09 - Sulit Membiasakan Diri

1321 Kata
Saat melihat Rendra pulang kerja, sebisa mungkin Ilona melayaninya dengan sebaik mungkin. Ia menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi, lalu juga menyiapkan piyama untuk tidur. Sore ini ia tidak masak. Karena beberapa jam yang lalu Rendra mengiriminya pesan dan mengatakan jika ia akan membawa makanan dari kantor. Selesai dengan urusan Rendra, Ilona menuju ke lantai satu untuk menyiapkan makanan yang Rendra bawa di atas meja makan. Ia mengernyit bingung melihat makanan-makanan itu. Hingga kemudian, Rendra muncul dari arah tangga menghampiri dirinya. “Ini benar kamu dapat dari kantor?” tanya Ilona ragu. Pasalnya, makanan yang Rendra bawa benar-benar tidak menunjukkan jika itu di dapat secara cuma-cuma atau sisa dari suatu acara di sebuah perusahaan. “Hm. Tadi ada meeting gitu di resto, tapi ternyata perwakilan klienku yang datang nggak sebanyak yang kami perkirakan, padahal udah pesan banyak makanan. Jadi ya dibagi-bagi aja,” jawab Rendra. Ilona mengangguk, berusaha percaya. Setidaknya ia tahu jika itu memang makanan restoran, meski tetap awalnya Rendra tidak memiliki niat untuk benar-benar membelikan makanan untuknya. “Kenapa? Ada masalah sama makanannya?” Rendra balik bertanya setelah ia duduk. “Enggak kok. Cuma tanya aja. Soalnya makanannya nggak kayak makanan dari kantor yang dikasih cuma-cuma.” Rendra tampak tidak peduli, lalu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Ilona pun turut menyusul. Mereka memakan menu makan malam itu dengan khidmad. “Inka tadi siang ke sini bawa makanan?” Ilona menghentikan sejenak kegiatan makannya. Ia sudah menebak, cepat atau lambat, pasti Rendra akan menanyakan hal itu. Kemudian, ia pun mengangguk. “Aku dengar, kamu kedatangan tamu, teman kamu?” Lagi, Ilona mengangguk. “Tadi kebetulan ketemu pas aku belanja. Terus karena belanjaanku banyak, dia bantu bawa dan antar pulang. Jadi, aku persilakan masuk dan kasih minum. Nggak papa, kan?” “Kamu belanja?” Ilona mengangguk ragu. Merasa cukup aneh karena Rendra yang malah balik bertanya saat sebelumnya ia juga melempar pertanyaan. “Maaf aku sembarangan bawa orang masuk sebelum izin ke kamu.” Ilona khawatir Rendra akan marah karena hal itu. Karena biar bagaimana pun, Ilona hanyalah orang asing di sini. Ia hanya seperti orang yang menumpang, dan merasa tidak berhak untuk turut disebut sebagai pemilik kediaman megah ini. Rendra menghela napas gusar. Membuat Ilona semakin percaya jika pria itu marah karena Ilona yang sembarangan menjamu tamunya di rumah ini. “Lain kali nggak usah belanja isi dapur! Kalau mau beli telur atau apa dalam jumlah kecil, bisa beli di minimarket depan saja!” “Sekali lagi aku minta maaf,” cicit Ilona dengan kepala tertunduk. “Sudah, cepat habiskan makanmu!” balas Rendra dingin. Dari nada bicaranya, semakin kentara jika pria itu sedang merasa kesal. Yang tidak Ilona ketahui, alasan kekesalan suaminya itu. Apakah Rendra kesal karena Ilona yang sembarang membawa masuk tamu, atau karena hal lain. “Inka pasti udah cerita ke Rendra soal ucapan Nadia yang menyinggung dia. Semoga setelah ini Rendra tidak memperpanjang masalah. Aku tidak mau jika harus didesak untuk minta maaf pada Inka lagi untuk sesuatu yang bukan salahku,” batin Ilona. “Jangan lupa minum s**u ibu hamilnya sebelum ke kamar! Aku duluan, karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum aku selesaikan,” pamit Rendra, sambil bangkit dari kursinya. Merasa bersalah atas kejadian hari ini, Ilona pun berusaha untuk membuat keadaan sedikit lebih baik. “Kamu mau lembur? Mau aku buatkan kopi?” “Nggak perlu. Hari ini aku udah banyak minum kopi. Takutnya tekanan darahku malah naik. Habis minum s**u, kamu bisa langsung istirahat aja!” Ilona mengangguk patuh, meski hatinya sedikit kecewa. Sementara itu di tempat lain …’ “Sialan! Dia mulai tahu cara untuk melawanku rupanya. Kalau tidak segera aku singkirkan, yang ada dia akan lebih dulu sadar kalau selama ini aku sudah mempengaruhi pikirannya, dan dia pasti akan membangkang.” “Aku harus cari cara lain untuk membuat dia lebih cepat pergi dari kehidupan Rendra, atau semua akan berantakan.” *** “Ren …” panggil Ilona, setelah ia dan Rendra selesai menyantap makan pagi mereka. Rendra menoleh sejenak, sebelum kembali fokus pada ponselnya. “Hari ini aku mau izin keluar sebentar, dari jam sembilan sampai jam makan siang, nggak papa? Aku minta izin, soalnya takutnya nanti Inka datang lagi buat antar makanan, dan akunya nggak ada. Kasihan kalau dia harus bolak-balik,” ucap Ilona. Rendra mengernyitkan keningnya, lalu mengalihkan tatapannya menghadap ke arah Ilona. “Dari jam sembilan sampai jam makan siang? Sekitar tiga jam?” Ilona mengangguk. “Memang mau ke mana?” Ilona merasa gugup saat akan menjawab. “Ke rumah sakit.” Dan reaksi Rendra, pria itu tampak menyipitkan kedua matanya, menuntut Ilona untuk melanjutkan perkataannya. “Hari ini jadwal aku check up kandungan. Dokternya mulai praktik jam sembilan. Tapi nggak ada jaminan aku sampai bakalan langsung diperiksa, kan? Jadi aku sekalian izin sampai jam makan siang.” “Periksa kandungan?” “Ya.” “Kamu nggak bilang dari kemarin. Baru pagi ini. Kamu sengaja nggak mau aku dengar langsung penjelasan dari dokter soal kandungan kamu?” “Eh?” “Kalau dari kemarin kamu bilang, aku bisa sediain waktu buat antar kamu. Aku bisa minta orang buat handel pekerjaanku dulu sampai aku datang. Kamu sengaja ingin pergi tanpa aku?” tuduh Rendra. Ilona semakin gugup. Ia tidak menduga jika Rendra akan emosi karena hal itu. Ia pikir, Rendra tidak akan begitu peduli dengan rencana check up-nya hari ini. Ilona sama sekali tidak kecewa, ia tahu, Rendra adalah orang yang sibuk sementara dia bukan lah prioritas bagi Rendra. “Ma- maksud aku bukan begitu. Aku pikir kamu sibuk, jadi nggak akan ada waktu buat antar aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa sendiri. Soal perkembangannya, pasti akan aku laporkan ke kamu nanti,” ucap Ilona. Rendra menghela napas panjang. “Di rumah sakit mana?” “Kasih Bunda. Rumah sakit khusus ibu dan anak nggak jauh dari sini,” jawab Ilona. “Tunggu aku! Kabari kalau sudah mau masuk! Aku akan berusaha buat sampai di sana sebelum kamu masuk ruang periksa,” titah Rendra. Ilona melebarkan pupil matanya, merasa tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Ya?” “Sudah aku katakan, aku butuh mendengar penjelasan dokter tentang keadaan anak itu. Jadi, aku pasti akan datang,” ulang Rendra. “Tapi kerjaan kamu-” “Aku yang akan pikirin. Kamu cukup ingat apa yang aku katakan tadi. Mengerti?” “Mengerti,” jawab Ilona. Setelah itu, Rendra tampak tergesa-gesa bersiap ke kantor. Tinggalah Ilona sendiri di rumah. Padahal, ia berniat memberi tahu Rendra agar Rendra tidak menyuruh Inka mengantar makanan, dan karena kewajibannya yang memang harus meminta izin apabila akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Ia sama sekali tidak berniat untuk memaksa Rendra mengantarnya. Justru, ia pikir mungkin malah akan terasa canggung saat mereka berhadapan dengan dokter nanti, dan Rendra ada bersama Ilona. Namun, siapa sangka jika Rendra malah akan bersi keras untuk ikut saat Ilona memeriksakan kandungannya. Pukul sembilan kurang, Ilona sudah sampai di rumah sakit. Ia sudah mendaftar di poli, dan tinggal menunggu panggilan saja. Sembari menunggu, gadis yang menggunakan masker di wajahnya itu memainkan ponselnya. Ilona [Aku sudah ada di depan poli. Mungkin sepuluh atau dua puluh menit lagi akan masuk ruang periksa.] [Kalau kamu ada kerjaan, kamu nggak perlu datang! Aku janji bakal kasih tahu kamu apapun yang diberitahukan oleh dokter di sini nanti.] Ilona harap-harap cemas menunggu pesan balasan suaminya. Namun, sayangnya, hingga Ilona dipanggil oleh seorang perawat, Rendra masih belum juga sampai. “Mungkin dia sibuk. Atau mungkin … dia memang tidak pernah menganggap bayi ini penting,” batin Ilona, sambil memegangi perutnya yang masih datar. Entah harus sampai kapan Ilona hanya bisa terus-terusan diam seperti sekarang meski hatinya terasa sakit. Harusnya ia sudah terbiasa, kan, dengan sikap Rendra yang seperti ini? Namun, tetap saja, meski ekspresi wajahnya berhasil menyembunyikan perasaan itu. Namun, tidak dengan hati Ilona yang tetap merasa sakit. Benar kata orang. Harapan yang besar justru akan mematikan kita. Karena begitu harapan itu hancur, maka kita akan merasakan seolah hidup kita juga hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN