Kasus pembunuhan yang sama

1826 Kata
“Kalian tahu sekarang apa yang harus dilakukan?” Tanya Yuan. “Memangnya apa yang harus aku lakukan? Bukannya kamu bilang kita harus berkumpul di macau,” jawab Dellon. “Aku bersama Bella sekarang berada di macau. Kami jam 9 malam nanti, berada di sebuah bar yang terkenal disini. Banyak sekali orang berdosa disini. Jika kamu ingin mencari siapa pembunuh dari kasus pertama. Kamu pasti akan menemukannya. Meski hanya sebuah petunjuk,” jelas Yuan. “Apa maksud kamu?” Tanya Shinta. “Aku dapat bocoran dari Felix, dia yang menerobos masuk ke dalam sebuah organisasi rahasia. Aku dan dia berhasil mendapatkan semua datanya. Dan, ini Felix lakukan dengan rencana yang tak terduga. Dia bahkan menyerahkan nyawanya sendiri untuk masuk ke dalam.” Yuan dia beranjak duduk bersila di atas ranjangnya sembari menatap laptop yang berada tepat di depannya. “Jadi kamu kemarin dan Felix …?” “Kenapa?” Yuan tersenyum tipis. Dia melirik ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup. Sengaja memastikan jika Bella tidak masuk secara tiba-tiba. Dia takut Bella akan marah merahasiakan ini darinya. Apalagi Bella wanita yang terlalu khawatir jika Felix melakukan hal bahaya lagi. Dia pasti tidak akan setuju dengan rencana Felix. Bahkan paling bingung jika Felix tiba-tiba tidak ada kabar. “Jangan bilang pada Bella, aku merahasiakan ini semua dari, Bella. Aku tidak mau dia terlalu khawatir,” jelas Yuan. Dia menghela napasnya. “Aku tahu jika semuanya percuma aku bicara ini itu. Tapi, kalian tahu sendiri gimana Bella. Dia terlalu khawatir. Dia juga tidak pernah sama sekali tahu apa pekerjaan atau tidak. Dia selalu mementingkan hatinya,” gerutu Yuan. Dia merasa sangat kesal jika Bella tidak bisa mengerti dengan keadaan. Dellon dan Shinta saling mengangguk satu kali kompak. Mereka menarik sudut bibirnya tipis. Mereka tahu bagaimana perasaan Bella. Jadi paham apa yang dimaksud oleh Yuan. Dellon dan Shinta saling memandang sekilas. Mereka saling tersenyum, tatapan mereka menunjukan hal yang berbeda. Bukan karena mereka adalah rekan satu team lagi. Tatapan mata yang dalam dan penuh arti itu berbeda. Mereka sepertinya menyimpan perasaan yang sama. Sementara Yuan yang melihat adegan itu. Dia memalingkan wajahnya seketika. Sesekali dirinya mengintip apa yang dilakukan Dello dan Shinta. “Kalian pacaran?” Tanya Yuan bingung. Dia masih belum berani menatap ke layar laptopnya. Takut kejadian yang membuat dirinya merasa sangat minder tidak punya pasangan sendiri. Shinta dan Dellon saling memegang tangan, kedua mata mereka sesekali saling bertemu satu sama lain, diiringi dengan senyum manis dari bibir mereka. Dellon memasukan jemari tangannya di jemari tangan kiri Shinta, dia mengangkat tangan Shinta. Menganggamnya sangat erat, lalu memberikan sebuah kecupan lembut di punggung tangannya. “Lanjutkan saja, Lanjut!” ucap Yuan. “Oke, aku memang tidak punya pasangan. Lanjutkan kemesraan kalian di depanku,” kesal Yuan. “Apa wajahku kurang tampan, sampai semua orang sama sekali tidak tertarik denganku.” “Kenapa kamu tidak pergi ke bar?” Tanya Shinta. “Sejak kapan kalian pacaran? Kenapa aku baru tahu? Kalian benar-benar ya, memamerkan kemesraan kalian di depanku,” ucap Yuan, dia menghela napasnya frustasi. Yuan menutup kedua matanya, ia terus mengeluarkan napas kasarnya dari sela-sela bibirnya. Lalu, membuka lagi kedua matanya. “Apa jangan-jangan kalian pacaran saat kalian ditugaskan berdua? Atau, sebenarnya kalian sudah lama pacaran.” Shinta menghela napasnya. “Aku tahu bagaimana rasa khawatir Bella pada orang yang dicintainya. Meski itu hanya cinta dalam diam. Dia tidak berani mengungkapkannya. Bahkan dia lebih memilih untuk saling bertengkar dengan Felix, dari pada harus kelihatan mesra. Sedangkan Felix juga memang orangnya suka dekat dengan banyak wanita. Itu yang membuat Bella kadang ragu dengan perasaannya. Meski dalam hati kecilnya dia sangat peduli dan khawatir dengan Felix,” jelas Shinta panjang lebar. “Iya, sih. Aku tahu, tapi kenapa dia tidak mau memberi tahu Felix secara langsung.” “Entahlah!” “Terus, kalian pacaran sejak kapan. Kenapa tidak ada yang tahu sama sekali.” “Sudah lama,” jawab Dellon. “Sudah, sekarang jangan bahas tentang hubungan,” ucap Shinta. “Shinta, Dellon. Sekarang kalian segera pergi ke kota,” potong boss yang ternyata sudah berdiri di belakang mereka. Dellon terdiam sejenak, lalu menggerakkan kepalanya pelan melirik ke belakang. “Ada apa di kota?” Tanya Dellon. “Ada pembunuhan di kota. Dan, entah ini pembunuhan atau murni pelanggaran lalu lintas,” jelas sang boss. Shinta menautkan kedua alisnya. “Pelanggaran lalu lintas?” Tanya Shinta memastikan. “Iya, pelanggaran lalu lintas.” Sang Boss melemparkan berkas perkara tepat di depan Dellon dan Shinta. Dellon segera mengambilnya. Dia mengabaikan Yuan yang masih menatap mereka dari layar laptopnya. Dellon melihat detail perkara, kedua bola mata hitam itu berputar seolah sengaja untuk berpikir sejenak. “Bentar, ini bukanya kasus yang sama dengan kecelakaan mobil kemarin. Hanya saja dia melanggar lampu merah dan menabrak trotoar.” “Iya, dan yang jadi korban adalah keluarga dari anggota intelijen Negara,” saut sang boss. Shinta meraih berkas perkara itu. Dia membuka setiap halaman, kedua matanya mulai melihat foto yang ada di setiap lembaran. “Ini, benar hampir sama dengan kasus sebelumnya,” ucap Shinta. “Apa aku harus berangkat sekarang?” Tanya Shinta. “Iya, kalian segera ke lokasi kejadian sekarang. Jangan sampai kalian semua mengeluarkan identitas.” Sang boss mengingatkan. “Oke,baiklah!” Shinta dan Dellon segera bangkit dari duduknya. Shinta meletakkan dokumen perkara itu di atas meja. Dia membungkukkan badannya, menatap ke layar laptop yang masih menyala. “Sebentar. Masih ada tugas. Kamu segera lakukan tugasmu sendiri,” ucap Shinta. “Oke, baiklah! Selamat bertugas.” Yuan segera mematikan kembali laptopnya. Sementara Shinta dan Dellon dia segera pergi dari ruangannya. ** Sampai di tempat tujuan. Tepat di tengah kota, sebuah mobil sudah terlihat tak terbentuk. Bagian depan mobil hancur. Dan sang pemilik mobil meninggal di tempat. Dan, hal aneh yang membuat semua orang yang berada di sana bingung. Mobil terlihat sangat hancur, dan anehnya orang yang di dalam mobil sama sekali tidak ada luka lecet sama sekali. Bahkan orang di dalam mobil masih menggunakan sabuk pengamannya. Dan tidak ada luka goresan sama sekali. Beberapa orang melihat dari kejauhan, sementara polisi juga ada yang mencoba menyelidiki apa yang terjadi. Meski banyak sekali masyarakat di sekitar yang ingin melihat di tempat kejadian. Mereka tidak berani mendekat, bahkan polisi sudah memasang garis polisi di sekitar kecelakaan itu. Shinta dan Dellon baru saja sampai di tempat kejadian. Shinta segera menggunakan topeng wajah yang berbeda dari biasanya. Sementara Dellon, dia hanya membawa masker untuk menutupi mulut dan hidungnya. Mereka tak lupa menggunakan sarung tangan karet yang sengaja selalu mereka bawa. Setelah bersiap lebih dulu di dalam mobil. Shinta dan Dellon mereka segera keluar dari dalam mobil. Dan, dengan segera menggunakan kacamata hitam yang sengaja dia pakai. Dan, tak lupa kartu identitas yang hanya boleh dilihat oleh polisi. Mereka punya banyak sekali kartu identitas dengan berbagai topeng yang mereka punya. Setiap wajah mempunyai kartu identitas sendiri. Shinta berjalan lebih dulu, dia melangkahkan kakinya secara perlahan menghampiri polisi yang bertugas. “Pak, bagaimana kelanjutan kasusnya,” ucap Shinta. “Saya sudah menyelidiki, tapi tidak ada kejanggalan sama sekali,” jawab sang polisi. “Tidak mungkin jika tidak ada kejanggalan. Jika kalian mengijinkan, biarkan aku yang menyelidiki. Tenang saja aku tidak akan meninggalkan sidik jariku disini,” ucap Dellon. “Baiklah, tapi saya akan menyelidiki sesuai versi dari pihak kepolisian. Jika kalian ingin mengusutnya lagi. Anda harus menyertakan bukti yang kuat untuk mengajukan tuntutan. Dan, semuanya juga harus ada keluarga dari pihak korban. Jika ada datang tanpa ada bantuan dari pihak korban yang menuntut. Anda tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” ucap sang polisi. “Baiklah, itu biar jadi urusan saya,” jawab Dellon. Shinta yang semual mengambil hasil penyelidikan dari polisi. Dia mengembalikan lagi dokumen penyelidikan itu. “Lihatlah dari cctv jalan, jangan hanya menyimpulkan,” kata Shinta. “Cctv di jalan ini mati,” “Mati? Bagaimana bisa cctv jalan mati tidak segera diperbarui. Apa memang kalian sengaja. Ini jalanan umum, cctv harus tetap menyala. Jika memang cctv mati bukanya harus segera menggantinya dengan yang baru. Atau, kalian bisa lihat dari cctv kilometer jalan yang lain. Cctv di jalan tidak hanya satu, apa semua cctv juga mati?” Shinta menyudutkan polisi yang ada di depannya. Membuat semua yang ada di sana terdiam. Ucapan Shinta tak mampu membuat mereka berkutik. Dellon menarik sudut bibirnya sinis, jika memang kalian sengaja mematikan semuanya. Jangan tanggung-tanggung berbuat kejahatan. Jangan tinggalkan bekas di sini, seolah korban murni karena kecelakaan. Karena ini aku yakin bukan kecelakaan biasa,” timpal Dellon. “Benar, jika memang kecelakaan. Anda bisa membuktikannya. Kita setelah ini pergi ke kantor. Aku mau kihat bagaimana cctvdi jalan apa masih layak pakai atau hanya buat hiasan saja,” tegas Shinta. “Kalian tidak takut bicara dengan siapa. Kalian pikir kalian punya kekuasaan atas segalanya. Tidak, kalian tidak akan bisa pergi dari sini. Kalian harus diperiksa, apa yang kalian katakana terlihat mencurigakan dan menyudutkan polisi. Apa mungkin memang kalian sendiri pelakunya.” “Kalian berani sekali memutar balikkan fakta? Kalian sudah lama belajar akting. Jika kalian berbakat dalam dunia acting, lebih baik kalian segera pergi casting. Biar jadi pemain sinetron sekalian,” ledek Shinta. Sementara Dellon tanpa menunggu persetujuan dari polisi, dia segera menyelidiki apa yang terjadi di dalam mobil. Bagian mobil dalam sangat hancur, dan hanya kursi penumpang dan pengemudi yang terlihat baik-baik saja. Kedua mata Dellon menyipit seketika saat dia melihat orang yang meninggal di depannya duduk bersila, dengan kedua tangan masih memegang setir mobil. Dan kepala menyentuh pelampung di bagian depan setir mobil agar terlindungi dari benturan keras bagian wajah sampai dagu. Dellon menggelengkan kepalanya, dia terlihat begitu serius mulai menyelidiki sangat detail, Dellon merasa tidak mungkin jika pengemudi duduk dengan kaki bersila. Apalagi mobil yang dikendarai bukan mobil matik. Dan, ini semua di luar nalar Dellon. Dellon memegang bagian lengan tangan, dia merasa lengan tangan itu terlihat sedikit lunglai. “Kalian sudah melakukan otopsi belum?” Tanya Dellon. “Belom,” jawab sang polisi. “Jika memang ingin segera, melakukan otopsi juga harus ada persetujuan dari pihak keluarga.” “Harusnya itu tugas kalian,” ucap Shinta. “Apa harus aku dan temanku yang turun tangan, bagaimana dengan pekerjaan polisi jika semua penyelidikan sama sekali tidak pernah membuahkan hasil. Semuanya kita yang ambil alih. Ketua pasti sangat senang dengan pekerjaan ini.” Ucap Shinta, dia sengaja sedikit menyindir pada polisi. yang ada di dalam sana sebelum nya. "Anda tidak perlu ikut campur lagi." kata polisi itu. "Kenapa kamu begitu mudahnya bilang seperti itu? Tidak boleh ikut campur? Apa maksud kamu? Apa kalian sengaja?" Shinta meninggikan nada suaranya. Sementara Dellon dia tidak pedulikan Shinta yang berdebat dengan polisi. Dellon segera memeriksa semuanya. Keamanan mobilnya. Semuanya masih normal. Tidak ada kejanggalan pembunuhan jika di luar dari mobilnya yang memang masih layak pakai. Dan juga berfungsi dengan baik. Dellon yang mengira dia mabuk. Dia mencoba mendekatkan hidungnya di bibir mayat itu. Dan, benar saja tidak ada bau alkohol sama sekali. Dia melihat sekelilingnya. Di dalam mobil terlihat ada sebuah sabuk pengaman yang baru saja dipakai seseorang. Dia pasti di samping tempat duduk korban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN