Ciuman yang Kebablasan

1204 Kata
"Gila kamu, Ang! Kupikir kita sudah berteman!" Renata bangkit hendak meninggalkan Anggoro. Namun tangan Anggoro menangkap pergelangan lengannya dan langkahnya terhenti. "KIta bisa lebih dari sekadar berteman, Ren," katanya. Renata menatap mata Anggoro yang tersenyum ramah. "Duduklah." Dan entah mengapa Renata menuruti perkataannya. Dia kembali duduk di kursi di hadapan Anggoro dengan tangan Anggoro tetap memegangi tangannya. "Lepaskan, Ang. Kamu membuat aku malu. Seseorang bisa mengenali kita berdua." "Aku takut kamu pergi. Dan jika itu terjadi, akan susah menangkapmu lagi." Renata memandangi tatapan Anggoro yang berubah sayu. Entah mengapa, rasanya Anggoro terlihat lebih sepi dari biasanya. Membuat Renata jadi iba dan melemahkan perasaannya sedikit. "Oke, aku tidak akan kabur. Tapi tolong lepaskan. Kita bisa bicara lebih cepat karena jam makan siang juga sudah mau habis." "Lebih cepat kamu setuju dengan syaratku, lebih cepat kita berpisah, Ren. Lagi pula satu ciuman tidak berarti apa-apa. Kita sudah pernah melakukannya sebelum ini, kan? Lebih dari sekali malah," katanya sambil melapaskan tangannya. Renata teringat kembali malam panas itu. "Tidak berarti apa-apa, heh?" tanyanya memastikan. Anggoro mengangguk. "Setelah itu hutangku lunas dan kita bisa berpisah baik-baik." Lagi-lagi Anggoro mengangguk. Memberikan kepastian kepada Renata. Satu ciuman, pikir Renata. Tidak akan berarti apa-apa. Dan cuma satu ciuman setelah itu beres. Hhh, apa susahnya dengan satu ciuman. Dia tinggal membuka mulut sedikit saja dan membiarkan Anggoro yang bekerja. Toh, mereka pernah melakukannya sebelum ini, dia juga pernah melakukannya dengan James. Dan itu juga tanpa perasaan. Anggap saja ciuman biasa sebagai teman. Bukan ciuman penuh hasrat seperti yang biasa dia lakukan dengan Vanno. Ah, tapi dengan Vanno pun kini dia tidak bisa berciuman dengan bebas. Harus banyak menahan dan bersabar. "Oke! Kita lakukan secepatnya. Sekarang?" Anggoro tertawa. Dan tawanya tidak menyebalkan. Renata mulai menyukai gayanya yang sedikit urakan. Rasanya dia bisa melihat dirinya yang bebas ketika bersama Anggoro. "Apanya yang lucu?" tanyanya sambil cemberut. "Kamu bersemangat sekali. Yuk, ikut aku!" ajak Anggoro sambil bangkit. "Ke mana?" Renata bertanya menyelidik. Pikiran kotor membanjiri kepalanya. Anggoro tidak mengajaknya ke hotel, kan? Anggoro membungkukkan badan ke arah Renata. "Kamu mau kita ciuman di sini?" Renata memejamkan mata dan menyadari kebodohannya. Entah kenapa pikirannya sering melenceng ketika sedang bersama Anggoro. Seperti semalam, ketika sedang memandangi sosok Anggoro diam-diam, dia mengingat kembali saat lelaki itu menyentuhnya. Tidak selembut sentuhan Vanno, tapi diam-diam dia menyukainya. Anggoro sedikit liar dan memaksa, membuat dia merasa seperti sangat diinginkan dan didambakan. Vanno menginginkannya, tapi ketakutannya untuk berobat membuat Renata merasa jika Vanno tidak benar-benar menginginkannya. "Kok, malah bengong? Apa kamu benar-benar ingin aku menciummu sekarang?" tanya Anggoro sambil mendekati Renata selangkah. "Eh, tidak, tidak! Kita pergi. Tunggu, aku bayar dulu." Renata bergerak cepat, Menyambar nota di meja dan bergegas ke kasir. Anggoro mengamati pergerakan Renata dengan d**a yang berdenyut. Dia teringat masa-masa SMA ketika dirinya hanya bisa mengagumi Renata dari kejauhan. "Oke, sudah beres. Yok, mau ke mana kita." Lebih cepat lebih baik, pikir Renata. "Nggak jauh, kok. Ke mobilku saja." Syukurlah, tidak seperti bayangan Renata. Dia pun berjalan mengikuti Anggoro di belakangnya. "Masuk, Ren," kata Anggoro sambil membuka pintu belakang mobil. Renata mengernyit tak mengerti. "Masuk sajalah," katanya. Renata menurut dan masuk ke dalam mobil. Menunggu. Anggoro memandang berkeliling. Pelataran parkir ini lumayan ramai. Mobilnya diapit dua mobil besar yang membuatnya terlihat terlindung dan aman dari pandangan. Tidak akan ada yang mengetahui apa yang terjadi di dalam mobilnya. Semoga saja pemilik dua mobil besar ini tidak kembali dalam waktu dekat. Anggora memutari mobil dan membuka pintu pengemudi. Menyalakan mesin sehingga pendinginnya berjalan dan hawa sejuk mulai menerpa wajahnya. Dia menutup pintu kembali dan masuk ke mobil melalui pintu di belakang pengemudi. Anggoro mengempaskan diri di samping Renata. Menoleh ke arah Renata yang menunggu sambil memangku tasnya. Waktu terus berjalan dan tidak boleh disia-siakan. Anggoro menangkup wajah Renata dan mulai mencium bibirnya. Tidak perlahan dan lembut, karena memang dia sangat berhasrat pada Renata dan tidak ingin menahan atau menutupinya. Renata memukul-mukul d**a Anggoro karena napasnya mulai habis. "Katamu satu ciuman saja," protesnya. "Satu ciuman sampai aku puas." Dia kembali memagut bibir Renata dan membiarkan perempuan itu protes dan memberontak. Dengan tubuhnya, Anggoro menekan tubuh Renata hingga tersandar ke kursi. Tangan Renata masih berusaha mendorong tubuh Anggoro, tapi tenaga Anggoro lebih kuat dan dia mulai menjamah bagian tubuh Renata yang lain. Membuat Renata semakin kuat memberontak. "Perjanjiannya nggak gini, Ang," protes Renata lagi ketika Anggoro melepas bibirnya dan Renata menarik napas dengan terengah-engah. "Tidak bisakah kamu berusaha menikmatinya saja, Ren? Aku janji ini tidak akan lama." "Apanya yang tidak lama?" tanya Renata sedikit panik. Apa yang akan dilakukan Anggoro? Belum sempat pikirannya terjawab, Anggoro menarik tubuhnya hingga tertidur di kursi dan langsung menindihnya cepat. Ketika mulut Renata hendak protes, Anggoro langsung membekapnya dengan ciuman. Kedua tangan Renata disatukan di atas kepala dan Anggoro menahannya agar tidak bergerak-gerak liar. Sebelah tangan Anggoro menyusup ke dalam kemeja Renata dan mulai memainkan sebelah payudaranya. Renata kegelian dan dia memejamkan mata. Rasanya percuma terus memberontak karena dia benar-benar tidak punya celah untuk keluar dari himpitan Anggoro. Sesuatu terjadi begitu cepat. Entah karena terbuai dengan cumbuan Anggoro atau karena pikirannya terlalu sibuk menyusun kemungkinan untuk melarikan diri, Renata tidak menyadari jika kedua kakinya telah direnggangkan dan roknya sudah ditarik ke atas. Ketika celana dalamnya diturunkan dengan cepat oleh Anggoro, dia hanya membelalakkan mata saat sesuatu dilesakkan di bawah sana. Pertahanan Renata runtuh. Kejadian di hotel terulang lagi. Dan dia memilih membiarkan Anggoro melakukan sesuatu sekehendak hati pada bagian tubuhnya yang satu itu. Sesuai janji Anggoro, semua terjadi dengan cepat, tapi Renata tetap bisa mencapai puncak sekali. Ketika Anggoro duduk lemas dengan kejantanannya yang masih teracung, diam-diam Renta memandang iri pada benda satu itu. Dia buru-buru merapikan pakaiannya yang berantakan dan juga rambutnya yang awut-awutan. "Kamu membuatku telat masuk kantor," ujarnya dingin. Dia mengambil lipstik dari tas dan memoleskan pada bibirnya yang sedikit bengkak. Setelah itu menyapukan bedak hingga menutupi permukaan wajahnya dengan rata. "Maaf. Kuantar segera," jawab Anggoro sambil berusaha menutup risletingnya. Dia merapikan diri cepat-cepat lalu keluar dari mobil. Membiarkan Renata melamun sambil memandang keluar jendela. Setelah duduk di kursi pengemudi, Anggoro melihat kondisi Renata dari kaca tengah. Perempuan yang masih melamun itu tidak terlihat marah atau menangis seperti dulu, ketika mereka melakukannya pertama kali. Mungkin kali ini dia sudah terbiasa dan bisa menerima. Atau malah menikmatinya. Anggoro tersenyum, dia merasa untuk yang selanjutnya akan jauh lebih mudah. Entah mengapa, dia merasa Renata juga menyukai apa yang terjadi barusan. Dia tidak tahu bagaimana tepatnya pernikahan Renata, tapi dia bisa memastikan jika kondisi pernikahannya tidak sebaik yang terlihat. Sama seperti pernikahannya. Hampir sebelas tahun dia menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. Rasa hambar mulai menghampiri dia dan istrinya. Setelah lama hidup bersama, tujuan pernikahan bukan lagi tentang mereka berdua. Betapa dirinya mendamba seorang anak akan terlahir di antara mereka dan membunuh kejenuhan dan pertengkaran yang kerap melanda. Tidak ada yang salah pada dirinya. Dia yakin itu. Kesalahan terbesar datang dari istrinya. Sesuatu bersemayam pada rahim istrinya. Meski sesuatu itu telah dikeluarkan, tapi rahim tersebut belum juga bisa berfungsi normal. Anggoro mendesah, sekali lagi melirik ke arah kaca dan memandang sosok diam Renata. Jika saja pernikahan perempuan yang terus memandang keluar jendela itu tidak bahagia, bisakah dia menjadi duri di antara mereka berdua dan menjadikan Renata miliknya? Sesuatu yang dulu tidak bisa dia lakukan, tapi bisa dia peroleh sekarang.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN