji itu pamit ke luar ruangan atasannya. Sherly menghampiri Maura, mengambil satu es kopi. “Jadi bagaimana ceritanya?” tanya Sherly. “Ardana datang pagi tadi, memeluk aku, bertepatan dengan Daniel yang datang ke kost aku, salah paham dan ya begitu lah,” ujar Maura tidak berniat menceritakan lebih dalam. Namun secara garis besar Sherly mengerti. “Baguslah, aku juga kurang suka dengan Daniel. Lebih baik kamu sama Ardana, kamu terlihat sangat bahagia dulu saat sama Ardana,” ucap Sherly. “Aku dan dia enggak akan bisa bersatu Sher, ada tembok besar di antara kita. Tembok orang tuanya. Dan aku juga membencinya,” ucap Maura. “Sembilan tahun waktu yang lama Ra, apa kamu benar-benar enggak merindukannya? Bukannya dia cinta pertama kamu?” tanya Sherly. Maura hanya terdiam. “Kamu bahkan enggak mengambil beasiswa kuliah di Inggris dan memilih kuliah sambil kerja di Indonesia, sengaja menjawab soal dengan salah agar enggak jadi mahasiswa yang menonjol. Kamu menyembunyikan potensi kamu selama ini, bukannya karena kamu patah hati karena dia pergi? Sekarang dia sudah kembali, kalian berhak bahagia,” ucap Sherly. “Tapi ayah aku enggak pernah kembali,” ujar Maura seraya menunduk. “Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri Ra, itu kecelakaan. Bukan salah kamu,” ujar Sherly. Maura hanya menunduk, malam itu adalah malam yang pahit dalam hidupnya, harusnya dia berpesta dengan teman-temannya, namun malam itu dia harus menyaksikan ayahnya mengembuskan napas terakhirnya dan membuat ibunya menjadi pemurung. “Ra, ikhlaskan ya, memang berat, tapi maafkan diri kamu sendiri. Kamu berhak bahagia, oke?” “Aku hanya ingin hidup nyaman, bersama suami yang mencintai aku Sher, punya anak yang lucu dan mendapatkan kedamaian.” “Tapi apa kamu mencintai Daniel? Jujur sama diri kamu sendiri, apa selama ini hati kamu bahkan pernah berdetak untuknya Ra? Ketenangan seperti apa yang akan kamu dapatkan jika kamu menikah dengan laki-laki yang enggak kamu cintai?” “Aku ... aku sayang sama dia Sher,” ucap Maura. “Sayang karena kamu terbiasa hidup bersamanya, tapi sampai kapan? Apa kamu akan bahagia ... kalau di hati kamu hanya ada Ardana?” ucap Sherly. Maura tak bisa lagi menutupi rasa sedihnya, Sherly memang sangat mengenalnya, bahkan dia seperti lebih mengenal Maura dibanding diri Maura sendiri. Maura menggigit bibirnya menahan nangis. “Jangan ditahan, lepaskan tangisan kamu, nanti jadi semakin sesak!” ujar Sherly, merentangkan tangannya, Maura menghambur memeluknya dan menangis terisak, seharian ini memang ini yang dia butuhkan, menangis dalam pelukan sahabatnya. Kenapa Ardana harus datang sekarang? Setelah menghancurkan mimpinya untuk hidup dengan tenang? Sherly mengantar Maura pulang, wanita itu masih terlihat sangat bersedih. Tanpa sengaja berpapasan dengan Daniel yang membawa kardus besar menuju mobilnya. Mobil yang dibeli oleh perusahaan untuknya sebagai tanda kenaikan jabatan. “Mas, mau ke mana?” tanya Maura dengan mata sembabnya, tadi Daniel masih di kantor kan? Ah waktu sudah berlalu lama, ini bahkan hampir tengah malam, wajar jika Daniel sudah sampai kost lebih dulu. “Pindah, untuk apa aku masih di sini?” ucap Daniel ketus. Memasukkan kardus itu ke kursi belakang. “Tapi, Mas,” ujar Maura memegang tangan Daniel, Daniel mengempaskan tangannya hingga tangan Maura terantuk pintu mobil Daniel dan itu cukup sakit. “Kamu sudah punya kekasih yang jauh lebih kaya dari aku, kamu akan hidup tenang dan nyaman dengannya, bukan kah memang itu impian kamu selama ini?” ujar Daniel sarkas. Sherly hanya melipat tangan di d**a dan bersandar di body mobilnya menyaksikan keributan temannya itu, dia tahu kapan waktunya untuk ikut campur atau tidak. Daniel membuka pintu depan dan masuk ke mobilnya, meninggalkan Maura yang memegangi tangannya yang sakit akibat terantuk mobil. “Mas Daniel!!” panggil Maura pilu. “Sudahlah,” ujar Sherly memegang bahu Maura, “benar katanya, lebih baik Ardana,” ucapnya menggoda Maura. “Sherly! Enggak lucu!” rungut Maura. “Aku lagi enggak melawak kok,” kekeh Sherly membuat Maura menghadiahinya tatapan tajam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN