Orang Lama atau Orang Baru?

2617 Kata
Menjelang sore suasana kampus menawarkan ketenangan yang berbeda dari hiruk-pikuk kegiatan perkuliahan saat pagi hari. Langit berwarna orange kemerahan menciptakan latar belakang yang indah dibalik gedung-gedung kampus yang megah. Di kampus Tavisha, ada sebuah taman luas yang biasanya dipakai oleh mahasiswa bersantai, berdiskusi, atau hanya sekedar melamun perihal tugas yang menumpuk. Lokasinya strategis, menghadap langsung ke arah tenggelamnya matahari. "Mau duduk dimana, Sha?" tanya Clara, aroma kopi tercium dari cup yang ia bawa. Sebelum datang ke taman, Clara dan Tavisha mampir ke salah satu cafe dekat kampus untuk membeli kopi dan beberapa camilan. "Tuh, bawah pohon aja" "Boleh" Keduanya kembali berjalan menuju titik yang ditunjuk oleh Tavisha. Beberapa mahasiswa duduk bersantai di bangku-bangku yang telah disediakan, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dan tanah basah bekas hujan tadi pagi. "Gue tuh sebenernya tadi mau ke gramed beli buku, eh doi gak bisa nganter, mau main basket katanya" Clara mulai curhat, untung saja telinga Tavisha itu tebal, jadi dia masih mampu mendengar segala curhatan sobatnya. "Tau gitu gue temenin, Ra." "Yah, bukannya gimana-gimana, Sha. Gue pengen ikutan trend yang gramed-date, library date, movie date, gallery date, apalagi ya.." "Alah berisik, cowok lo tuh gak hobi bikin trend-trend begituan" Pundak Clara spontan merosot, gadis itu menatap ke arah depan dimana sang pusat tata surya bersiap tumbang, "Iya sih, thanks loh udah diingetin" "Coba deh, Ra, cari cowok yang beneran dikit. Kalo bisa yang umurnya diatas lo, lima tahun lah" "Pengen sih, tapi pesona gue ampuhnya buat memikat berondong, Sha." Tavisha mengangguk saja biar cepat selesai, lama-lama mengobrol dengan Clara menguras kesabarannya. "Mau gue kenalin ke cowok nggak? Pesona pria matang, Ra." "Hah??" Clara hampir menyemburkan kopi yang baru saja masuk ke mulut, "Nggak, nggak, agak gak yakin gue sama muka lo." "Serius, ih!" "Udah ambil aja sendiri, Sha. Biar lo bisa ngerasain pacaran" "f**k you!" Ingin sekali Tavisha menjitak kepala Clara, dia nih udah berniat baik. Tavisha ingat salah satu pelanggan cafe yang datang bersaka Daniel, kalau tidak salah namanya Lucas. Jika ditilik dari luarnya, Lucas jauh lebih matang dibanding pacar Clara yang sekarang. Dan dia berniat mengenalkan Clara pada Lucas lewat Daniel. "Emangnya mau lo kenalin sama siapa sih, Sha?" Clara mencomot dua potong kentang goreng, mengunyah pelan seraya menikmati sunset didepan matanya. Tavisha membuka ponsel, dia mengetik nama Daniel pada akun sosial medianya, lantas mencari akun sosial media milik Lucas. Tak butuh waktu lama, gadis itu menyerahkan ponselnya ke Clara. "Namanya Lucas, gue kurang tau umurnya berapa, mungkin 25 atau 26" Mata Clara melotot saat melihat foto yang terpampang didepan wajahnya. Gadis itu memegang kedua bahu Tavisha, mengguncang brutal. "Akun fake siapa yang lo tunjukin ke gue, Tavisha?!" "Lepasin, b**o! Sakit." Tavisha mendengus, dia merebut kembali ponselnya. "Bukan akun fake, dia beneran manusia. Panjang ceritanya kalau lo mau tanya gimana gue bisa kenal tuh cowok" "Sumpah gue bisa dengerin semua cerita lo tentang tuh cowok, bahkan ampe besok pagi, Sha" Clara tersenyum manis, kilatan matanya tengil, Tavisha sudah paham dengan tabiat sobatnya. ○○○ Salahkan Clara kalau seandainya Daniel jadi ilfeel sama Tavisha. Malam ini entah bagaimana caranya Clara mampu mendatangkan Daniel di hadapannya, lebih tepatnya di rumah gadis itu. Semenjak Tavisha menceritakan segala tentang Daniel dan Lucas sore tadi, Clara jadi begitu penasaran, dia harus melihatnya secara langsung. Padahal Tavisha sudah memperingatkan Clara kalau Daniel dan Lucas pasti sibuk, tapi Clara tetap ngotot. 1001 cara ia halalkan, dan seperti yang kalian lihat, Daniel benar-benar datang. Masih memakai kemeja dengan lengan digulung Daniel menatap bingung ke arah Tavisha yang memasang wajah kesal sekaligus penuh rasa bersalah. “Mas, aku bener-bener minta maaf soal kesalahpahaman ini.." "Ups, pake aku-kamu.." Cicit Clara, melirik ke arah Tavisha yang langsung melotot di sampingnya. "Kesalahpahaman apa, Sha?" Tavisha memilin jemarinya, "Sebenernya aku nggak sakit apa-apa, Mas. Yang chat kamu dan minta macam-macam tadi temenku, namanya Clara" Tavisha menarik Clara hingga berdiri sejajar disampingnya. "Cepetan minta maaf!" desis Tavisha. "Iya, tadi gue yang chat, Mas. Iseng-iseng aja, abis Tavisha bilang gak mungkin Mas Daniel ngerespon, pasti lagi sibuk, maaf ya, Mas.." Diluar dugaan keduanya, Daniel justru tersenyum, tangan kekar laki-laki itu mendarat di puncak kepala Tavisha. "Nggak masalah, gue maafin. Lain kali jangan kayak gitu lagi, gue panik pas denger Tavisha sakit" "Eh?" Tavisha mengangkat kepalanya, bingung. Clara tidak usah ditanya, dia udah cekikikan di tempatnya. "Harusnya gue berterima kasih sama Clara, karena isengnya dia gue jadi punya alasan ketemu sama lo, Sha" Pada dasarnya, Tavisha belum mengenal Daniel sepenuhnya. Ketika Daniel mengatakan hal sedemikian rupa, mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat, entah bagaimana prosesnya, kedua pipi gadis itu turut memerah menahan malu. Tak memberi kesempatan Tavisha merespon, Daniel meletakkan tiga kantong berisi camilan, minuman, dan entah apalagi diatas meja. Dia bangkit, berpamitan. "Sha, sori banget, gue harus buru-buru balik kantor, masih ada kerjaan yang belum kelar" Aduh, Tavisha buru-buru berdiri, dia bergerak tak nyaman. "Lain kali kalo ada chat yang aneh-aneh nggak perlu langsung di respon ya, Mas. Aku nggak enak udah ganggu jam kerja kamu" "Udah, nggak apa-apa. Dimakan ya, gue balik dulu," "Aku anter sampe kedepan, Mas" Daniel mengangguk, malam ini dirumah Tavisha hanya ada dirinya dan Clara. Sementara kedua orang tuanya dan Vanesha lagi jalan-jalan ke museum yang sudah lama pengen banget dikunjungi adiknya. "Hati-hati ya, Mas. Nggak usah ngebut" "Iyaa, khawatir banget gue kenapa-napa" "Ish, boleh kan aku khawatir sama Mas Daniel?" Daniel meraih tangan Tavisha tanpa permisi, dia menggenggam erat, "Jangankan khawatir, mau sayang juga boleh, Sha" Sudahlah, lutut Tavisha sampai lemas dibuatnya. Dia merasa Daniel mampu membawanya melayang diatas fantasi indahnya masa jatuh cinta. Tavisha melambai ke arah mobil Daniel yang bergerak menjauh, setelah kendaraan roda empat itu menghilang, Tavisha buru-buru menutup gerbang dan berlari masuk ke dalam rumah. "KYAAAAA!!! Sumpah, Ra, sumpah, sumpah!! Lutut gue ampe lemes kebanyakan di gombalin sama mas Daniel!" "Gila," Clara terduduk di sofa, seakan kewarasannya ikut diambil. "Gue belum pernah liat cowok secakep mas Daniel, Sha. Aura dominasinya, beuh!" "Kan, bener apa yang gue ceritain ke lo tadi sore" Tavisha ikut duduk, bersandar di sofa. Gadis itu tersenyum mengingat ucapan Daniel tadi. “Untuk orang yang baru kenalan atau ketemu belum lama, gue yakin 100% Mas Daniel naksir sama lo, Sha." "Gue nggak mau kepedean dulu" "Ck, dengerin deh. Dia langsung dateng pas gue chat kalo lo demam, lagi pengen makan telur gulung, es cream, bakso, dan bahkan sempet beliin lo obat." Clara memperbaiki posisi duduknya, "Dia beneran naksir lo, Sha. Fiks." Sebenarnya Tavisha sering mempertanyakan hal ini kepada diri sendiri, apa ada maksud lain dari semua perlakuan Daniel? Apakah pria itu benar tertarik atau hanya baik layaknya seorang teman? Tapi kalau cuma teman sih nggak mungkin sepeduli itu, 'kan? Parahnya, semakin dipikir Tavisha tidak menemukan jawaban melainkan pertanyaan-pertanyaan baru. "Nggak ada salahnya coba buka hati, Sha. Gue yakin kalo yang ini, orang tua lo pasti langsung setuju, mau pacaran atau langsung nikah sekalian." Clara tersenyum tulus, ia ikut bahagia jika Tavisha benar-benar jadian dengan Daniel. Bahkan gadis itu sampai lupa tujuan utamanya untuk bertanya perihal Lucas. “Udah, udah, biarin aja semua mengalir. Gue nggak mau terlalu memaksakan diri. Orang kayak mas Daniel pasti juga punya selera" “Mulai deh insecure.." ○○○ Seminggu berlalu sejak kedatangan Daniel ke rumah Tavisha malam itu, Daniel semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ada banyak hal yang harus dia lakukan dan persiapkan. Tepatnya di awal bulan nanti akan ada audit di kantor, Antonio membantu Daniel memahami bagian-bagiannya. Meski posisi Daniel sekarang hanya staf biasa, tugasnya membantu menghandle pekerjaan mommy Ana, tetap saja dia harus banyak belajar. Suatu saat, dirinya lah yang akan duduk di kursi yang saat ini tengah di duduki oleh mommy nya. Daniel tidak perlu terburu-buru agar segera di angkat untuk menggantikan posisi mommy Ana. Intinya sekarang, dia harus banyak belajar. "Tiap mau audit hectic kayak gini ya, Gus?" "Iya, apalagi kalo bu Ana ada di luar negeri, gue yang kelimpungan disini" "Biasanya banyak temuan dari departemen apa?" "Warehouse sama Produksi sih pasti. Pressure mereka lebih besar dibanding bagian administrasi yang beberapa bagian bisa di manipulasi" "Ada lagi?" Antonio yang sejak tadi tenggelam bersama dokumen-dokumen kini berhenti sejenak. "Make sure uang pelicin jalan, pihak ketiga mau bantu kita buat mempertahankan data didepan auditor" "I see" "Oh iya, Niel. Setelah audit kayaknya gue mau ambil cuti, ada urusan di rumah" "Mudik dong" "Ya gitu deh, paling dua hari" "Mommy udah tau?" "Belum, gue gak mau ganggu persiapan bu Ana" Percakapan-percakapan ringan seperti ini berarti bagi dua laki-laki yang sejak tadi non-stop bekerja di kantor. Mommy Ana ada di ruangannya, wanita paruh baya itu juga terlihat sibuk, beberapa kali ia memijat kening. Entah sampai kapan hari-hari berat ini akan berlalu. Mommy Ana bangkit dari kursi, meraih cangkir kopi, lantas keluar dari ruangan. Kedua netra Mommy Ana menemukan sosok Daniel tengah berdiri menatap ke arah luar. "Daniel," Yang dipanggil langsung menoleh, "Mom" "Ngapain disitu?" Mommy Ana membawa langkah menghampiri Daniel, berdiri disamping anak semata wayangnya. "Istirahat, Mom. Dilihat dari sini, city light nya bagus banget" Mommy Ana menyeruput sedikit kopi hitam di dalam cangkir, wanita itu membuang nafas, bibirnya menukik ke atas. Kepala Mommy Ana mendongak, menatap Daniel dengan seksama. "Niel," "Iya?" "Mommy jadi inget sama Tiara" Mendengar nama gadisnya disebut, wajah Daniel langsung berubah, ia balas menatap Mommy Ana. "Ngga ada topik lain, Mom?" "Dia dimana ya, Niel, sekarang? Gimana kabarnya? Tiap inget Tiara, Mommy masih ngerasa bersalah." Mommy Ana tau, dengan menyebut nama Tiara, ingatan Daniel pasti langsung tercungkil. Daniel menyugar rambut, dia membasahi bibirnya, "Enam tahun lalu, itu terakhir kalinya aku ketemu Tiara. Dia kuliah di London, dan setelah itu kita lost contact" "Kamu nggak mau coba cari dia, Niel?" "Aku nggak tau, Mom. Akan lebih mudah buat aku dapetin orang baru dibanding harus cari dimana Tiara sekarang" "Oh ya?" Mommy Ana mengusap kepala Daniel pelan, "Let's see, apakah anak bujang ini bisa lupain Tiara" "Kenapa mommy tiba-tiba bahas Tiara? Aku pikir mommy udah lupa" "Gimana mommy bisa lupa, terlepas dari apa yang udah terjadi, Tiara gadis pertama dan terakhir yang kamu kenalin ke Mommy" ○○○ Di luar hujan kembali melanda, mendung bergerombol membentuk awan hitam, siap menumpahkan air lebih banyak ke bumi. Sialnya, Tavisha terjebak di kampus dan tidak bisa pulang lantaran hujan deras, selain itu dia harus menyelesaikan tugas kelompoknya dengan Ibnu. “Makan pop mie enak kali ya, Sha, hujan-hujan gini” Tavisha memasukan pensil, bolpoin, dan alat tempur lainnya ke dalam tas. “Mau ke kantin? Gue juga nggak mungkin pulang sekarang, bawa laptop gini.” Tavisha menunjuk ke arah laptopnya. “Sip lah, traktir yak” “Yeee, najis banget.” Keduanya berjalan menuju kantin, Tavisha mengecek ponsel. Tidak ada notif dari seseorang yang ia tunggu, yang muncul justru notif dari Clara, nggak penting. “Sini gue bawain laptop lo, kasihan banget gue lihat anak kecil suruh bawa laptop gede” “Siapa yang lo sebut anak kecil???” sungut Tavisha, tak terima dikatai anak kecil. Usianya udah memasuki kepala dua. "Oh iya, lupa. Lo kan udah bukan anak kecil lagi, kalo sekarang udah bisa bikin anak kecil ya, Sha" “Jorok banget, Ibnu! Jauh-jauh lo dari gue." "Tapi bener kan? Ditiup dikit langsung jadi" Arrrgghh! Harusnya Tavisha sudah hapal dengan tabiat Ibnu, sekaligus cara cowok itu bercanda yang selalu nyerempet 18+. Namun tetap saja Tavisha tidak terbiasa, dia malu. "Jadi apa anjir, awas lo ya!" Ibnu segera kabur, dia lari menyusuri koridor menuju lift. Tavisha mengejar karena kekesalannya udah di ujung, diejek kecil, dia tidak masalah karena tingginya memang hanya 160 cm. Tapi kalau udah nyerempet 18+ dan kesana-kemari, rasanya pengen banget Tavisha menjitak kepala Ibnu. “Eeeeh, tungguin gue!!!” Tavisha mempercepat larinya karena Ibnu sudah masuk ke lift duluan dan dengan wajah menyebalkan cowok itu menekan tombol agar pintu segera tertutup. “IBNU LAKNAT!” Teriak Tavisha seraya memegang kedua sisi lift, pintu terhenti dan kembali terbuka. Perempuan itu segera masuk, dia memencet tombol lantai 1. “b******k emang lo ya, Nu” Tavisha itu jarang banget mengumpat, hanya disaat-saat tertentu kata-kata kasarnya akan keluar. Itupun hanya saat dia bersama teman dekat, di luar itu Tavisha berubah lembut Tak peduli pada kekesalan Tavisha, Ibnu justru terpingkal. Lift beranjak turun, “Ututu, udah dong jangan ngambek. Gue kan cuma bercanda.” “Bercanda gigi lo!” Tangan Tavisha udah ancang-ancang hendak memukul Ibnu, namun cowok itu dengan sigap menahan, keduanya saling tatap satu sama lain bahkan sekejap mereka lupa bahwa pintu akan segera terbuka. Tepat saat pintu lift terbuka dengan posisi mereka yang tidak berubah, berdiri sosok lain di depan lift. Tavisha menoleh, terkejut, dia segera menarik tangannya yang masih dipegang Ibnu. “Mas Daniel” wajah Tavisha jadi pucat, dia seperti ketangkap basah oleh kekasihnya sedang bermain bersama laki-laki lain. “Mas, aku bisa jelasin–” “Mas?? Dia kakak lo??” Sialan emang mulutnya si Ibnu ini. Tavisha memukul bahu Ibnu, lantas merampas laptopnya. "Siniin laptop gue!" “Cih, manggilnya aku-kamu lagi.” Ibnu tertawa mengejek. Menatap Daniel dan Tavisa secara bergantian. "Nggak usah cemas, Sha. Gue nggak masalah kok," Daniel mengatakan hal itu jujur, dia tidak merasa harus cemburu. Lagipula, Daniel belum merasakan cinta yang sedalam itu untuk Tavisha. Dia masih tahap mengenal, dan sedikit bermain-main. "Mas tau kampus ku darimana?" "Tante. Tadi gue ke SummerX, terus kata tante lo masih di kampus. Yaudah gue susulin kesini" "Nerjang hujan?" "Enggak, gue pake pintu kemana saja.. ya iyalah nerjang hujan" Daniel terkekeh. Cowok itu mengulurkan tangan ke arah Ibnu, “Kenalin, gue Daniel, temennya Tavisha” Temen. Ya gak salah sih, memang mereka kan cuma teman, belum ada kepastian apapun yang terucap. Meski begitu, ada segores kecewa dihati Tavisha. “Ibnu, temennya Tavisha juga” Ibnu menatap Tavisha, “Jadi makan pop mie nggak nih??” “Kalian mau makan?” “Iya, di kantin” Bukan Tavisha yang menjawab melainkan Ibnu. Tavisha udah nggak tau mau jawab apa lagi setelah mendengar jawaban dari Daniel kalau mereka hanya berteman. Entah dorongan darimana, Tavisha mendadak menginginkan pengakuan. Dia ingin Daniel memperkenalkan dia bukan hanya sebagai seorang teman. “Next time aja ya, Nu. Next time gue yang traktir, sekarang gue mau langsung balik aja" “Lah, hujannya masih deres, lo bawa motor, terus laptopnya gimana?' “Gue yang anter Tavisha, kebetulan gue juga bawa mobil” Mendengar jawaban Daniel membuat Ibnu langsung mengangguk paham, dia undur diri dan ngacir sejauh mungkin. Tenang aja, Ibnu tidak menaruh perasaan apa-apa pada Tavisha, mereka murni berteman kok. Jadi, Ibnu sama sekali tidak keberatan saat Daniel mengatakan Tavisha akan pulang bersamanya. "Motor lo sementara ditaruh kampus nggak apa-apa kan, Sha?" "Iya, nggak apa, Mas. Kampus aman kok" “Bagus deh kalo gitu, ayo" Daniel menggenggam tangan Tavisha, dia membawa payung menuju mobilnya. Dalam hangatnya genggaman tangan Daniel, Tavisha bertanya-tanya apakah dia boleh memiliki genggaman ini selamanya? Untuk dia yang tidak pernah menjalin hubungan pacaran dengan siapapun, bolehkah kali ini Tavisha meminta sosok Daniel? Sosok yang berdiri begitu gagah disampingnya, profil side Daniel membuat Tavisha kembali jatuh hati pada laki-laki itu. Daniel membuka pintu mobil untuk Tavisha yang langsung masuk. Dia memangku laptopnya. Tak lama Daniel juga ikut masuk, mobil mulai keluar dari parkiran kampus. “Mas Daniel nggak marah, ‘kan?” “For what??” tanya Daniel bingung. “Lupain, Mas” “Soal lo sama Ibnu tadi? Kalian cuma berteman, ‘kan? Jadi, buat apa gue marah?” Sumpah, ini Daniel sadar nggak sih kalo Tavisha selalu baper pada setiap ucapan yang keluar dari mulut laki-laki itu? Daniel tidak marah bukan karena dia tidak peduli melainkan dia percaya kalau Tavisha dan Ibnu hanya berteman, begitu Tavisha menafsirkan perkataan Daniel tadi. “Em.. Mas.” “Iya??” “Mas Daniel udah punya pacar belum???” Akhirnya, akhirnya Tavisha memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh, ke ranah privasi. Sebelumnya, Tavisha paling anti kepo sama kehidupan pribadi orang lain. "Menurut lo gimana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN