“Pengajuan perceraian dibatalkan. Karena saya tidak mungkin menceraikan istri saya yang sedang dalam keadaan mengandung,” tegas Rendra.
Pupil mata Ilona membesar. Sejak mengetahui kehamilannya tiga minggu lalu, ia sengaja merahasiakan hal itu dari Rendra. Harusnya, sampai saat ini Rendra tidak tahu apa-apa soal kandungannya. Hal itu harusnya tidak bocor pada siapa pun.
“Rendra!”
Tatapan Rendra beralih pada Ilona. Ia menatap Ilona dengan tajam, seolah ingin menguliti gadis itu dengan tatapannya.
“Ya, aku sudah tahu kalau kamu hamil. Dan aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja dengan darah dagingku. Dia adalah milikku, Ilona, kamu tidak diizinkan untuk membawanya jauh dariku!” ujar Rendra.
Tangan Ilona bergetar ketakutan. Ia sama sekali tidak mengharapkan keadaannya akan menjadi seperti ini. Ia bahkan sudah merencanakan beberapa hal untuk hidupnya ke depan. Namun, akankah semua akan hancur begitu saja?
Rendra menarik lengan Ilona untuk ikut dengannya, memaksa wanita itu segera masuk ke mobil dan menutupnya dengan keras.
“Rendra,” panggil Ilona setelah Rendra masuk dari pintu yang lain.
Rendra masih dengan tatapan tajamnya. Ia hanya menoleh sekilas, sebelum menatap lurus ke depan.
“Kenapa kamu sembunyiin hal ini dari aku?”
Ilona menelan salivanya dengan kasar. Apa ia memiliki keberanian sebesar itu untuk mengungkapkan segala yang ia rasakan selama ini?
“Jawab, Ilona! Kenapa kamu rahasiakan kehamilanmu dari aku? Bahkan anak itu sudah hampir dua bulan dalam kandunganmu. Tapi, bagaimana bisa kamu nggak bicara apa-apa?” sentak Rendra, membuat tubuh Ilona semakin bergetar.
“M- maaf,” cicitnya.
Rendra tertawa dengan nada sumbang. “Aku tidak butuh kata maaf. Yang aku butuhkan, kamu bicara, apa alasan kamu nggak bilang ke aku kalau kamu lagi hamil. Kamu anggap aku apa? Sampai aku tidak boleh tahu keberadaan anakku sendiri?”
“Lalu apa sekarang? Cerai? Sebenarnya apa yang ada di kepala kamu sampai-sampai kamu membuat keputusan sebesar ini sendirian, hah?”
“Maaf, Rendra …”
Rendra memukul setir kemudinya dengan keras, begitu kesal dengan Ilona yang tidak segera memberinya penjelasan.
Tak ingin emosinya semakin meledak, Rendra pun mengalah. Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan membawa Naira pergi dari area pengadilan.
***
Rendra membawa Ilona pulang. Awalnya, Ilona sempat kebingungan saat melihat Rendra ikut keluar dari mobilnya dan masuk ke kediaman mereka. Sekarang masih jam kerja, dan tidak biasanya Rendra muncul di depan Ilona saat jam-jam seperti ini.
“Jangan membuatku kesal. Aku sedang tidak ingin marah padamu, kasihan bayinya,” kata Rendra dengan tegas.
Ilona hanya bisa tertunduk takut. Entah kenapa, meski ia tahu Rendra sudah berusaha menahannya, Ilona tahu Rendra sedang sangat marah padanya.
“Nggak papa kalau kamu nggak mau bicara apapun soal hari ini. Tapi, cukup kamu ingat, kalau aku nggak mau apa yang terjadi hari ini terulang di masa depan!”
Saat Rendra akan beranjak pergi, akhirnya Ilona berhasil memberanikan dirinya untuk menahan lengan pria itu. Tangan Ilona tampak memucat, tapi ia masih berusaha untuk menahan diri agar tidak tremor saat bersentuhan dengan Rendra.
“Kenapa kamu tidak ingin bercerai denganku?”
Rendra menoleh cepat, menatap Ilona dengan tatapan tak menyangka. “Kamu pikir apa? Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu tiba-tiba bisa kepikiran untuk cerai saat kamu tahu kamu sedang hamil.”
Ilona menggeleng. Ia tidak mau kalah. “Bukankah kamu nggak bahagia hidup sama aku? Papa yang sejak awal mendesak kamu buat nikahin aku juga sekarang sudah nggak ada, Ren. Kamu nggak harus maksain diri kamu buat terus bertahan sama pernikahan kita!”
Tak mampu lagi menahan kesal, Rendra mencengkram rahang Ilona dengan erat. Matanya berwarna merah menyala, melambangkan kobaran emosi yang sejak tadi ia pendam.
“Lalu, kamu pikir kamu bisa lari begitu saja membawa anakku pergi? Kenapa? Apa karena kamu memiliki pria lain dan sudah sangat tidak sabar untuk bersama dengannya?”
Ilona menggeleng lemah. Pupil matanya tampak membesar sebagai refleks kesiagaannya terhadap keadaan yang terjadi saat ini.
Rendra tersenyum remeh. “Semakin kamu mencoba untuk lari, maka akan semakin kuat aku menahan kakimu. Jangan pernah berpikir kalau kamu bisa menang dari aku!”
Air mata Ilona menetes. Ia tidak sanggup lagi menahan ketakutannya. Setelah cengkraman erat pada rahangnya terlepas, Ilona pun hanya bisa terduduk lemas di sofa.
“Jangan pernah menyebut kata itu lagi di hadapanku. Mengerti?”
Ilona hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak punya keberanian untuk menentang Rendra. Namun, hatinya terasa sangat sakit. Ia seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Ia masih tidak percaya jika Rendra akan bersikap sekasar itu padanya.
Meski pernikahan mereka diawali dan dijalani tanpa cinta dari Rendra, tapi selama ini Rendra tidak pernah bersikap kasar pada Ilona. Lelaki itu biasanya memilih mengabaikan Ilona dibanding harus membentaknya atau berlaku kasar seperti tadi. Ini adalah kali pertama bagi Ilona merasakan amarah yang berapi-api dari Rendra.
“Padahal apa yang aku lakukan sekarang tak lain untuk kebaikanmu, Ren. Aku cuma ingin melihat kamu bahagia. Dan kebahagiaanmu bukan bersamaku,” batin Ilona kecewa.