Di pagi hari ini, Ardana sudah selesai berolah raga, dia hanya berlari di sekitar kompleks apartmennya. Memang apartmen ini milik Abiputra group dan dia menempati lantai teratas. Di sinilah dia curahkan seluruh pekerjaannya. Ardana telah selesai mandi, mengancingi kemejanya satu persatu, membuka lebar gorden jendelanya, langit pagi ini sangat biru. Matahari pun bersinar cerah.
Ada meja khusus arsitek di dekat ranjangnya, dia melihat hasil pekerjaannya yang masih jauh dari kata rampung. Ardana kini mengaitkan kancing lengan kemeja putihnya, mengambil ponsel di atas meja, dia melakukan panggilan dengan seseorang.
“Tolong cari tahu sesuatu, lebih cepat ketemu lebih baik,” ucap Ardana. Setelah memutuskan panggilan itu dia mengecek agenda kerjanya hari ini, seperti biasa setiap pagi dia akan mendapatkan jadwal harian yang dikirim oleh asisten pribadinya. Hari ini merupakan hari yang sangat padat. Dia harus melakukan meeting perdana di indonesia dengan bawahannya. Perusahaan kontraktor yang dia rintis di Inggris selama beberapa tahun belakangan ini memang mulai berkembang, namanya pun mulai dikenal. Hanya saja di Indonesia dia belum memiliki nama karena belum mendapat proyek. Dan hari ini dia akan membahas proyek pertamanya dengan nama perusahaannya Loona Corp. dia berharap dia bisa menyaingi Abiputra Group dalam banyak hal, dan dia akan bebas melakukan apa pun juga.
Meskipun digadang sebagai pewaris tunggal Abiputra Group namun dia tidak mau kehidupannya disetir oleh ayahnya selama ini, dan cara satu-satunya untuk terlepas adalah menjadi pesaingnya dan menunjukkan keahliannya. Bukan karena dia anak dari Randu Abiputra.
“Ya, saya turun,” ucap Ardana kepada sopir pribadi yang meneleponnya dari lantai basement. Dia mengambil tas punggungnya. Dia selalu suka mengenakan tas itu. menenteng jasnya sementara tangan sebelahnya terus melihat ponsel yang kini menujukkan bursa saham Indonesia.
Baru di lantai dua puluh tiga, lift terhenti, lift khusus VIP itu yang pasti hanya bisa dikendalikan dengan kartu pemilik apartmen yang memang memiliki akses VIP. Seorang wanita memakai pakaian kerja dengan make up sederhana namun cantik. Menenteng jasnya dan melihat Ardana dari atas sampai bawah. Dia jelas mengenalnya, mereka pernah bertemu beberapa kali di Inggris.
“Kapan kamu pulang?” tanya wanita itu seraya masuk ke lift dan menekan tombol basement.
“Sudah lama. Kamu tinggal di sini?” tanya Ardana. Dia adalah Rachel teman kuliah Ardana yang cukup mengenalnya meski mereka memang tidak dekat. Ardana tidak pernah tertarik dengan wanita mana pun terkecuali Maura.
“Sudah dua tahun,” jawabnya dengan senyum terkembang. Ardana tidak mau berbicara apa – apa lagi karenanya dia lebih memilih memperhatikan ponselnya hingga tiba di basement.
“Kapan-kapan mau dinner?” ajak Rachel, “aku mau membahas beberapa kerjasama bisnis,” imbuhnya. Ardana tahu Rachel kini memegang perusahaan orang tuanya di bidang media.
“Bicarakan bisnis di kantor, saya duluan,” ucap Ardana dingin. Mereka berpisah di basement, mobil Ardana sudah sampai lebih dahulu dan lelaki itu langsung masuk ke kursi penumpang. Seorang wanita berlari tergopoh menghampiri Rachel yang tak lepas tersenyum.
“Ada apa, Bu?” tanya wanita yang merupakan sekretaris Rachel.
“Benar dugaan kamu, Ardana akan tinggal di apartmen ini, tidak salah saya membelinya dan memiliki akses VIP,” ucap Rachel.
“Ibu habis bertemu Pak Ardana?”
“Ya, dan dia masih tampan seperti biasanya,” jawabnya seraya tersipu. Mobil Rachel berhenti tepat di depan Rachel, sekretarisnya membuka kursi penumpang belakang untuk Rachel sementara dia duduk di depan.
“Apa kamu sudah mencari tahu tentangnya? Hubungannya dengan seorang wanita mungkin?” tanya Rachel pada sekretarisnya, dia mempekerjakan sekretarisnya itu karena wanita itu sangat pintar, sudah seperti detektif.
“Selama tinggal di Inggris dia tidak pernah terlibat hubungan dengan wanita mana pun, juga dengan pria. Jadi ... saya berani menjamin bahwa dia tidak memiliki kekasih,” ucap sekretaris Rachel mantap.
“Dengan pria juga?” kekeh Rachel.
“Ibu tahu kan pria tampan sekarang bagaimana?” jawabnya dengan tersenyum.
“Saya yakin dia normal,” ujar Rachel. Lalu sekretaris itu menyerahkan tablet ke Rachel untuk membacakan jadwalnya hari ini.
“Undangan talkshow dengan calon presiden belum diterima?” tanya Rachel.
“Kami belum bisa mendapat jadwalnya, Bu. Bukannya bapak kenal dekat dengannya?” ujar sekretaris itu merujuk pada ayah Rachel yang masih menjabat sebagai CEO perusahaan media terbesar itu.
“Ya, nanti saya bicarakan dengan papa, rating kita pasti tinggi jika dia berkenan datang di talkshow televisi kita,” ucap Rachel mantap yang disetujui oleh sekretarisnya.
***
Sore ini Maura pulang cukup cepat, dia sedang menunggu busway di halte, ketika mendapat sebuah panggilan telepon dari adiknya.
“Kak cepat ke rumah sakit, ibu pingsan!” ujar Elvan, adik laki-laki Maura yang baru berusia delapan belas tahun itu.
“Apa? Ibu pingsan? Sekarang di mana?” ujar Maura panik. Elvan menjelaskan rumah sakit tempat sang ibu dirawat. Setelah memutuskan panggilan, Maura pun ke luar dari halte busway dan mencari taksi.
Ketika dia menunggu taksi, dia melihat mobil Daniel lewat, dia hapal plat nomornya, karena itu dia menelepon Daniel. Mata Maura meredup, ketika melihat siluet seorang gadis duduk di sampingnya. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan menelepon Daniel. Tidak menunggu waktu lama panggilannya pun diterima Daniel.
“Ada apa?” tanya Daniel secara sedikit kasar.
“Kamu sudah pulang kerja? Aku mau ikut numpang di mobil kamu, boleh? Aku harus ke rumah sakit. ” tanya Maura.
“Belum, masih ada pekerjaan. Kamu pulang duluan saja. Jangan telepon jika enggak penting!” ujar Daniel. Setelah mengatakan hal itu dia langsung memutuskan panggilan begitu saja. Maura mengerucutkan bibirnya sebal, seraya menatap ponsel yang menampilkan wallpaper ponselnya. Mungkin Daniel mau membalas dendam kepadanya.
Taksi yang ditunggunya lewat, dia tidak mau membuang waktu dan naik ke taksi itu. Tidak sampai tiga puluh menit, Maura tiba di rumah sakit, dia melihat ibunya yang berbaring dengan wajah kuyu, selang oksigen terpasang di hidungnya dan sepertinya dia masih belum sadar. Di dekatnya ada seorang anak laki-laki memakai seragam olah raga sekolahnya. Tubuhnya tinggi dan wajahnya tampan. Dia adalah saudara tiri Maura.
“Kakak, sudah datang?” ujar Elvan.
“Van, apa yang terjadi sama ibu? Kenapa kamu bisa membawanya ke rumah sakit?”
“Aku baru pulang sekolah, kata tetangga tiba-tiba ibu pingsan di depan toko sebelah rumah, aku lari ke sana dan langsung telepon ambulance, Kak.”
“Ibu bukannya baik-baik saja, kenapa bisa seperti ini?” tanya Maura khawatir. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan seorang dokter masuk.
“Apa ada anggota keluarga Pasien Theana? Saya mau bicara,” tanya dokter itu menyebut nama ibu Maura.
“Saya, dokter,” ujar Maura yang buru-buru mengikuti dokter tersebut. Meninggalkan Elvan yang masih menjaga sang ibu.
Di luar ruangan, mereka saling berhadapan. “Kamu putri pasien?” tanya dokter itu yang dijawab oleh anggukan kepala dari Maura.
“Apa kamu tahu bahwa pasien punya riwayat darah tinggi?”
“Saya tahu dokter, tapi ibu selalu rutin minum obat dan saya juga selalu mengingatkannya untuk control rutin,” jawab Maura.
“Kami menduga pasien mengalami dorongan yang memicu tekanan darahnya naik. Kamu harus ekstra mengawasinya sebagai anak, jantung pasien juga tidak baik, ditambah tekanan darah yang tidak stabil, jika tidak dijaga dengan baik bisa berakibat fatal.”
“Dorongan?” tanya Maura. “Saya tidak tinggal dengan ibu saya dan hanya datang dua minggu sekali, adik saya juga berperilaku baik. Sepertinya tidak ada sesuatu yang membuat ibu saya marah.”
“Setelah pasien bangun mungkin kamu bisa menanyakannya, kami merekomendasikan pasien untuk rawat inap selama seminggu untuk menurunkan tekanan darahnya dan mengamati kondisinya. Bagaimana?” tanya dokter itu.
“Baik, dokter.” Maura tahu tentang penyakit ibunya dan betapa berbahayanya masalah ini.
“Kalau seperti itu, kamu bisa ke tempat administrasi untuk mengurus biayanya,” ucap dokter itu seraya berpamitan pada Maura. Maura menoleh ke arah ruang rawat, dia menghela napas panjang dan berjalan turun ke loket administrasi untuk membayar deposit rumah sakit.
“Tujuh juta lima ratus,” ujar petugas administrasi membuat Maura terkejut.
“Sebanyak itu?” tanyanya. Dia telah menghemat setengah dari gajinya selama beberapa tahun terakhir, karena sebagian gajinya untuk sekolah sang adik dan sebagian besar untuk patungan uang muka rumah bersama Daniel. Sisa uang di rekeningnya kini hanya tiga juta. Sedangkan dia butuh empat juta lebih lagi untuk biaya rumah sakit sang ibu. Jelas dia tidak bisa membayarnya saat ini.
“Jadi mau bayar atau tidak? Di belakang sudah antri,” ujar petugas itu tidak ramah.
“Iya saya bayar,” ujar Maura, mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya. Kartu yang didapat tahun lalu sebagai bagian karyawan tempatnya bekerja yang bekerja sama dengan bank penerbit kartu tersebut. Di kartu ini dijelaskan dia memiliki limit sepuluh juta. Dan dia belum pernah menggunakannya. Kali ini dia pun terpaksa menggunakan kartu itu.
Setelah membayar biaya administrasi, Maura pun kembali ke ruang rawat sang ibu. Ibu Maura bernama Theana adalah seorang artis pada jamannya, dia memang memiliki kecantikan yang natural. Banyak pengusaha tergila-gila dengannya, namun karena hal itu lah dia memiliki banyak musuh, dia harus mengandung Maura di usianya yang terbilang muda, bahkan sampai kini Maura tidak tahu siapa ayah biologisnya karena ibunya tidak pernah menikah ketika mengandungnya. Karir ibunya redup ketika mengandung Maura, dia meninggalkan dunia entertainment sejak itu.
Ibunya pun selalu marah ketika Maura mempertanyakan ayah kandungnya, itu sebabnya sejak masuk SMP dia tidak pernah menanyakan lagi, toh ayah sambungnya sangat menyayanginya. Hidup bersama ayah sambungnya membuat kondisi psikologis Theana membaik, dia lebih sering tersenyum. Meski ayah sambungnya bukan pria konglomerat, namun dia adalah laki-laki pekerja keras yang mampu mencukupi keluarganya. Sayang, karena suatu hal ayahnya harus meninggal, dan sampai kini Maura selalu menyesali itu. Seandainya saja ...
Ketika memasuki ruang rawat, rupanya ibunya sudah sadar.
“Ibu, sudah bangun?” tanya Maura dengan hati-hati.
“Pergi!” jerit sang ibu dengan mata membelalak marah ketika melihat Maura.
“Bu,” panggil Maura sedih.
“Pergi saya bilang!!”
***