Kepergian Ariana Menciptakan kekhwatiran untuk Cayra, ada banyak perasaan tidak enak yang sedikit demi sedikit menciptakan rasa takut.
Cayra berjalan kaki sendirian berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan menuju sekolah, sesekali Cayra berhenti melangkah dan melihat ke sekitar, pikirannya sibuk merenung, teringat kejadian tadi pagi.
Sejujurnya, hati Cayra sakit, sepanjang malam dia tidak bisa tidur, setelah mendapatkan izin Cayra bahwa kamarnya boleh ditempati oleh anak kandungnya, Ariana langsung membersihkan ruangan belakang dan meminta Cayra berbenah memindahkan semua barang-barang dari kamarnya.
Keterburu-buruan Ariana membuat Cayra kecewa, padahal Cayra ingin meminta dibuat satu jendela terlebih dahulu agar kamarnya terkena cahaya. Cayra sempat menangis di kamar barunya yang kecil dan tidak memiliki jendela, sangat pengap, dia juga tidak nyaman dengan suasana gelap dan panas.
pagi ini dua orang petugas datang membawa ranjang baru, mendekorasi ulang ulang kamar yang akan ditempati oleh puteri kandung Ariana.
Cayra merasakan betapa beratnya menerima semua perubahan dalam waktu yang cepat, namun dia tidak bisa mengeluh. Kali ini rasanya berbeda ketika Cayra ingin mengungkapkan pendapatnya kepada Ariana maupun Hezberg, rasanya dia seperti tidak memiliki hak untuk bersuara karena sudah mengambil alih kehidupan orang lain selama delapan belas tahun lamanya.
Mungkin memang tidak ada yang salah jika semua hal selama ini Cayra miliki akan terambil semua oleh orang yang memang seharusnya mendapatkan ini semua.
Tapi, disini Cayra juga korban..
Ini bukan salah Cayra, ini kesalahan rumah sakit yang sudah lalai dengan tugas mereka hingga membuat orang bayi kehilangan keluarga kandung mereka.
Cayra terlonjak kaget mendengar suara klakson kendaraan yang tiba-tiba berbunyi, gadis itu menatap sengit sebuah kendaraan hitam yang terhenti di depannya. Tidak berapa lama jendela belakang mobil menurun dan memperlihatkan sosok Javier. “Masuklah.”
Tanpa berkata-kata, Cayra berlari dan masuk ke dalam, duduk di sisi Javier. Sekali lagi Cyra dibuat terkejut hebat melihat Javier satu tangan Javier terbalut gips dan penyangga tangan yang terkalung di lehernya.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa terluka?” tanya Cayra hampir seperti sebuah teriakan.
“Aku jatuh di tempat gym, satu minggu juga sudah sembuh,” jawab Javier dengan tenang.
“Harusnya kau berhati-hati, kau kan bukan anak kecil lagi,” omel Cayra tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Akhir-akhir ini sudah ada banyak yang terjadi, Cayra tidak ingin terjadi sesuatu juga kepada Javier.
Cayra tidak suka Javier terluka, dia ingin Javier selalu baik-baik saja.
“Tenanglah Cay, ini tidak seburuk yang terlihat.”
“Apa Javier bicara jujur, Paman?” tanya Cayra pada Heros, sopir pribadi Javier. Cayra tidak percaya dengan apa yang dikatakan Javier, dia takut Javier hanya sedang menghiburnya saja.
“Apa yang dikatakan Tuan Muda benar. Saya sendiri yang membawanya ke rumah sakit,” jawab Heros dengan senyuman.
“Lain kali berhati-hatilah,” nasihat Cayra lebih lembut. Javier tersenyum samar dan mengangguk.
Cayra menarik napasnya dalam-dalam, tanpa sadar dia menggenggam tangan Javier dan menatap keluar, memperhatikan daun-daun yang berserakan di sepanjang jalan.
Keterdiaman Cayra menjadi perhatian Javier, sorot mata gadis itu yang gelap dan suram menyiratkan jika keadaannya semakin tidak baik. Javier menahan diri untuk tidak bertanya karena hal itu tidak akan membawa perubahan apapun, satu-satunya cara yang bisa membuat Cayra menjadi lebih baik hanyalah menemaninya.
Sepuluh menit perjalanan ke sekolah, begitu mereka sampai di depan gerbang sekolah, dengan cepat Cayra keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Javier, dengan sigap Cayra merebut tas Javier dan menggendongnya di depan.
“Cay, aku bisa melakukannya sendiri,” protes Cayra.
“Kau jangan malakukan banyak kegiatan, biar aku yang urus,” kata Cayra dengan serius.
***
Ariana duduk dalam kegelisahan, melihat kepenjuru ruangan sederhana sebuah panti asuhan tempat di mana puteri kandungnya hidup selama ini.
Seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi sempat memberitahu bahwa anak Ariana bernama Lilian, ketika berada di rumah sakit, tidak ada yang membawanya pulang.
Orang tua Cayra yang asli menyadari bahwa puterinya tertukar karena Lilian sempat demam hebat dan harus melakukan pemeriksaan darah, mereka belum sempat mencari Cayra, namun mereka segera kembali keluar negeri karena ibu Cayra mengalami pendarahan dan meninggal.
Pihak rumah sakit akhirnya memberikan Lilian pada panti yang buat dinas perlindungan anak. Tidak berapa lama setelah itu ada sepasang suami isteri yang membawa Lilian dan menjadikannya anak mereka, saat Lilian berusia lim belas tahun, dia dikembalikan karena orang tua angkatnya mengalami kebangkrutan dan tidak bisa menghidupi Lilian.
Ariana yang mendengarkan cerita tersebut menangis begitu sedih, rupanya memang benar jika puteri kandungnya mengalami kehidupan yang sulit. Ariana akan sangat menyesal bila dia menunda kedatangannya ke sini.
Ariana ingin menebus semuanya, kehidupan Lilian selama delapan belas tahun ini memprihatinkan.
Suara ketukan di pintu terdengar, seorang wanita berpakaian biarawati datang, membawa seorang anak gadis barambut panjang dengan mata birunya yang sangat mirip dengan Hezberg. Gadis itu berdiri menatap lugu semua orang dan berakhir menatap Ariana yang kini menutup mulut lebih kuat.
Lilian dan Ariana saling memandang kaget, Lilian sempat tertunduk sedih dan diam-diam menangis.
Napas Ariana tersendat-sendat penuh sesak, menatap lekat Lilian yang, anak kandungnya yang selama ini tidak pernah sedikitpun Ariana bayangkan ternyata ada di luar, dan hidup seperti ini.
“Dia, puteriku?” bisik Ariana terisak.
“Benar Nyonya. Lilian, sapalah ibumu,” kata Margareth.
Ariana beranjak dan terburu-buru menghampiri Lilian, memeluknya dengan erat, merasakan sebuah ikatan batin yang begitu kuat hanya dengan merasakan tubuhnya dalam pelukannya. Ariana menangis, merapalkan do’a syukur penuh kebahagiaan karena semua kebenaran datang seperti sebuah keajaiban.
Lilian ikut menangis, tubuhnya gemetar begitu terkejut karena akhirnya bisa bertemu dengan ibu kandungnya.
“Ayo pulang dengan ibu, kau tidak perlu di sini lagi. Ayahmu juga menantikan kehadiranmu, kau mau kan?” Tanya Ariana mengusap wajah Lilian dengan tangan gemetar seakan seperti sudah menggenggam sebuah mimpi besar.
Lilian mengangguk tanpa suara dan kembali memeluk Ariana dengan erat penuh dengan kelegaan. “Aku mau.”
***
Cayra merebut buku catatan Javier dan membantu menuliskan materi yang harus di catat, tidak hanya itu saja, dia juga terus mengikuti Javier kemanapun dia pergi seakan takut Javier akan kesulitan melakukan sesuatu jika sendirian, Cayra tidak segan berjalan di depan Javier ketika mereka hendak ke kantin dan meminta orang di sekitar sedikit menjauh agar mereka tidak menyenggol tangan Javier.
Ketika sampai di kantin sekolah, Cayra menyuruh Javier diam menunggu karena dia yang akan mengantri dan membawakan makanan untuk Javier.
“Dia benar-benar merawatmu seperti bayi,” goda Diego yang duduk di samping Javier.
Javier melihat keberadaan Cayra yang masih mengantri membawa dua nampan makanan, gadis itu terlihat kerepotan, namun kesungguhan di matanya membuat Javier merasa senang dan terhibur.
“Apa kau dan Cayra benar-benar belum pacaran?” Enzy ikut bertanya.
“Memangnya kenapa?” tanya balik Javier tanpa mengalihkan pandangannya dari Cayra.
“Jika belum, aku akan mengenalkannya pada temanku, beberapa kali dia menanyakan Cayra.”
“Kau jangan sembarangan bicara.”
“Kau pikir aku bicara tidak serius? Cayra sangat cantik, dia juga gadis yang baik, bukankah wajar jika ada banyak pria yang suka padanya?” debat Enzy.
Refleks Javier terbangun dari duduknya dan pergi tanpa memberi jawaban, pria menerobos antrian dan mengambil satu nampan makanan di tangan Cayra. Keduanya sempat berdebat, Cayra beberapa kali mendorong Javier agar duduk menunggu, akan tetapi Javier tetap menolak.
“Kenapa mereka bersikap i***t?” komentar Enzy tidak mengerti. Jelas terlihat Javier dan Cayra terlihat saling peduli dan saling menyukai, namun anehnya mereka tidak berpacaran.
“Apa kau tidak pernah dengar alasan klasik wanita dan pria yang bersahabat tapi takut pacaran?” tanya balik Diego menimpali.
“Apa alasannya?”
“Mereka takut putus, dan hubungan indah itu akan berakhir karena canggung, lalu menjadi dua orang asing yang berjauhan. Memangnya kau mau, mempertaruhkan hubungan baik belasan tahun dengan pacaran yang beberapa bulan atau tahun, belum lagi bisa dipastikan akan menikah, dan belum tentu juga jika putus akan berakhir dengan baik,” jawab Diego menjelaskan apa yang ada dipikirannya sebagai seorang laki-laki.
Enzy tidak berkata-kata begitu memahami ucapan Diego, mungkin Javier juga memiliki pikiran yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Diego.
***
Cayra berlatih keras begitu dia harus mengurangi jadwal latihan es skatingnya karena belajar. Suara musik terdengar mengalun, Cayra bergerak di atas lantai es dengan gerakan yang mengikuti tempo.
Kesedihan dan beban yang tersimpan di mata Cayra hilang begitu saja hanya dengan dia berlatih es skating.
Terkadang ada masalah yang tidak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak bisa diceritakan kepada siapapun karena hati yang menahannya. Sayangnya, semakin sering memendam masalah, ada waktunya dimana nanti masalah itu akan meledak.
Satu-satunya cara merendam masalah tanpa kata hanya dengan bertemu dengan orang yang dipercaya dan membuat nyaman, melakukan hal yang dicintai, lalu berpikir untuk terus melangkah meski harus beberapa kali terjatuh.
Layaknya bermain es skating, saat Cayra pertama kali melakukannya dan bergerak di atas es, beberapa kali dia terjatuh dan terluka, tidak terhitung lagi berapa kali dia menangis dan menyerah karena sakit. Namun, karena tekad yang kuat, pada akhirnya Cayra terus mencoba dan bangun kembali, mengulanginya terus menerus sampai akhirnya Cayra bisa memenangkan banyak kompetisi dan berpikir bahwa es skating adalah sebagian dari hidupnya.
***
Cayra duduk berhadapan dengan Hezberg tengah menikmati sarapan pagi mereka. Sudah tiga hari Ariana pergi, dari yang Cayra dengar, hari ini Ariana akan pulang membawa Lilian.
Ada banyak kabar yang Cayra dengar selama Ariana berada di luar kota, salah satunya kabar orang tua kandung Cayra yang kini berada di luar negeri. Pihak rumah sakit yang sudah melakukan kelalaian bertanggung jawab sepenuhnya, mereka berjanji akan segera mencari keberadaan orang tua Cayra.
“Ayah,” panggil Cayra memecah keheningan.
Hezberg mengangkat wajahnya dan melihat Cayra yang kini tersenyum canggung.
“Lilian akan sekolah di sini juga, mungkin sebaiknya, untuk bulan depan aku akan berhenti mengikuti pelajaran tambahan di sekolah untuk mengurangi biaya sekolah. Aku akan belajar dengan giat sendiri dan banyak bertanya kepada Javier.”
Hezberg terdiam, memperhatikan keseriusan Cayra yang sejak awal mereka tahu bahwa Cayra bukan anak kandung Ariana dan Hezberg, tidak pernah sekalipun Cayra mengeluh, bahkan ketika kini dia pindah kamar.
Hezberg tahu Cayra sering kali terbangun dan tidur di sofa karena ketakutan, kamar barunya yang tanpa jendela membuat Cayra gelisah.
“Jangan Cay, ayah masih sanggup.”
Cayra meletakan sendoknya di sisi piring. “Sebenarnya ini bukan hanya karena Lilian saja, ini juga demi ayah. Daripada membayar biaya sekolah. Mungkin sebaiknya kita fokus pada kesehatan Ayah. Jika nanti Ayah sudah kembali sehat, aku baru akan mengikuti kelas tambahan lagi.”
Hezberg membuang napasnya dengan berat, dia tidak habis pikir dengan kebaikan Cayra yang selalu mengutamakan kelarganya. Hezberg menarik mundur kursi roda yang di dudukinya, “Kemarilah Cay, aya ingin memelukmu.”
Cayra terdiam tidak kuasa menahan tangisannya, sudah cukup lama dia tidak memeluk Hezberg. Dengan cepat Cayra beranjak dari duduknya dan mengitari meja, gadis itu langsung bersimpuh di lantai dan memeluk Hezeberg dengan erat.
Mata Cayra terpejam, merasakan pelukan Hezberg yang mungkin kedepannya akan semakin jarang bisa Cayra dapatkan karena kedua orang tuanya akan mulai fokus pada Lilian dan mencurahkan kasih sayang mereka pada Lilian.
“Aku sayang Ayah, terima kasih sudah membesarkanku dengan baik,” bisik Cayra memberitahu.
Hezberg mengangguk dan mengusap kepala Cayra. “Ayah juga sayang padamu, terima kasih sudah bersikap dewasa dengan semua yang teah terjadi akhir-akhir ini.”
Cayra sedikit tersesenyum dan bernapas dengan lega, kata-kata Hezberg membuat hatinya menjadi tenang.
***
Waktu berjalan dengan cepat, sore telah tiba, Cayra duduk sendirian di sebuah bangku menunggu Javier yang kini tengah less bahasa asing. Cayra tidak ingin pulang, dia ingin menyibukan diri dan membuat pikirannya berhenti memikirkan hal-hal tidak pasti karena hari ini Ariana dan Lilian sedang dalam perjalanan pulang.
Satu jam menunggu, Javier keluar, dengan sigap Cayra berlari menghampirinya.
“Berikan padaku tasmu,” kata Cayra seraya melompat, mengambil tas Javier.
“Astaga, tidak perlu Cay,” tolak Javier sedikit menjauh agar Cayra tidak membawakan tasnya lagi karena berat.
“Biar aku saja, nanti tanganmu sakit,” kukuh Cayra merebut tas Javier dan langsung menggendongnya.
Javier menghela napasnya dengan berat, sangat sulit untuknya menolak keinginan Cayra. “Kemarilah,” Javier menarik bahu Cayra dan membawanya pergi keluar dari area tempat less.
Wajah Cayra terangkat sejenak, menatap Javier dengan serius. “Akhir pekan besok apa kau memiliki acara?” tanya Cayra dengan serius.
“Aku akan ada di rumah, ibuku masih belum pulang, sepertinya urusan pekerjaannya masih banyak.”
“Jika kau tidak memiliki acara, apa aku boleh datang ke rumah? Aku ingin belajar, ada beberapa materi yang masih tidak kumengerti.”
“Kenapa tidak dimulai dari hari ini? Sekarang aku juga sedang senggang.”
Samar Cayra tersenyum. “Hari ini ibuku pulang dengan Lilian, puteri kandungnya. Aku harus menyambut mereka,” aku Cayra.
Langkah Javier terhenti, begitu pula dengan rangkulannya di bahu Cayra yang menguat, membuat Cayra ikut berhenti melangkah dan kembali menatap Javier.
“Cay, kau baik-baik saja kan?” tanya Javier hati-hati.
“Aku baik-baik saja,” jawab Cayra dengan tulus.
Javier menelan salivanya dengan kesulitan, dia tahu Cayra berbohong, terlihat jelas ada kegelisahan di matanya, tapi Cayra memaksakan diri untuk menerima semua yang terjadi dengan ketulusan.
“Kau mau ice cream?” tawar Javier.
Bibir Cayra menekan kuat, sorot di mata indahnya berubah berkilauan, Cayra tahu Javier sedang ingin menghiburnya karena itu menawarkan ice cream. Dengan cepat Cayra mengangguk.
***
Matahari di upuk barat akan sepenuhnya tenggelam dalam beberapa menit lagi, Cayra berjalan sendirian menyusuri jalan gang menuju rumahnya.
Jantung Cayra berdebar, memikirkan seperti apa wajah Lilian dan apakah mereka bisa akrab tanpa ada kecanggungan? Apakah mereka bisa menjadi suadara? Bagaimana jika Lilian membencinya? Haruskah Cayra meminta maaf kepada Lilian?
Tanpa terasa kini Cayra sampai di depan pintu pagar rumahnnya, sesaat gadis itu menarik napasnya dalam-dalam sebelum memutuskan masuk ke dalam.
Begitu pintu rumah terbuka, Cayra bisa mendengar suara tawa di dalam ruangan tamu.
“Aku pulang,” ucap Cayra ragu, beberapa langkah gadis itu masuk. Cayra langsung melihat keberadaan Ariana yang sudah pulang dan kini tengah duduk berbincang dengan Hezberg, di samping Ariana terdapat seorang gadis yang duduk dan tersenyum hangat kepadanya.
Cayra menarik napasnya dalam-dalam begitu dia bertatapan dengan Lilian.
***
Margareth berdiri di depan jendela, memperhatikan beberapa anak panti asuhan yang terlihat senang bermain di halaman dan terlihat begitu bahagia setelah sekian lama sering dibuat ketakutan dan tertekan. Margareth meminum tehnya perlahan.
“Dia sudah sampai di rumah barunya,” ucap seorang pengasuh.
“Baguslah, kuharap dia tidak kembali lagi ke sini.”
“Apa Anda tidak mengatakan jika dia pernah masuk rehabilitasi remaja selama beberapa bulan?”
“Jika aku menceritakannya, mungkin dia tidak akan dibawa pergi. Siapa juga yang mau mengasuh orang gila seperti dia, bahkan orang tua angkatnya yang kaya raya saja membuangnya karena dia tidak bisa ditangani,” jawab Margareth terdengar kesal. “Sekarang kita fokus pada anak-anak yang ada di sini,” ucap Margareth lagi.
To Be Continued..