Meledakkan Rindu

1084 Kata
"Hallo, Sayang." Lelaki tampan itu menyambut tubuh istrinya ke dalam pelukan. Menciumi aroma lembut parfum di tengkuknya. "Aku kangen," bisiknya. Istrinya mengangguk dan mengetatkan pelukan. Tidak ada tempat ternyaman di dunia kecuali dalam pelukan suaminya. Ah, kenapa dia bisa melupakan perasaan nyaman ini? "Mama sudah masak untuk kamu," katanya sambil melepaskan pelukan. "Kamu cerita kalau aku mau datang?" tanyanya sambil membulatkan mata memandang suaminya. Yang dipandang terkekeh pelan. Istrinya itu memang tidak suka kalau keberadaannya itu dibesar-besarkan. "Mama bakalan kesal kalau tidak menyiapkan apa-apa untuk menantu kesayangannya." "Hei, cuma aku menantu di rumah ini. Mamamu tidak punya pilihan," ujarnya sambil mencubit pinggang suaminya. Keduanya saling berangkulan dan tertawa lepas. "Hallo anak mama akhirnya datang juga." Seorang perempuan menjelang 60 tahunan membuka pintu depan dan melebarkan kedua tangannya. Renata menghambur ke pelukan perempuan itu, menciumi kedua pipinya dan memeluknya erat. "Mama khawatir waktu Vanno cerita kamu ditinggal sendirian di Batam. Tadinya mau Mama susul, eh, sudah duluan datang," katanya setelah pelukan mereka terlepas. "Rena sayanggg Mama." Renata memeluk mama mertua yang sudah seperti mama kandungnya itu. "Kamu pasti belum makan, kan? Mama masakin ayam kremes kesukaanmu. Yuk, makan mumpung masih panas! Sambalnya spesial buat kamu, pedas manis. Dan ada sop ceker juga sama tahu Bandung goreng. Pokoknya semua kesukaanmu Mama masakin." Mama membimbing Renata ke meja makan dan membuka tudung sajinya. Aroma rempah berpadu segarnya sambal buatan Mama membuat perut Renata berbunyi sedikit keras. "Tapi Rena belum mandi, Ma." "Tapi perutmu sudah bunyi itu. Sudah kita makan saja dulu. Habis makan kamu boleh masuk kamar. Kangen-kangenan sama Vanno biar Mama cepat dapat cucu." Mama menarik kursi dan menyuruh Renata duduk. Mendengar perkataan Mama, tanpa sadar Renata mencuri pandang ke arah Vanno yang sedari tadi mengikutinya dari belakang sambil membawa luggage miliknya. "Vanno! Tolong panggilkan Mita di kamarnya. Dia pasti nggak dengar kalau Renata sudah datang. Telinga anak itu selalu disumbat earphone!" Perintah Mama pada Vanno yang sedang berjalan menuju tangga. Kamar Vanno dan Mita--adiknya--ada di lantai dua. "Papa nggak gabung sama kita, Ma?" tanya Renata sambil mengedarkan pandang ke penjuru rumah. Lelaki pendiam dengan janggut dan kumis yang memutih itu tidak kelihatan. "Papa lagi di Bandung. Besok mau ada orang yang mau menyewa vila kita di Lembang. Katanya untuk shooting film. Tapi Papa belum cocok sama harganya, jadi besok mereka mau ketemuan dulu." "Wah, keren, dong, Ma. Buat shooting film." "Ah, kamu ini. Papa itu takut kalau rumahnya rusak. Itu, kan rumah tua. Yang namanya shooting itu pasti banyak orang, banyak alat, entah apa yang bakal mereka lakukan sama rumah itu." Renata mengangguk, membenarkan ucapan Mama. "Kak Renaaa!" Teriakan seseorang membuat Mama dan Renata secara refleks menutup telinga mereka. Mita berlari kecil menuruni anak tangga, diikuti Vanno yang berjalan santai di belakangnya. "Kakak bawa pesananku, nggak," kata Mita sambil memeluk Renata dari belakang. Mama langsung memukul lengan Mita karena perkatannya itu. "Kakakmu itu, makan saja belum sudah kamu tanyain pesanan. Sana duduk di samping Vanno. Kita makan dulu." Mita mengambil tempat di seberang mamanya, mulutnya bersungut-sungut. Sementara Vanno duduk di depan Renata. Begitulah susunan kursi di meja makan jika ada Renata. Mama selalu ingin duduk di samping menantunya. "Mama kalau ada Kak Rena pasti lupa sama anak kandungnya," sungut Mita. Vanno terkikik geli. Itu memang benar. Kalau ada Renata, Mita seperti anak tiri. Seluruh perhatian Mama hanya untuk Renata. Kalau Renata mau pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta Utara pun, Mama sering merajuk. Pernah pura-pura sakit malah. Dia seperti tak rela kalau Renata membagi kasih sayangnya. "Kamu kalau ngomong suka nggak dipikir. Kakakmu, kan jarang pulang. Kalau kamu, setiap hari ketemu terus sama Mama. Wajar, dong kalau Mama lebih perhatian sama kakakmu ini." Mama tak mau disalahkan. Dari seberang meja, Mita mencibirkan bibirnya. Melihat kelakuan adik iparnya, Renata hanya tersenyum geli. Pemandangan seperti ini sudah biasa dan dia tidak tersinggung dengan kata-kata Mita. Dia tahu, Mita sedang menggoda mamanya. Selepas makan malam yang hangat, mereka semua berkumpul di depan TV. Rena memberikan pesanan Mita, ransel Charles & Keith KW premium. "Ini, kan mahal, Mit! Kamu, kok minta dibeliin barang yang mahal kayak gini, sih. Uang jajanmu Mama potong, ya?" Mita pun protes dan terjadi keributan kecil antara Mama dan Mita. Kendati Rena sudah menjelaskan kalau itu adalah hadiah ulang tahun darinya dan Vanno, Mama tetap keberatan kalau Rena mengeluarkan uang lumayan banyak untuk Mita. "Kak Rena aja nggak papa, kok Mama yang ribut, sih. Aneh Mama, ih!" "Itu, karena kamu sudah memeras kakakmu." "Santan kali diperas," sahut Mita cuek. "Sudah, sudah, sekarang giliran aku yang memonopoli Renata," kata Vanno, menarik tangan Renata agar berdiri dan mendekat padanya. "Kamu ini apa-apaan, sih, Van. Belum selesai kita ngobrol." "Besok lagi, ya, Ma. Kasian Renata capek. Dah Mam. Dah Mita," katanya sambil membungkuk mencium kening Mama. Diikuti Renata. "Rena masuk kamar dulu, ya, Ma." Tanpa menunggu jawaban Mama mereka berdua cepat-cepat pergi ke lantai dua. Di dalam kamar Rena langsung merebahkan diri dan merentangkan kedua kaki dan tangannya. Seperti permainan pesawat terbang. Vanno mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur yang lebih redup. "Capek, ya, Sayang?" Vanno memijit kaki jenjang Renata. Memijit dan mengelusnya. "Banget," jawab Renata pendek dan membalikkan badan, menelungkup. "Mau kupijit?" tanya Vanno. Renata mengangguk. Dia membiarkan suaminya menggerayanginya. Toh, tidak akan terjadi apa-apa. Vanno melolosi t-shirt dari kepala Renata dan membuka kaitan bra-nya. Dia mengusap punggung mulus istrinya dan memijit bahunya lembut. Rena mendesah nikmat. Tubuhnya mulai rileks. Vanno memang pandai memijit. Berulangkali Vanno mengurut punggungnya. Naik turun. Naik turun. Tubuh Renata semakin rileks. "Kakimu pasti pegal. Mau aku pijit juga?" bisiknya di telinga Renata. Membuatnya geli dan mengedikkan bahu. Kepala Renata mengangguk-angguk tanda setuju. Dia membiarkan Vanno membalikkan tubuhnya dan membuka kaitan dan risleting celana jinsnya. Bukan hanya itu, Vanno juga menarik bra dan membuka celana dalam Renata. "Van ... " panggilnya lirih. Dia seperti tahu ke mana tujuan Vanno. Rena ingin menolak, tapi tidak enak dengan usaha Vanno. Dibiarkannya suaminya itu membuat tubuhnya telanjangg dan mulai meremass kedua payudaraanya. Tidak berhenti sampai di situ, Vanno mulai memainkan lidahnya di atas payudaraa Renata. Bergantian kanan dan kiri. Lidah itu menjelajahi dadaa Renata sepuasnya. Mulut itu mengecupi tubuh Renata, perut Renata, dan semakin turun, membuat Renata memejamkan mata dan siap menerima sensasi geli yang membuatnya basah. Renata mengatur napas, kedua tangannya mulai menarik seprai. Dan ketika dia merasakan sesuatu yang hampir menggelegak, sesuatu dilesakkan di bawah sana. Sesuatu yang padat memenuhi rongga kewanitaan Renata. Apakah ... apakah itu sesuatu yang dia bayangkan? Bagaimana bisa? Namun Renata enggan memikirkannya untuk saat ini. Dia memilih menikmatinya, karena sesuatu yang besar hampir meledak dari dalam tubuhnya.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN