"Kalian mau pergi ke mana, kok pagi-pagi sudah rapi? Nggak sarapan?"
Mama yang sedang mengoles selai di roti sedikit jengah melihat Vanno dan Renata menuruni tangga dengan pakaian yang rapi dan sebuah sling bag tersandang di bahu Renata.
"Mau ngukur jalan sebentar, Ma," sahut Vanno sambil mengecup pipi Mama sambil memegang bahunya dari belakang. "Kami sarapan di jalam saja."
Renata mendekati Mama dan mengecup pipi Mama juga.
"Mau ke rumah orang tuamu, ya, Ren?" tanya Mama sinis. Renata tidak tersinggung, dia tersenyum manis sebelum menjawab.
"Mama ini mau tauuu aja urusan orang. Mereka mau check in tu, Ma!" Mita menuruni tangga dengan berlari kecil.
"Sok tau kamu, Mit!" sahut Mama kesal dengan teori anak gadisnya. Dia melirik Mita yang duduk di seberangnya dan mengambil sehelai roti tawar tanpa kulit.
"Ya, taulah! Semalam kamar mereka sepi banget, nggak ada suara apa-apa. Gimana mau punya anak coba kalau baru ketemu gini malah main catur. Bukannya ...."
"Udah, udah, stop!" Mama mengangkat kedua tangannya, tak mau mendengar kelanjutan kata-kata Mita.
"Kok tau kalau aku sama Renata lagi main catur, Mit?" Vanno berjalan mengitari meja dan mencubit ujung hidung Mita. "Dasar tukang nguping!"
Mita mengangkat wajah dan mengedipkan sebelah mata. "Pokoknya, kalau Mama mau punya cucu cepat, Mama harus ngijinin mereka ke hotel. Siapa tau ntar sore mereka bawa cucu lima buat Mama."
"Ah, mengada-ada kamu, Mita! Ya, sudah pergi saja terserah kalian mau ke mana. Tapi nanti malam, makan di rumah, ya!" ujar Mama sambil mengibaskan sebelah tangannya.
"Terima kasih, Ma." Renata yang sedari tadi berdiri diam di sebelah Mama mengecup pipi Mama sekali lagi. Dia memandang ke arah Vanno yang berjalan menghampirinya.
"Yuk!" Vanno mengulurkan tangan, yang disambut Renata dan menggenggamnya erat.
Beberapa langkah setelah meninggalkan meja makan, Renata mendengar Mama dan Mita bercakap-cakap lirih.
"Bener kamu nggak dengar suara apa-apa dari kamar sebelahmu?"
"Sepiiii kayak kuburan, Ma!"
"Masa, sih mereka main catur semalaman. Baru tau Mama kalau Vanno suka main catur."
Renata tersenyum mendengar percakapan mereka.
???
Selama perjalanan ke rumah orang tua Renata, mereka tidak banyak bicara. Vanno membiarkan Renata tenggelam dalam lamunannya dan dia juga lebih fokus menyetir. Dia enggan membuka suara lebih dulu karena khawatir pembicaraan mereka akan membahas masalah punya anak lagi.
Pasangan menikah mana yang tidak ingin punya anak? Vanno juga. Hanya saja selama dia belum bisa mengatasi 'masalah' dirinya, mereka belum bisa melangkah lebih jauh. Vanno sudah lama membenarkan dugaan Renata kalau dirinya menderita ejakulasi dini yang parah. Namun, dia berusaha mengingkarinya karena tidak ingin dianggap lemah. Dia tak ingin kondisinya ini diketahui siapa pun. Hanya Renata saja.
Bukan masalah mudah untuk mengatasi masalahnya ini. Di masa awal menikah, dia masih bisa melakukan satu dua dorongan jika beruntung. Namun semakin lama, semakin dia memikirkannya, semakin cepat dia menyemburkan cairan kental meski belum melakukan penetrasi. Renata mungkin tak tahu, kalau selama dia mencumbu Renata, dia sudah kalah duluan. Jika sudah begitu, bagaimana dia bisa memasuki Renata dan memuaskannya?
Terkadang, jika dia tertarik dengan penampilan fisik perempuan-perempuan di kantornya, yang sering menunduk di depannya dan memperlihatkan belahan d**a atau mereka yang mengenakan rok kelewat pendek, dia bisa 'keluar' meski sudah ditahan begitu kuat. Kondisi inilah yang menyebabkan Vanno menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dan ketika ada kesempatan mutasi ke luar daerah, dia mengajukan diri. Dia pikir, perempuan daerah akan jauh lebih sopan daripada perempuan metropolitan seperti Jakarta.
"Kamu mungkin ingin melepas rindu dengan mamamu, aku tinggal saja, ya. Nanti sore aku jemput," kata Vanno sesaat sebelum mereka sampai di rumah orang tua Renata.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya curiga.
Meski masih kesal dengan kejadian semalam, Renata tak suka jika Vanno keluyuran tak jelas tanpa sepengetahuannya.
"Mungkin mengunjungi beberapa teman di sekitar sini. Atau menghabiskan waktu seharian di toko buku. Membeli beberapa buku dan membacanya di kafe sambil menunggu waktu menjemputmu."
Renata memandang ke arah suaminya. Ini weekend dan teman dia yang sebagian besar adalah temannya juga semasa SMA, rata-rata sudah menikah. Mereka pasti menghabiskan waktu bersama keluarganya masing-masing. Membayangkan suaminya keluyuran di mall dan nongkrong di kafe sendirian, dia merasa sedih. Namun dia juga butuh waktu bersama mamanya. Beberapa hal yang sudah disimpan terlalu lama ingin dia ceritakan pada Mama.
"Jangan terlalu jauh. Kalau aku ingin dijemput lebih awal, kamu bisa datang lebih cepat," kata Renata lembut.
Vanno memalingkan wajah sekilas dan tersenyum. Senyum yang bisa meluluhkan perempuan mana pun di segala usia. Termasuk dirinya. Dan dulu dia merasa sangat beruntung karena Vanno memilihnya dari sekian banyak gadis cantik di sekolah. Hubungan mereka sempat putus karena mereka kuliah di tempat yang berbeda. Namun, ketika mereka bekerja, mereka dipertemukan lagi dalam satu divisi. Dan hubungan yang terputus terjalin lagi.
Renata pun memilih resign ketika Vanno melamarnya, karena ada ketentuan suami istri dilarang bekerja pada satu perusahaan. Renata melamar kerja di tempat lain dan diterima beberapa bulan setelah mereka menikah.
"Sudah sampai. Aku antar kamu ketemu Mama sebentar, ya," kata Vanno sebelum mematikan mesin mobil.
Renata sudah memberitahukan rencana kedatangannya pada mamanya. Sehingga ketika dia menggeser gerbang, pintu kokoh yang terbuat dari besi itu bisa dia dorong ke samping. Belum sampai dia di muka pintu, Mama sudah keluar dan menyambutnya.
"Anak Mama yang paling cantikkk!" katanya sambil memeluk dan mencium Renata.
"Menantu Mama yang paling gantenggg!" Mama melakukan hal yang sama pada Vanno.
Dia memandangi mereka berdua sebelum menyuruh mereka masuk.
"Vanno nganter Nata saja, Ma. Nanti Vanno jemput. Dia mungkin mau kangen-kangenan sama Mama."
Mama mengernyit dan memandang mereka berdua.
"Kalian nggak lagi berantem, kan?"
"Oh, enggak, Ma. Kami baik-baik saja. Hanya saja waktu Nata juga nggak banyak karena ...." Vanno menggaruk belakang kepalanya. "Mama tahulah bagaimana sikap Mama Vanno kalau ada Nata."
"Ah, ya, mamamu itu! Ya sudah, beri kami waktu yang bermutu untuk melepas kangen kalau gitu. Terus, kamu mau ke mana, Van?"
"Muter-muter di sekitar sini aja, Mah. Paling nyari buku."
"Jangan nakal!" Mama mengacungkan telunjuknya.
"Nggak mungkin, Ma. Vanno itu laki-laki alim yang setia pada satu pasangan," kata Renata sambil melingkarkan tangannya ke tangan Mama.
"Sudah sana pergi, kamu menghabiskan waktu kami saja." Renata mengibas-ngibaskan sebelah tangannya seperti sedang mengusir kucing.
"Setidaknya biarkan Vanno masuk dan makan siang."
"Nggak perlu, Ma. Kebetulan Vanno ada janji makan siang sama teman lama, kok."
Setelah memandangi menantunya sejenak, Mama mengangguk. Vanno mencium pipi Mama dan Renata sebelum berjalan pergi meninggalkan mereka.
"Mama masak apa? Nata laper tadi pagi belum sarapan." Renata masuk ke dalam rumah. Melempar tasnya ke sofa dan berjalan ke ruang makan.
"Nat, kamu nggak apa-apa?"
"Kok, meja makannya masih kosong? Mama belum masak?"
"Nat, ada yang mau kamu ceritakan sama Mama?"
Renata memandang Mama dan merasakan matanya mulai panas.
"Kamu anak Mama satu-satunya. Mama pasti tahu kalau ada apa-apa."
Tangis Renata pun pecah, dia menghambur ke pelukan Mama dan menangis sejadinya. Membuat Papa yang baru masuk setelah mengurus tanaman hidroponiknya di samping rumah terlihat heran. Mama mengibaskan tangan, menyuruh Papa kembali pada hobinya. Papa pun paham dan dia meninggalkan mereka berdua.
Mama membimbing Renata ke kamarnya. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan berat dan panjang anak dan ibu. Dia mendudukkan Renata di tepi tempat tidur. Keluar kamar sebentar dan kembali dengan secangkir teh camomile. Aromanya membuat Renata sedikit tenang.
"Kamu bisa mulai bercerita kalau sudah tenang," kata Mama.
Setelah meneguk tehnya, Renata mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan napasnya pelan. Dengan terbata-bata, dia menceritakan masalah dalam pernikahannya selama tiga tahun ini.
Mama mendengar dengan saksama dan berusaha tidak berkomentar sampai anaknya selesai bercerita. Hatinya teriris mendengar penuturan putri semata wayangnya. Namun dia harus bersikap bijak, karena bukan Renata saja yang menderita. Vanno juga pasti tersiksa dengan keadaannya.©