Terhitung, empat hari Daniel pergi ke pabrik sesuai saran Ana. Daniel harus tau seluk beluk perusahaan, mulai dari bagian operasional hingga administrasi. Antonio-lah yang membantu menjelaskan beberapa hal kepada Daniel.
Selama empat hari berkeliling, memperkenalkan satu-dua hal kepada Daniel, semuanya berjalan lancar. Daniel bisa memahami alur kerja mesin yang ada di pabrik, serta siapa saja yang bertanggung jawab didalamnya.
"Niel, mau kopi nggak?"
Kepala Antonio muncul dari balik pintu kaca, Daniel yang sejak tadi sibuk memukuli kertas-kertas diatas meja mendongak.
"Mau deh, Latte aja"
"Okay!"
Hari kelima, Daniel tidak pergi ke pabrik, dia sekarang berada di wilayah perkantoran pusat kota. Ana dan Antonio biasanya bekerja dari sana, hanya untuk beberapa urusan mereka akan pergi ke pabrik.
Karena sekarang ada Daniel, maka di sisi kiri lantai 20 gedung perkantoran itu dihuni oleh tiga orang. Ana sendiri sibuk tenggelam dalam pekerjaannya di ruangan, sementara meja Daniel ada dalam satu ruangan yang sama dengan Antonio.
"Kayaknya kantor sebelah lagi ada acara, cafeteria penuh banget"
Antonio mulai terbiasa menggunakan gaya percakapan casual dengan Daniel, mereka sepakat untuk tidak menggunakan bahasa formal.
"Thanks, Gus."
"Ck. Mau ampe mulut gue berbusa panggilan lo ke gue kayaknya gak akan berubah, Niel."
Antonio paling malas jika Daniel sudah memanggilnya dengan sebutan 'Gustomi' tapi apa boleh buat, Daniel seakan tak peduli dengan protes rekan kerjanya. Jemari Daniel yang tengah menari diatas keyboard mendadak berhenti, cowok itu menatap Antonio dengan kening berkerut.
"By the way, lemme ask you something,"
"Hm?"
"Dengan latar belakang sementereng itu, juga pengalaman yang lo punya, why are you interested in working with my mom?"
Antonio terdiam sejenak, dia menautkan kesepuluh jemarinya, duduk bersandar menghadap ke arah Daniel.
"What's wrong with that?"
"Just ask, kalo nggak mau jawab juga gak masalah"
Antonio menghirup oksigen yang ada disekitar pelan, laki-laki itu mengatur ritme jantung sehingga pernapasannya lancar.
"Gue lahir dari keluarga yang sederhana dan nggak punya privilege apapun. Mengandalkan kerja keras, belajar, menyempurnakan nilai-nilai sekolah, gue nekat ambil beasiswa kuliah di Singapura."
Antonio memberi jeda selama dua menit, Daniel diam mendengarkan, dia hanya ingin tau sebab Ana selalu memuji kinerja sekretarisnya ini.
"Usia gue 20 tahun, pertengahan semester beasiswa gue terancam karna nilai gue anjlok, biasa ada masalah pribadi. Stres, putus asa, takut gagal. Hari itu, secara nggak sengaja gue ketemu bu Ana dan pak Nathan. Entah keberanian dari mana, gue ngobrol dan cerita persoalan yang lagi gue hadapi."
Lagi, Antonio mengambil jeda seakan dia juga tengah memilah memori-memori yang hendak diceritakan pada Daniel.
"Mereka menawarkan sesuatu yang menarik, seluruh biaya kuliah gue dari S1 sampai S2 akan ditanggung sama mereka, asalkan setelah lulus gue mau bekerja untuk mereka. I couldn't resist. Jadi, gue terima tawarannya. Seketika permasalahan gue lenyap, Niel. Karna gue gak perlu mikir biaya kuliah lagi, akhirnya gue memutuskan ambil part time, jadi asisten dosen, bantu administrasi kampus, apa saja asal dapat uang untuk hidup sehari-hari"
"Jadi, alasan lo mau kerja sama mommy sederhananya karena balas budi?" Daniel akhirnya membuka suara untuk bertanya.
"I don't think so, it's all on the basis of symbiotic mutalism"
○○○○
Dulu saat remaja, Daniel-lah yang sering tiba-tiba muncul di rumah Lucas, namun sekarang kebalikannya. Lucas-lah yang sering datang ke rumah Daniel seperti malam ini.
Sekitar pukul sembilan malam, Lucas bilang ingin cari angin, Daniel menyetujui tanpa pikir dua kali, padahal pantatnya baru saja menempel dengan sofa rumah lima belas menit yang lalu setelah seharian sibuk di kantor.
"Mau kemana, Niel?" Tanya Daddy Nat, kebetulan mereka berpapasan di anak tangga.
"Cari angin bentar, Dad."
"Jangan malem-malem pulangnya, besok ngantor"
Daniel mengangguk seraya terkekeh, dia melanjutkan menuruni anak tangga. Lucas telah menunggu di depan dengan hoodie dan celana ¾ hitam.
Tak lama Daniel dengan motor hitamnya meluncur keluar dari garasi. Sudah lama sekali Daniel tidak menunggangi si hitam manis, rasanya asing.
"Gue baru balik kantor pas lo chat tadi"
"Hahaha, sama dong. Mana besok harus mengulang rutinitas yang sama, muak."
Perjalanan karir Lucas beberapa langkah didepan Daniel, jadi wajar jika dia merasa muak karena setiap hari harus bertemu dengan kertas-kertas, komputer, pesawat telepon, deadline, dan masih banyak lagi.
"Kangen masa SMA nggak sih?"
"Exactly, Niel.'
Percakapan singkat keduanya usai, kendaraan roda dua milik mereka mulai melaju pelan keluar dari perumahan menuju tempat yang sudah Lucas beritahukan tadi.
Rasanya sudah lama sekali, Daniel bahkan merasa asing dengan jalanan pusat kota, kanan kiri dihiasi oleh gedung pencakar langit, city light tampak mengagumkan jika dilihat dengan seksama. Mereka berdua tiba di kawasan yang sedang ramai di perbincangkan di media sosial.
Kawasan Sudirman, adalah tujuan mereka berdua. Banyak orang-orang dengan fashion yang ‘unik’ Daniel turun dari motornya, dia menatap Lucas.
“Bukannya ini kawasan elit ya? Maksud gue kawasan pusat perkantoran"
“Emang, tapi sekarang jadi kayak yang lo lihat. Gue tunjukin sesuatu, ayo”
Mereka berjalan menyusuri trotoar, berhimpitan dengan anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.
“Oh my gosh, fashion show??”
“Fashion week, lebih tepatnya. Entah siapa yang memulai, banyak orang datang dengan fashion 'unik' mereka, selanjutnya seperti yang lo lihat didepan sana."
"Nggak ada petugas buat mendisiplinkan mereka?" Tanya Daniel, netranya melirik sekilas ke area sekitar, mulai banyak sampah plastik tercecer dimana-mana.
"Ntahlah.."
Mata Daniel menyipit kala menatap dua orang tengah berjalan dengan fashion mahal mereka, ada satu kameraman yang mengambil video.
"Dia bukannya public figure? Ngapain disini?"
Lucas terkekeh, kedua tangannya terlipat didepan d**a. "Nggak usah heran gitu, banyak kok public figure, influencer, seleb sosmed yang datang kesini, singkatnya karena tempat ini lg trend, jadi mereka fomo"
Daniel ikut mengamati orang-orang yang berlalu lalang di zebra cross, seakan mereka tengah melakukan fashion show di atas catwalk.
“Kegiatan mereka apa nggak mengganggu kawasan ini? Terutama bagi pengendara yang mau lewat?”
Lucas mengangkat bahunya, “Siapa peduli, Niel? Mereka sibuk mengembangkan inovasi anak bangsa, katanya. Bukan cuma kalangan elit yang bisa nunjukin style mereka, tapi anak-anak pinggiran juga bisa. Jadi ya, peduli amat sama pengendara yang lewat”
“Kenapa harus di jalan? Mereka bisa bikin di tempat lain selain di jalan raya kayak gini kan?”
“Bukan hanya itu, ayo gue tunjukin yang lain”
Malam ini, mereka bertransformasi menjadi pengamat lingkungan dan kebenaran tindakan masyarakat.
Daniel udah lama nggak pulang ke Indonesia, jadi dia agak shock melihat apa yang sepanjang ditangkap oleh matanya.
“Lingkungan disini juga makin kotor, sampah dimana-mana, nggak ada lagi kawasan elit. Dan di samping kanan lo, anak-anak ini bahkan sampai tiduran, petugas keamanan yang hanya beberapa orang itu nggak bisa mendisiplinkan ratusan orang disini”
“s**t, Man. Gue jadi inget South Bronx, gila.” Daniel mengusap wajahnya.
“Bang” salah seorang anak laki-laki menyapa mereka, Daniel dan Lucas masih diam menunggu. “Motor diujung punya kalian bukan? Pindahin dong bang, bikin macet yang lain nih”
“Eh,--” tangan Lucas membekap mulut Daniel.
“Oke, kita pindahkan sekarang”
“Nah, mantep, makasi bang.”
Lucas melepaskan bekapan mulut Daniel, “Jangan bicara macam-macam, gue tau siapa anak itu dan dia lagi viral di media sosial. Sekali lo di viralkan, lo yang kena dan dihujat netizen. Mendingan kita pergi dari sini”
Kedua laki-laki itu segera pergi, Daniel bungkam bahkan saat mereka udah menembus kegelapan malam menuju ke tempat selanjutnya. Di jalan yang agak sepi, Lucas membuka kaca helm nya, dia mensejajari motor Daniel. “Gue laper, mau cari makan”
“Boleh deh”
Motor mereka kembali melesat, tidak ada niat untuk balapan, tapi di jalanan yang seperti ini sayang kalau tidak dipakai untuk menguji adrenalin. Tanpa meminta persetujuan masing-masing keduanya saling membalap, tersenyum senang saat berhasil menyusul. Keluar dari jalanan sepi, kedua motor hitam itu berbelok, tak jauh dari sana ada sebuah cafe yang buka 24 jam.
“Disini aja kali ya, bisa sambil nongkrong”
“Dimana aja gue mah."
Karena ini tengah malam, pengunjungnya tak seramai saat matahari masih menampakan diri. Terlihat pasangan suami istri duduk di samping jendela sibuk menyantap makanan masing-masing.
Lucas dan Daniel ikut duduk di sebelah jendela juga, namun berseberangan dengan pasangan suami istri tadi. Seorang gadis mendekat, dia meletakan buku menu di meja. Sementara Lucas sibuk memilih menu, Daniel malah salfok sama pelayan cafe ini.
“Gue kayak pernah ketemu sama lo deh, tapi dimana ya?”
Mendengar itu Lucas langsung mengangkat kepalanya, dia menatap Daniel dan pelayan wanita itu bergantian. “Sori ya. Teman saya ini emang agak-agak anaknya”
“Gue serius, kita pernah ketemu nggak sih??”
Malu-malu, gadis itu mengangguk lemah, “Bener, Mas. Kita pernah ketemu di depan masjid”
Lenggang selama beberapa saat, Daniel masih mencoba mengingat siapa nama gadis yang ada di sampingnya ini.
Cowok berwajah tampan itu meringis, dia gagal mengingat tapi merasa pernah ketemu. “Nama lo siapa? Gue suka lupa sama nama cewek cantik"
"Buaya emang beda, cih!"
“Tavisha, Mas”
“Ah, iya, Tavisha. Jadi, nomor telepon lo berapa? Biar gue save, takut lupa lagi."
"Ah, anu, Mas. Ini jadi pesan apa ya?" Tavisha mencoba mengganti topik, dia merasa tak nyaman.
Mereka menyebutkan menu masing-masing, Tavisha pamit kembali ke bar untuk menyiapkan pesanan mereka tanpa menanggapi Daniel.
"Gue pikir lo udah berubah, Niel. Nyatanya sama aja, buaya darat!"
Tidak ada yang lucu sebenarnya, tapi melihat ekspresi Lucas, tawa Daniel lolos begitu saja.
"Salah sendiri panggil gue mas, tau sendiri gue nggak bisa dipanggil gitu, bawaannya pengen gue bawa ke KUA"
“Gini nih kalo buaya kehilangan pawangnya." Lucas hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan Daniel yang katanya udah lurus, taik.
“Susah cari pawang baru, bro."
Tanpa perlu dijelaskan, Lucas lebih dari kata tahu, apapun yang Daniel lakukan semata-mata hanya untuk bersenang-senang. Dia tidak pernah serius, termasuk soal nomor telepon tadi.
“Kayaknya Tavisha jomblo, Cas. Bisalah lo pepet tipis-tipis, gue bantuin deh, daripada lo jadi homo beneran"
“Mulut lo, anjing! Gue gak homo!”
Pasangan suami istri yang makan di seberang spontan menoleh ke arah mereka berdua, Lucas segera menutup wajahnya menggunakan buku menu. Daniel sih enak yang duduk membelakangi mereka, jadi wajahnya nggak kelihatan.
“Let's be honest, Cas. Selama kuliah masa nggak ada satupun cewek yang menarik perhatian lo?"
"Gak ada. Lebih tepatnya gue yang menutup akses cewek-cewek yang mau masuk ke hiduo gue"
"Ini semua,.. bukan karena Tiara, 'kan?"
Meski kejadiannya sudah lama sekali, Daniel tidak akan pernah bisa melupakan sosok Tiara yang menjadi penggemar rahasia Lucas selama bertahun-tahun. Saat semuanya terungkap, bukan nggak mungkin Lucas jadi menaruh rasa pada Tiara.
"Kenapa jadi Tiara? Lagipula, nggak mungkin juga gue ambil dia dari lo, sinting!"
“Who knows,"
"Ngaco"
"Kira-kira dia sekarang dimana ya, Cas. Lagi ngapain? Masih emosian kayak dulu nggak ya"
“Dirumahnya, lagi cuddle sama suami kali"
"Temen b*****t"
Mendengar umatan keluar begitu saja dari mulut Daniel membuat Lucas meloloskan tawanya.
“Nggak menutup kemungkinan dia udah punya suami. Dia cantik, pinter, laki-laki mana yang nggak mau sama dia, Niel. Realistis aja lah”
“Itu bukan realistis namanya, tapi lo nampar gue kembali ke realita.”
“Serah dah, mendingan kita makan dulu"
Pesanan mereka akhirnya tiba. Lucas dan Daniel dengan nikmat menyantap bagian masing-masing.
“Masakan dia sendiri?? Lumayan juga rasanya” Daniel memuji nasi goreng buatan Tavisha.
Disini, Tavisha memang sendirian. SummerX adalah nama cafe milik keluarga Tavisha yang sudah berdiri sejak beberapa tahun yang lalu. Tavisha hanya bantu-bantu saat malam hari, sebab pagi sampai sore dia kuliah.
“Ini mah bukan lumayan lagi, Niel. Bisa kayaknya bersaing sama makanan hotel berbintang"
Daniel mengangguk setuju, tak ada percakapan lebih lanjut lagi, keduanya sibuk menghabiskan nasi goreng masing-masing.
○○○
Daniel baru tiba dirumah sekitar pukul setengah satu dini hari. Tujuan utamanya adalah kamar, Daniel ingin langsung istirahat, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya.
Di meja makan, mommy Ana dan Daddy Nat tengah sibuk menatap laptop masing-masing.
"Mom? Dad?"
Mommy Ana mendongak sembari membenarkan letak kacamatanya, "Daniel, baru pulang?"
"Iya," Daniel batal membawa langkahnya menuju kamar, dia memutuskan bergabung di meja makan.
"Kok malah kesini, istirahat sana. Besok ngantor kan?"
"Kalian kenapa belum tidur?"
"Abis ini kita tidur kok, Niel. Udah biasa lembur sampai jam dua juga pernah" Kali ini Daddy Nat yang menjawab, laki-laki itu tersenyum ke arah Daniel.
Daniel beranjak, mengambil dua cangkir, mengisinya dengan serbuk kopi, menyeduh sebentar sebelum akhirnya di letakkan di samping lengan Nat dan Ana.
"Pekerjaan emang penting, Dad, tapi kondisi kesehatan kalian juga nggak kalah penting" Daniel menghela napas, "Cuma kalian yang aku punya sekarang"
"Kamu tenang aja, Daniel. Mommy sama Daddy rutin cek kesahatan kok, nggak ada yang perlu di khawatirkan"
"Maaf ya, Mom. Daniel belum bisa bantu banyak, masih tahap belajar, entah sampai kapan."
Mommy Ana menguap bahu anak semata wayangnya, tatapan sayunya teduh, "It's okay, Daniel. Semua ada waktunya, sekarang mommy sama daddy masih sanggup handle semuanya"
"Kamu ke kamar gih, tidur. Mommy sama Daddy mau lanjut pacarannya"
Daddy Nat selalu bisa mencairkan suasana, membuat sudut bibir Daniel tertarik ke atas membentuk sebuah lengkung manis.
"Bener tuh kata daddy, kamu ganggu pacaran kita, Niel."
"Iya, iya, ini Daniel naik ke kamar. Nite, Mom, Dad"
"Nite, Daniel"
Apakah sampai kamar Daniel langsung tidur? Tentu saja tidak! Melihat kegigihan dan kerja keras kedua orang tuanya membuat semangat Daniel terpacu. Setelah mencuci wajah, dia duduk di kursi, membuka laptop, membaca buku tentang management. Sesekali mengecek email yang masuk, membuka file yang harus ia pelajari.
Rasa lelah ia abaikan, jika sudah bertekad, Daniel tidak pernah main-main.