10. Karena Aku Yang Memilihmu

1730 Kata
(Satu hari sebelumnya) Rachel berdandan sangat rapih sekali, dia menuju gedung Loona Corp. Pada akhirnya dia dapat jadwal temu dengan Ardana. Memasuki ruang meeting yang didampingi oleh sekretarisnya, Ardana pun didampingi asisten yang merangkap sebagai sekretarisnya, seorang pria tinggi yang berwajah dingin sama sepertinya. “Maaf menunggu,” ucap Ardana, karena Rachel yang lebih dulu tiba. “Iya tidak apa-apa,” ucap Rachel. Ardana melihat jam tangannya. “Saya hanya punya waktu tiga puluh menit untuk meeting ini. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Ardana. “Iya tidak apa-apa, saya akan langsung ke intinya,” ucap Rachel formal. “Mungkin kamu sudah diberitahu oleh pak Bambang, bahwa beliau mau mengajak kamu untuk acara talk show di RunTv, saya ke sini untuk membicarakan tentang proposal kerja sama kita,” tutur Rachel. “Iya, beberapa hari lalu Pak Bambang sendiri yang menelepon saya, saya bisa saja ikut acara itu, tapi saya hanya mau jika acara talk show itu dipimpin oleh seseorang,” ucap Ardana mencari kesepakatan. “Oiya? Ada orang yang kamu kenal di perusahaan saya?” tanya Rachel antusias. “Ya, ada teman sekolah saya namanya Maura Lovata, dia bergabung dengan tim kreatif RunTv saat ini. Saya hanya mau bekerja sama dengan dia, karena saya tidak yakin akan bersikap komunikatif jika berbicara dengan yang lain. “Hmmm baik jika mau kamu seperti itu, run down acara akan kami kirim melalui tim kreatif kami jika seperti itu,” ucap Rachel. “Ya, saya akan menunggunya,” jawab Ardana dengan senyum terkembang, senyum yang sebenarnya bertujuan untuk Maura, dia yakin setelah ini Maura akan menghubunginya tanpa perlu dia yang bersusah payah. Rachel menyalah artikan senyum Ardana untuknya, wajahnya tampak tersipu, dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Dan mereka sempat berbasa basi sebelum Ardana pergi karena dia harus meninjau lokasi salah satu proyeknya. *** Hari ini, Maura terpaksa lembur, dia dan Yosephine langsung mendiskusikan rundown acara, beberapa pertanyaan yang akan diajukan juga nama-nama pembawa acara yang mungkin nanti disetujui oleh pihak Ardana. “Merranti, ini sudah doctor dan pintar, dia pernah menjadi pembawa acara berita kan? Sampai sekarang masih jadi pembawa acara kenegaraan,” ucap salah satu teman Maura. “Bukannya lebih baik pria juga, Hans saja dia orangnya lugas dan tidak terlalu kaku jadi acara tidak akan membosankan jika hanya berisi politik saja?” usul teman lainnya. “Bukannya dia jadi pelawak sekarang?” tanya Maura. “Ya justru itu, dia bisa mengkondisikan di acara mana dia berada?” ujar teman yang lain. Lalu mereka masih mencatat beberapa nama kandidat pembawaa acara lagi. Besok Maura akan mulai menghubungi tim Loona Corp. Maura tidak mengerti tujuan Ardana memintanya menjadi ketua projek ini, apakah untuk mengerjainya? Atau memberinya kesempatan mengembangkan karir? Namun satu yang dia tahu, Ardana tentu masih mencari tahu tentangnya. Kalau tidak, bagaimana dia bisa tahu dirinya yang bekerja di tim kreatif RunTv? Keesokan harinya, Maura mencoba menghubungi nomor asisten Ardana seperti yang diberikan oleh Rachel, namun dia mengalami kesulitan, dia sudah mengirim pesan akan tetapi pesannya nyaris tidak dibaca, hari sudah semakin sore, deadline semakin dekat namun dia tidak bisa menghubungi pihak Ardana. Rachel berdecih, dengan terpaksa dia mencari chat dari Ardana yang sudah tenggelam ke dasar jurang. Dia menyimpan nomor Ardana dan mengirim pesan pribadi kepadanya. Jika tidak, bisa dipastikan proyek ini akan gagal. “Bisa bicara sebentar?” tulis Maura tanpa basa basi. Tidak beberapa lama Ardana membalasnya. “Boleh, silakan datang ke kantor aku, kutunggu satu jam lagi,” balasnya membuat Maura mengernyitkan kening. Dia pun memasukkan agenda kerja ke tasnya, bersiap untuk ke kantor itu, dia meminta tolong Yosephine untuk memesankan mobil kantor untuk mengantarnya, dia juga meminta dua teman mendampinginya untuk membahas acara ini. Hingga pesan dari Ardana membuatnya harus mengurungkan rencananya membawa teman, “datanglah seorang diri atau kamu enggak bisa masuk ke ruang kerjaku,” tulisnya bernada ancaman. Maura mendengus sebal. “Mbak, sepertinya aku harus pergi sendiri saja,” ucap Maura. Dua teman yang sudah bersiap itu hanya menggeleng tak percaya. “Yah begitulah tipe orang yang akan bekerja sama dengan kita, anak konglomerat yang selalu sesuka hati,” decih Maura sambil lalu, persis seperti gumaman. Dia berjalan menuju lobi, di depan lobi mobil kantor sudah menunggunya. Sebuah mobil yang diberi stiker program-program unggulan Runtv. Maura duduk di depan, samping pengemudi, dia membuka buku agendanya dan menulis apa yang harus dia tanyakan dan sampaikan ke Ardana agar pembahasan tidak berputar-putar. Hari sudah sangat sore ketika dia tiba di gedung Loona Corp. Asisten Ardana menyambut di lobi dan membawa Maura ke lantai teratas gedung itu, langsung menuju ruang kerja Ardana. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, asisten pria itu pun mempersilakan Maura masuk seorang diri. Maura memperhatikan ruangan itu sepenuhnya, ruangan yang sangat rapih, meskipun cenderung sederhana namun dia bisa melihat barang-barang yang berkualitas tinggi. “Duduk, Sayang,” ujar Ardana dengan senyum smirknya membuat Maura memajukan bibirnya sebal. “Kenapa aku enggak bisa hubungi asisten kamu?” tanya Maura seraya mengambil duduk di sofa panjang. Tak diduganya Ardana justru duduk di sampingnya. “Itu karena aku memintanya memblokir nomor kamu, lama sekali sampai kamu menghubungiku langsung? Kamu enggak rindu?” goda Ardana. “Please Ardana, kita bicarakan bisnis sekarang,” cebik Maura. “After that, bagaimana kalau kita bicarakan tentang Kita?” “Enggak lucu, aku harus menyelesaikan tugas hari ini,” ucap Maura. “Aku akan membuatnya singkat, Honey,” ucap Ardana. Maura benar-benar merasa jijik, mengapa mantan kekasihnya ini bersikap murahan seperti ini? Terlebih mengapa dia duduk sangat menempel dengannya? Maura sudah menggeser bokongnya namun Ardana terus merapatkan diri. Hingga Maura tersudut dan tak bisa bergeser lagi, dia pasrah, yang penting pekerjaannya selesai. Pintu kembali diketuk, Ardana mendesah kecewa dan berdiri, lalu mempersilakan asisten yang membawakan makanan itu masuk. Ada dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul, juga beberapa donat dengan lumuran cokelat manis. “Sudah waktunya pulang, kamu boleh pulang duluan,” ucap Ardana. “Baik Pak,” jawab asisten itu kaku. Ardana membiarkan pintu tertutup dan dia kembali duduk di samping Maura. “Aku baru tahu ada asisten yang pulang lebih awal dibanding bosnya?” sindir Maura. “Itu karena aku ingin berduaan dengan kamu, masa kamu enggak peka sih?” “Isshhh, sudah cepat pilih siapa pembawa acara yang kamu inginkan dan bagaimana jalannya acara nanti?” tutur Maura tidak sabar. “Wohoo sabar sayang, kenapa kamu tergesa-gesa?” Maura menoleh pada Ardana dan mendelikkan matanya, namun tatapannya turun ke jakun Ardana yang naik turun, bibirnya yang terlihat seksi. Maura menggeleng. Tidak! Dia tidak boleh membayangkan bibir itu yang menempel di bibirnya. Atau dia benar-benar tidak akan bisa move on. Tapi ... dia sedikit merindukan ciuman Ardana, kali terakhir rasanya ciuman itu benar-benar memabukkan. Maura mengetuk pulpen ke kepalanya sendiri untuk menyadarkannya. Bagaimana bisa dia menikmati ciuman yang menyebalkan itu! “Aku hanya ingin cepat selesai Ardana, tolong bantu aku,” ringis Maura. “It’s oke baby, apapun itu,” tutur Ardana. Lalu mereka terlibat percakapan serius meski sesekali Ardana menggoda Maura. Mereka sudah membahas segalanya dan Maura akan mengirimkan rundown acara untuk disetujui Ardana. Tanpa disadari waktu sudah berlalu dua jam semenjak mereka berdiskusi. Bahkan Maura sudah menikmati satu donat dari piring itu, juga meminum setengah gelas kopinya. Ardana terlihat sangat santai setelah pembahasan ini, dia sangat senang bisa berduaan dengan Maura. “Kenapa kamu hanya mau aku yang jadi ketua tim?” tanya Maura. “Karena aku memilih kamu,” jawabnya dengan pasti. Maura berdecih. “Itu gambar kamu?” tunjuk Maura pada satu rancangan yang tertempel di dinding ruangan itu. “Ya, tapi belum terwujud, itu akan jadi rumah kita nantinya, dengan atap khusus yang bisa digunakan untuk meneropong bintang,” tutur Ardana. “Mau bikin rumah apa planetarium?” sungut Maura. Ardana hanya tertawa menanggapinya. Maura masih terlihat menggemaskan di matanya. “Kamu kenapa banting stir? Dulu kita pernah bercita-cita jadi arsistek kan? sekarang kamu justru ambil broadcast?” “Karena semua tentang arsitektur hanya membuat aku terluka,” ucap Maura sedih. Dia menyeka bibir dengan tissue dan juga tangannya, kopi buatan asisten Ardana sangat nikmat, dia bahkan menghabiskannya. “Aku harus pulang, karena besok akan mulai kerja rodi,” tuturnya seraya berdiri. “Aku antar,” jawab Ardana yang ikut berdiri. “Aku ditunggu mobil kantor,” jawab Maura, mengambil tasnya dan memasukkan buku agenda ke dalam tas itu. Ardana memegang tangan Maura untuk menghentikan gerakan Maura. Maura menatapnya dan Ardana memajukan tubuhnya, wajahnya sangat dekat dengan Maura kini, beberapa senti lagi bibir mereka akan bersatu. Maura hanya membeku menatap Ardana dari jarak sedekat ini. Ardana menunduk, memperhatikan bibir manis wanita yang diklaim sebagai calon istrinya itu, dia mengusap bibir yang masih tersisa coklat itu. Maura menahan napasnya lalu Ardana semakin mendekat ke telinganya. “Aku antar atau aku akan membatalkan kerja sama kita,” ancamnya membuat Maura yang semula ingin memejamkan mata itu kembali membuka matanya. Ardana benar-benar menggodanya, membuatnya sebal! “Ishhh!” decih Maura. “Kamu mau dicium ya?” tanya Ardana sok polos. “Bodo amat!” geram Maura. Ardana mengambil jasnya. “Jadi mau dilanjutkan kerja samanya?” tanya Ardana. “Aku hubungi sopir dulu!” cebik Maura, mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke driver bahwa dia akan pulang sendiri. Driver itu menjawab oke dan pergi lebih dahulu. “Sudah?” tanya Ardana. Maura mengangguk. Lalu mereka berdua turun menuju mobil Ardana, kebetulan hari ini Ardana membawa mobilnya sendiri. Mereka berkendara dengan santai, Ardana menyetel musik dari mobilnya yang melantunkan aliran slow pop barat itu. Saat tiba di parkiran kost Maura. Ardana tidak juga membuka kunci pintu mobil itu hingga Maura tidak bisa keluar. “Buka,” geram Maura. “Enggak mau kasih ciuman selamat malam?” goda Ardana, ingin rasanya melemparkan tas ke wajah yang pernah ditamparnya dua kali itu, namun dia tidak bisa, setidaknya sampai program ini selesai karena masa depan tim ada di tangannya kini. “Good night,” ujar Maura dengan wajah datar. “Bukan seperti itu,” geram Ardana, dia melepas seatbeltnya dan menangkup pipi Maura. Maura hanya membelalakkan mata karena dengan cepat Ardana sudah menyatukan bibir mereka, melumatnya dengan lembut. Maura bahkan sampai lupa bernapas hingga Ardana melepas ciuman mereka tanpa balasan dari Maura. “Good night, see you soon,” ucap Ardana, membelai pipi Maura yang masih diam tak bergeming. Lalu Ardana membuka kunci dan Maura melompat keluar. “Sinting!” oceh Maura sebelum berlari meninggalkan mobil Ardana, membuat Ardana tertawa melihat Maura yang salah tingkah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN