Tesla model X berwarna putih itu berhenti di parkiran bandara Soekarno Hatta tepat pukul 3 dini hari. Memang dasarnya tidak tau adat, minta tolong tidak lihat-lihat jam. Untung saja si pemilik Tesla belum menikah, kalau dia sudah menikah ogah banget pergi ke bandara di jam-jam cuddle paling hangat seperti ini.
Huuaaahh.
Laki-laki pawakan tinggi tegap, kulit tan eksotis itu berjalan memasuki terminal penjemputan. Tak susah untuk menemukan sosok yang membuatnya kerepotan di jam tiga dini hari. Dengan sedikit berlari, si pemilik kulit tan eksotis itu merangkul pundak seseorang yang ia yakini adalah sobatnya.
"Yo! What's up!"
Di ujung kalimatnya sosok yang dia pikir adalah sobat lamanya itu tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga membuat dia mundur selangkah.
"Mampus, salah orang nih kayaknya" gumam si pemilik tesla. Masih berdiri di tempatnya, dia bertanya memastikan, "Daniel?"
Tak tahan dengan ekspresi laki-laki didepannya, tawa Daniel pecah, "Hahahaha, muka lo sumpah, Cas!"
Lucas si pemilik tesla menatap jengkel ke arah Daniel, "Baru ketemu lima menit gue udah pengen nonjok muka tengil lo itu, Niel."
"Ck. Kayak baru kenal aja, harusnya lo udah kenyang sama tingkah gue, kan?"
Meski kesal, Lucas tak menolak rangkulan Daniel. Tanpa perlu alasan pasti, keduanya mendadak tertawa, melepas kangen setelah enam tahun terpisah. Untungnya, pertemanan mereka tidak pernah putus. Daniel tau kegiatan Lucas selama enam tahun terakhir, pun Lucas lebih tau lagi tentang Daniel dan kegiatannya selama hidup di luar negeri untuk mengenyam pendidikan strata dan magister.
Lucas melanjutkan pendidikan di dalam negeri, lantas bergabung di perusahaan keluarga yang dipegang oleh Kaisar, kakaknya.
Ngomong-ngomong Kaisar akhirnya menikah dengan Berlin.
"Nggak kerasa kita udah masuk 25, Cas." ujar Daniel setelah mobil yang di kemudikan Lucas meluncur ke jalan raya.
"Makin tua aja, perasaan baru kemarin kita dateng ke prom" Lucas menimpali, "Sepantaran udah pada married, gila."
"Denger-denger Rasi juga mau married bulan depan"
Lucas menyipitkan mata, Rasi? Bentar, otaknya masih loading dan berujung not responding karena tidak berhasil mengingat siapa itu Rasi. Daniel mendengus. "Jangan bilang lo lupa sama Rasi, Cas?" tebakan Daniel tepat, Lucas memang lupa siapa Rasi.
"Emangnya Rasi siapa sih?"
"Rasiva! Cewek yang dulu pernah deket sama gue, adek kelas cupu." perjelas Daniel. "Gue juga udah lama gak kontakan sama dia, terus tiba-tiba aja dia DM sosmed gue katanya mau married bulan depan. Dan begitu tau gue mau pulang ke Indo, dia undang gue buat dateng ke acara pernikahannya."
"Terus, lo mau dateng gitu?"
"Why not? Gue juga penasaran sama calon suaminya"
"Make sure bawa gandengan pas lo kondangan nanti,"
Daniel mengusap rambut hitamnya, dia menatap lurus kedepan, "Percaya gak kalo sekarang gue bener-bener gak lagi deket sama siapapun."
"Agak gak percaya mengingat sepak terjang lo selama di luar negeri, gak ada yang berubah."
Iya, Daniel selalu menceritakan banyak hal pada Lucas termasuk dengan siapa saat itu dia dekat, Daniel sempat menjalin hubungan dengan beberapa teman cewek selama di luar negeri, katanya hanya untuk hiburan.
"Belum ada yang kayak dia, Cas." Daniel menjawab pelan, terdengar agak nggak yakin sama jawabannya sendiri.
"Lo masih ada rasa sama dia, Niel?"
"Menurut lo? Bahkan malam sebelum flight gue mimpiin dia, pas kita lagi di pesta prom"
"Sori, Niel. Gue gagal buat terus ngawasin dia, gue kehilangan jejak dia."
"Enam tahun bukan waktu yang sebentar, Cas. Lo pasti juga punya urusan sendiri, gue bisa memaklumi hal itu"
Tesla milik Lucas akhirnya sampai didepan rumah Daniel, keduanya turun dari mobil. Daniel menatap rumah dua lantai itu, sudut bibirnya naik membentuk sebuah senyuman.
Dulu, rumah inilah tempat paling aman untuknya, dan sekarang dia akhirnya kembali ke rumah ini lagi.
"Nginep dirumah gue aja lah, Cas. Nanggung banget kalo lo balik, udah subuh gini"
"Justru karna udah subuh gue harus balik, besok gue harus ngantor"
"Iya deh yang udah jadi b***k korporat"
"Sialan mulut lo, Niel. Udah ah, gue duluan. Kabarin kalo butuh sesuatu"
"Sip! Thanks ya, Cas!"
"Anytime"
Setelah kepergian Tesla itu, Daniel menatap kembali rumah lantai dua yang dulu menjadi tempatnya berlindung dari panas dan dinginnya hujan lebat diluar. Rumah yang selalu siap menjadi tempat tangis karena kesepian. Banyak kenangan yang Daniel ciptakan dirumah ini. Menarik dua koper putih miliknya, Daniel memencet bel.
Daniel menunggu selama dua menit, tidak ada tanda-tanda gerbang akan dibuka. Laki-laki berusia 25 tahun itu akhirnya memutuskan untuk melakukan panggilan telepon.
"Daniel" terdengar suara serak Ana dari telepon.
Daniel tersenyum tipis. "Iya, ini Daniel. Sori, Mom. Tapi Daniel didepan, dari tadi pencet bel tapi nggak ada yang bukain"
"Please wait ya sayang, Mommy keluar sekarang"
Sambungan telepon mereka terputus. Perumahan tempat ia tinggal sudah banyak yang berubah, bahkan lahan yang dulu kosong kini sudah dibangunkan sebuah rumah. Lampu jalanan masih menyala terang.
Plak!
Daniel menampar pipinya yang terasa gatal karena dihinggapi nyamuk. "Banyak banget nyamuknya, mommy mana lagi, lama banget"
Baru juga dibicarakan, Ana keluar dengan baju tidurnya. Wanita yang sudah memasuki kepala lima itu tersenyum teduh, Daniel merindukan Mommy-nya.
"Mommy.."
"Daniel..."
Keduanya saling berpelukan, melepas rindu yang selama ini ditahan. Lucu jika diingat-ingat, Daniel remaja yang selalu mendambakan pelukan seorang Ibu tak pernah mendapatkan hal itu lantaran kedua orang tuanya tinggal di luar negeri. Hari ini, dia akhirnya mendapatkan perasaan hangat yang tercipta dari pelukan seorang Ibu.
"Mommy sehat?"
"Sehat dong, masuk dulu yuk. Dingin"
Daniel menarik kopernya memasuki rumah yang sudah berganti warna cat menjadi putih. "Perjalanan nya lancar kan? Tadi siapa yang jemput?"
"Lancar kok, Mom. Lucas yang jemput"
Ana terkekeh. "Tuh anak emang baik banget, Niel. Kalo mommy lagi butuh bantuan dia selalu mau bantuin mommy"
"Emang, kalo nggak baik nggak jadi temen Daniel dong"
"Justru mommy heran anak sebaik Lucas kenapa mau temenan sama kamu" Ana berhenti di anak tangga paling bawah, "Kamu istirahat gih, biar besok mommy beresin barang-barangnya"
"Nggak ada pembantu, Mom?"
"For what? Mommy bisa ngerjain tugas rumah sendiri kok"
"Jangan terlalu memaksakan, Mom. Kalo butuh asisten rumah tangga nggak masalah kok, daripada mommy kecapean."
"Iya, sayang. Nanti deh mommy pikirkan lagi kalo bener-bener buruh"
"Ya udah, aku ke kamar dulu, udah kangen banget sama kasur"
"Nite sayang"
"Udah pagi, Mom"
"Dasar"
Keduanya tertawa, lantas tawa Daniel hilang dibalik pintu. Netra cowok itu menatap sekeliling yang masih sama, hanya seprai ranjang dan gorden yang ganti. Langkah kaki Daniel berayun ke arah meja belajar. Tumpukan buku masih ada disana. Dia jadi ingat hari-hari ambisnya dulu untuk mendapatkan posisi pertama.
Lalu netra Daniel bergeser pada sebuah figura dimana dia dan Bima kecil ada disana. "Seandainya lo masih hidup, gue pasti nggak akan merasa sendirian." jemari Daniel mengelus bingkai foto itu. "Besok gue dateng ke pemakaman, bawa bunga. Lo mau bunga apa? Mawar? Lily? Atau bunga bangke?"
Entah apa yang lucu dari monolognya, Daniel terkekeh begitu saja. Laki-laki itu berjalan menuju ranjang, dan menjatuhkan tubuh disana. Tatapannya melayang entah kemana, rasa pegal seakan memaksanya untuk lekas tertidur.
"Gue udah nepatin janji buat kembali.."
Gumamnya sebagai penutup hari ini, karena setelah itu Daniel terlelap.
○○○
Semilir angin sore hari menerbangkan dedaunan kering yang memang sudah seharusnya terlepas dari tangkai pepohonan. Motor Vario 150 cc berwarna hitam itu berhenti didepan pemakaman yang sepi, seorang laki-laki yang saat itu mengenakan celana dan juga jaket turun seraya membawa keranjang bunga.
Setiap langkah yang ia punya seakan perlahan meretakan memori kelam yang bertahun-tahun lalu sengaja disimpan. Tapi saat dirinya memutuskan untuk kembali, dia juga harus siap ketika pertahanannya di hancurkan. Netra hitam legam milik Daniel menatap pusara yang tanahnya sudah rata, tapi batu nisan masih tertancap kokoh disana.
Daniel berjongkok, dia mengelus pusara sang kakak. "Gue dateng" katanya pelan. "Gue yakin sih lo nggak bakalan kangen sama gue" dia terkekeh, miris.
Cairan bening yang sudah ia tahan-tahan sedari tadi lolos begitu saja.
"Tapi gue kangen banget sama lo.." Daniel merasa sesak, dia benar-benar menangis. Mengesampingkan ego dan melupakan lirik sebuah lagu yang mengatakan kalau laki-laki tidak boleh menangis. Persetan, Daniel benar-benar tidak peduli. Tangannya terkepal kuat hingga dia merasakan sakitnya kuku jari yang menekan kuat kulitnya.
"Bisa nggak sih, lo kembali ke sini. Kalo bisa gue bakal baik-baikin lo deh, sumpah."
Daniel mendongak, hanya untuk memastikan air matanya tak lagi tumpah. Bima diatas sana pasti tengah menertawakan dia dengan raut wajah menyebalkan. "Gue sebenarnya takut. Takut gimana kalau gue nggak bisa jadi penerus daddy. Gimana kalau semuanya hancur karena gue, kerja keras daddy dan mommy selama ini bakalan sia-sia"
"Bisa nggak sih lo kasih gue semangat dikit aja, biar nggak loyo kayak gini. Pake daun jatoh juga nggak apa-apa"
Mungkin hanya sebuah kebetulan, tapi saat itu daun jati kering benar-benar jatuh tepat di depannya dan diatas pusara Bima. Daniel terjingkat. "Ee buset, beneran jatoh. Lo pasti ada disini kan?"
Daniel menatap sekelilingnya. Tapi dia tak melihat siapapun. "Udah menjelang maghrib, takutnya temen-temen lo disini pada dateng. Gue berdoa dulu buat lo deh" Daniel memejamkan mata seraya mengucapkan al-fatihah di susul Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas. Setelah itu dia menabur bunga yang sudah diberi minyak.
"Wangi kok, makan sendiri ya, jangan dibagi-bagiin ke yang lain." gumamnya, setelah selesai ia berdiri dan tersenyum sendu. "Gue duluan."
Petang datang, senja dan jingga memutuskan untuk berkolaborasi di langit pada pukul setengah enam sore. Vario 150 cc mulai berjalan dengan kecepatan 40km/jam. Sangat lambat, sengaja memang. Daniel teringat pada sebuah elegi yang pernah dia baca. Kira-kira begini isinya..
Hadirmu sesingkat senja, memberiku kenangan manis bersama jingga, kemudian menenggelamkanku pada malam, gelap dan sunyi menjadi saksi kejatuhanku atas kehilangan.
Waktu perlahan mengikis memori masa kecil mereka berdua yang sekarang Daniel simpan rapat-rapat di tempat yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh siapapun. Kenangan masa kecil mereka yang bahagia, karena hanya kenangan itulah yang Daniel punya.
Angin seakan membawa serpihan memori yang ditata sedemikian rupa, mengikuti timeline hidup Daniel selama menginjakan kaki di bumi. Jalanan Bandung-Jakarta menjadi saksi bisu atas rasa kehilangan yang pernah ia rasakan.
Vario 150 cc itu berjalan ke arah barat, membuat Daniel bisa melihat kalau sebentar lagi matahari akan pulang ke peraduannya. Senja mendatangkan kerinduan pada sosok yang juga pernah singgah di hidup dan hati Daniel. Kenangan-kenangannya seperti sebuah puzzle yang telah lama ditinggalkan. Lalu ketika dia datang, potongan puzzle itu kembali tersusun meski dengan gerak lambat.
"Gue cuma mau bilang pada senja, hari ini gue kembali, bukan untuk mengenang luka lama, melainkan untuk menulis cerita baru di lembaran yang baru pula" Daniel lagi-lagi bermonolog saat kedua tangannya sibuk menyetir.
"Gue harap, langit turut mendukung setapak langkah kaki gue kali ini. Gue nggak berharap yang muluk-muluk, karena gue hanya akan mengikuti arus yang sudah tuhan gariskan. Kini gue bukan Daniel remaja labil yang suka bermain dengan perasaan cewek-cewek lagi. Dan gue harap, semesta membantu gue kali ini."
"Membantu, gue untuk sukses.. dan kembali menemukan dia, lagi."
Sore itu, Daniel benar-benar menyaksikan matahari tenggelam. Adzan maghrib saling bersahut-sahutan terdengar begitu merdu di telinganya yang enam tahun terakhir tidak pernah mendengar suara adzan. Laki-laki berusia 24 tahun membelokan motornya ke masjid besar yang ada di pinggir jalan untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
○○○
Kendaraan hilir mudik tanpa memperdulikan perempuan yang tengah berdiri di pinggir jalan itu, perempuan yang sedari tadi mencoba menelepon bengkel yang masih buka, tapi sampai setengah jam lamanya, dia tak kunjung mendapatkannya. Dia bahkan mengontak beberapa temannya untuk mendapatkan bala bantuan.
Mobilnya mogok, dan dia tidak tau harus berbuat apa. Karena pada dasarnya memperbaiki mesin mobil bukan keahliannya. Keahlian perempuan itu menggambar, menggambar desain baju, menggambar gunung dengan matahari di tengahnya, bisa juga menggambar senyum yang sudah enam tahun ia simpan rapat di ingatannya.
Satu panggilan masuk dari rekan kerjanya. "Sam?"
"Gue nemu bengkel nih, share loc ya!"
"Akhirnyaaa, thank you, Sam. Besok gue traktir bebek goreng."
"Bebek goreng setiap hari, menyala kolesterolku!!"
Sambungan telepon terputus, dengan secepat kilat dia mengirimkan lokasinya sekarang. Adzan maghrib sudah berkumandang dari tadi, perempuan itu menatap sekitar, kebetulan sekali dia ada di depan masjid. "Sholat dulu kali ya, kayaknya seharian gue banyak dosa."
Heels yang ia kenakan mulai memasuki area masjid. Dia meninggalkan tas di dalam mobil, lantas mengunci nya. Perempuan itu berjalan masuk dan langsung menuju tempat wudhu. Setelah selesai dia berjalan masuk ke dalam masjid. Saat dia sibuk mengenakan mukena, seseorang menepuk bahunya pelan.
"Mbak, maaf"
"Eh iya?"
"Jam tangannya ketinggalan"
"Astaga" perempuan itu menepuk jidatnya. "Makasih ya, ah, salam kenal ya, aku Tiara" dia tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Tavisha, mbak"
Obrolan mereka hanya sampai disana, karena tak lama kemudian para sesepuh masjid meminta agar merapatkan barisan.
Lima belas menit, akhirnya selesai juga.
Tiara berjalan keluar seraya memakai jam tangannya, ponsel yang ada di saku perempuan itu bergetar. Nama bunda Intan terpampang disana.
"Halo, bun." Tiara masih sambil berjalan, dia menjepit ponsel pada telinga dan pundaknya. "Iya, Tiara habis sholat maghrib, mobil Tiara mogok tadi... iyaa, daah bundaa"
Daniel yang kebetulan ada di gerbang masjid spontan menoleh, tapi perempuan yang baru saja dia curi dengar ketika melakukan panggilan telepon tadi sudah berlalu menuju sebuah mobil. "Tiara?" saat Daniel hendak memastikan, dia dengan sembarangan membelokkan motornya.
"Aw!"
"Eh, maaf-maaf.." Daniel tak sengaja menabrak gadis yang tengah berjalan di depannya. "Lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Mas"
Cantik.
Pikir Daniel, tapi dia segera menggeleng. Saat netranya kembali menatap sosok tadi, dia sudah menghilang bersamaan dengan adanya mobil yang di derek. "Nggak mungkin lah, salah denger kali ya."
Memilih untuk melupakannya, atensi Daniel kembali tercuri pada gadis yang memegangi lututnya. "Lo bisa jalan?"
"Eh, bisa kok, Mas"
"Atau perlu gue anter aja?"
"Nggak ngerepotin?"
"Nggak kok, ngomong-ngomong boleh kenalan, gue Daniel."
"Eh? Tavisha, Mas."