Arga melipat tangan di depan d**a, mengintimidasi istrinya dengan tatapan tajamnya. Rania sangat takut melihatnya yang demikian, tapi mau gimana lagi. Rania memang harus menghadapinya.
"Baru seminggu menikah, tapi kamu sudah menunjukkan belangmu, Rania. Rupanya bukan cuma perempuan jala-ng yang sudah menjebakku tidur di ranjangmu, tapi juga matre dan suka keluyuran tak jelas!" tuduh Arga dengan kejamnya.
Rania akan membuka mulut dan bersuara untuk membela diri, tapi kemudian Arga tak membiarkannya. Pria itu kembali berbicara tanpa memberikan celah sama sekali untuk Rania.
"Apa saja yang sudah kamu beli, sampai menghabiskan nominal uang setara harga satu buah mobil? Gila! Aku pikir kamu itu lugu, tapi ternyata kamu lebih ahli dari kakakmu!" seru Arga melanjutkan.
"Pak, ak--"
"Cih!! Seharusnya aku tak sekaget itu. Walau bagaimanapun kalian itu kan saudara. Jelas saja tak beda jauh. Satunya peng--"
"Uangmu aku pakai untuk membayar tagihan gaun pengantin!" sela Rania akhirnya bisa menyela.
Arga terkaget dan menatap Rania dengan tak percaya, sembari menuntut penjelasan.
"Maksudmu?"
"Tante, maksudnya ibunya Bapak nuntut supaya kita mengadakan resepsi. Dia mengajakku ke butik hari ini dan kemarin ketemu WO," jelas Rania dengan sedikit kesal.
"Kenapa kamu bilang sekarang?" tanya Arga menuntut.
Rania segera membulatkan matanya sambil menghela nafasnya dengan jengah. 'Saya mau bilang dari tadi Bapak, tapi Bapak aja yang nyerocos terus, marah sambil nuduh orang sembarangan!" batin Rania kesal dan gemas sekaligus.
"Kenapa Mommy tidak memberitahuku?!" tanya Arga lagi dan Rania cuma mengangkat bahunya acuh. "Sial. Kamu juga jadi istri cuek sekali. Untuk hal sepenting itu, kamu tidak bicara kepadaku!"
'Yaiyalah. Siapa juga yang mau bicara sama orang menyebalkan seperti Bapak?!' batin Rania menjawab, tapi kemudian Rania cuma diam dan tak mengungkapkan isi hatinya.
"Kenapa malah diam sih. Ch, dasar perempuan pembawa bencana!" geram Arga sambil mendengus kasar.
'Cih, daripada Bapak? Cih, dosen pencabut nyawa!' jawab Rania membatin, tapi tentu saja Rania tak berani menyampaikannya secara langsung, karena segan dan juga menakuti dosennya.
Blam.
Pintu ditutup dengan cukup pelan dan hati-hati. Menjaga agar orang yang di dalam kamar supaya tak mendengar atau menyadari keberadaannya. Ah, ya. Tanpa pasangan baru itu ketahui, ada Laura di depan pintu kamar mereka dan baru saja selesai menguping.
"Sial. Kok mereka baikan sih? Perempuan tua yang sudah bau tanah itu juga apa-apaan. Marah, tapi malah buat resepsi. Breng-sek!! Kenapa begini jadinya?!" geram Laura tak terima. "Jala-ng itu juga apa-apaan sih, sok menye-menye manja sama tuan Arga. Apa coba maksudnya, mau menggodanya lagi apa?!"
Laura merasa pusing tiba-tiba menyerangnya, tak bisa bertahan di sana. Dengan hati-hati diapun turun ke bawah dan langsung mengurus makan siang untuk majikannya itu.
Tinggal menyajikan saja, karena beberapa menit lalu dia sudah selesai memasak. Itulah kenapa dia punya kesempatan untuk menguping ketika Rania tiba.
Sekarang walaupun nampaknya Laura kesal, tapi rupanya dia belum menyerah. Dia memikirkan sesuatu dan tersenyum miring ketika mendapatkan ide yang briliant.
"Rasakan kamu jala-ng! Habis ini semoga kamu muntaber, tapi jika tak bisa setidaknya kamu pasti akan mencret. Hahaha, mampus kamu jala-ng!" seru Laura tersenyum senang.
Tak berselang lama pasangan suami istri yang baru menikah itupun tiba, dan langsung ke meja makan untuk makan siang bersama. Anehnya Rania cuma diam saja. Setelah mengambil makanan untuk suaminya dia cuma dia dan menonton.
"Kamu tidak makan?" tanya Arga heran.
"Udah, tadi sama Tante," jawab Rania memberitahu.
Arga tak menjawab dan bahkan dengan acuhnya dia malah langsung makan. Hampir menghabiskan semua menu di meja makan. Walaupun hati Laura busuk, tapi masakannya memang enak, dan Arga memang selalu makan dalam porsi banyak.
'Pak Arga udah keliatan cocok jadi kuli. Makannya banyak bangat lagi. Gila, apa perutnya nggak kembung ya?' Rania masih bingung dengan fakta laki-laki yang menjadi suaminya itu.
'Tapi dia tidak gemuk, ya. Badannya berotot dan sepertinya bagian perutnya juga tidak membuncit?' Rania lanjut membatin, sambil kemudian reflek menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Berhenti menggaruk, nanti rambutmu jatuh ke makananku!" peringat Arga dengan tak mau dibantah.
Rania pun menurut dan mengangguk setuju, tapi kemudian dia merasa bosan. Memikirkan sesuatu dan terbersit untuk membuatkan jus untuk dirinya. Rania pun bangkit dan bergegas melakukannya.
Selesai, dia membawa jusnya ke meja makan. Baru saja mau meminumnya, tapi malah didahului oleh Arga.
"Pak!" rengek Rania kesal dan tak terima.
Arga tak perduli, dengan santainya dia malah enak-enakan terus meneguknya.
"Kebiasaan. Bapak suka sekali merebut makananku!!" geram Rania dengan kesal dan kembali bangkit dengan terpaksa membuat minuman baru.
"Daripada kamu, sudah merebut saya dari kakakmu!" sarkas Arga menohok.
Rania cuma bisa mengerucut bibirnya, sambil menahan hatinya supaya teguh walaupun rasanya cukup nyeri dikatai demikian. Lanjut membuat jus dan berusaha mengabaikannya.
Kemudian ketika sudah jadi, Rania dengan konyol menjulurkan lidahnya ke dalam gelas yang sudah di isi jus. Bermaksud agar Arga jijik dan tak mau mengambil jusnya lagi.
"Aku baru tahu, ternyata kamu siluman hewan yang menggonggong. Suka menjilat rupanya!" seru Arga mengejek, tapi kemudian dengan tak terduga, dia kembali merebut jus milik Rania lagi. Tidak meminumnya habis, dan hanya mencicipi.
"Lebih enak dari yang tadi, tapi sayangnya perutku sudah cukup kenyang," ujar Arga dengan santai.
Anehnya Rania yang justru tidak bisa santai. Matanya membulat dan masih dalam keterkejutannya. Masih belum pulih, tiba-tiba Arga menyodorkan jusnya dan memaksanya minum sampai haus.
"Daripada kamu mangap-mangap kemasukan lalat, lebih baik jusnya, bukan?" ujar Arga sambil menyeringai dan tersenyum miring.
*****
Nafas Arga sudah tak bisa tenang, ngos-ngosan dan wajahnya terlihat lemas. Terhitung lima kali sudah dia bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk membuang isi perutnya. Rasanya melilit dan juga sangat mulas.
"Pak Arga, kamu baik--"
Blam!
Belum menjawab, Arga cuma sempat menatap tajam sebelum kemudian membanting pintunya kasar, dan kembali masuk ke dalam.
Lima belas menit kemudian dia keluar dengan wajah yang semakin lemas, Rania menjadi khawatir dan juga mencemaskannya.
"Sebenarnya Bapak kenapa sih, kok bolak-balik terus dari tadi?" tanya Rania terlihat cukup panik.
"Kamu masih nanya kenapa? Aku sakit perut Rania, dasar perempuan pembawa bencana. Apa yang sudah kamu masukkan dalam jusmu?" geram Arga masih mengomel di sisa tenaga yang semakin menipis.
"Cuma buah, sedikit madu dan gula, Pak. Memangnya apa lagi? Lagian aku juga minum. Jika Bapak pikir ada racun, harusnya aku kena juga," jawab Rania cukup kesal.
"Ssst ... argghhh!" geram Arga kembali mulas. "Panggil dokter," ujarnya lemah.
Rania kurang mendengar, sampai mengerutkan dahi. "Apa?"
"Pengggilkan dokter Rania!!" ujar Arga sedikit berteriak sambil kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Rania melakukannya, menghubungi dokter supaya datang dan memeriksa Arga, tapi kemudian tiba-tiba saja langkahnya kembali ke meja makan dan menatap hidangan di sana.
"Selain minum jus, bukannya Pak Arga makan masakan Laura? Tapi--" Rania menghentikan ucapannya memikirkan sesuatu dan kemudian mendapatkan titik terang yang baginya sangat meyakinkan. "Yang jelas itu bukan karena jus buatanku. Entahlah karena apa atau ulah siapapun itu!" ujar Rania menyeru.
*****