Aliando masih terpaku. Segala rasa bercampur aduk di dalam hatinya. Antara takut, kagum dan juga penasaran. Ruangan itu terlihat sangat keren di mata Al, namun Al masih bersikap hati-hati sebab untuk pertama kalinya Al melihat semua pemandangan itu—seorang diri.
Di depan Aliando bagian agak ke kiri, terpampang dua buah layar besar yang keluar dari dua buah infokus. Layar besar transparan yang memancar ke udara itu menampilkan beberapa pilihan permainan. Aliando yang tidak asing lagi dengan game masa kini, tentu cukup mengerti dengan apa yang ditampilkan oleh layar tersebut.
Tepat lurus di depan Aliando, terdapat sebuah meja utama. Di atas meja itu, terdapat satu buah monitor berukuran enam puluh lima inci. Monitor itu juga memiliki tampilan yang sama dengan layar besar yang keluar dari dua buah infokus.
Tempat apa ini? Mengapa kakek tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku tentang tempat ini? Ini terlihat sangat keren. Aliando mulai mengagumi apa yang ia lihat di depan matanya. Ruangan itu memang sangat canggih. Apa lagi berada di sebuah desa yang cukup terpencil yang bahkan tidak terdeteksi di google maps.
Perlahan, Aliando mulai melangkahkan kakinya ke depan. Pemuda itu penasaran dengan perangkat canggih yang baru saja ia temukan. Aliando berjalan mendekati monitor utama yang berukuran enam puluh lima inci.
Layar itu menyala, begitu juga dua layar yang dipantulkan dari dua infokus juga menyala. Layar-layar itu menampilkan gambar yang sama.
Kini, posisi Al berada tidak jauh dari meja besi panjang tempat layar enam puluh lima inci itu berdiri. Kurang dari lima puluh senti meter lagi, maka tubuh Al akan menyentuh meja besi itu.
Dengan cukup hati-hati, Aliando terus memerhatikan setiap bagian dari layar itu. Aliando mencari sesuatu, semacam perangkat komputer yang terhubung dengan layar. Namun sepasang netra itu tak juga menemukan perangkat komputer yang dimaksud.
Perlahan, Aliando menunduk, mencoba mencari di bawah sisi meja. Nihil, Al tetap tidak menemukan apa pun di sana. Bagian bawah meja itu kosong. Hanya beberapa sarang laba-laba yang terpampang indah di bawahnya.
Aliando beranjak ke samping, barangkali ada sebuah CPU mini di sana. Namun, tetap saja Al tidak menemukan apa pun yang ia cari. Sisi kanan dan kiri semua sudah diperiksa oleh Al tanpa menyentuh apa pun. Kosong, tidak ada CPU, mouse atau pun keyboard di sana.
Bagaimana cara mengakses benda ini jika tidak ada apa pun di sekitar sini? Gumam Al seraya menyeka dagunya.
Sebelum berlanjut ke monitor besar itu, Al kembali melabuhkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Barang kali cucu tunggal Kaddar itu menemukan sebuah petunjuk atau sebuah alat yang bisa ia gunakan untuk mengakses benda yang kini ada di depan matanya.
Semakin mencari, semakin Aliando tidak menemukan apa pun. Al semakin penasaran, namun ia tetap tidak berani menyentuh apa pun di sana.
Apa aku tanya kakek saja? Aliando kembali bergumam. Pemuda yang kembali menatap layar utama, mulai memutar tubuhnya. Ia berniat meninggalkan tempat itu dan akan menanyakannya terlebih dulu kepada Kaddar. Itu akan lebih baik dan lebih aman untuknya.
Alaindo pun mulai melangkah. Tapi jiwa muda dan petualangnya tiba-tiba memberontak. Lima langkah lagi menuju pintu utama, Aliando pun berubah pikiran.
Pemuda itu kembali memutar tubuhnya dan menatap layar utama dengan mata sedikit disipitkan. Al merasa benda itu seakan memanggilnya. Al merasa benda itu seakan minta disentuh oleh tangannya.
Apa salahnya aku mencoba. Dari pada aku kembali ke kamar dan tidak bisa tidur dengan tenang karena penasaran ...
Aliando pun kembali mendekati layar utama. Kali ini, ia berani lebih dekat lagi. Jarak antara tubuhnya dan tepi meja besi hanya sekitar sepuluh senti meter saja.
Aliando kembali memerhatikan benda itu dengan saksama. Apa jangan-jangan perangkat ini menggunakan layar sentuh tak kasat mata? Seperti film-film luar sana? Aliando kembali bergumam.
Sebelum berani menyentuh apa pun, Aliando kembali berkeliling mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk duduk. Aliando menemukan sebuah kursi dan menarik kursi itu agar mendekat dengan layar utama. Al duduk di atasnya dengan baik.
Sekarang apa lagi? Pasti ada cara untuk mengaksesnya, gumam Aliando dalam hatinya.
Aliando pun mencondongkan badannya hingga perut datar pria itu menyentuh meja besi. Seketika meja besi itu melipat dirinya dengan cepat hingga tersisa seukuran lebar monitor. Aliando kembali terpesona. Kini, ia bisa menyentuh layar monitor itu dengan leluasa.
“Wow ... ini keren ....”
Al terus memerhatikan layar besar itu. Akhirnya ia menemukan sebuah tombol on/off di bagian sudut bawah kanan monitor itu. Aliando pun menekannya.
Tiba-tiba, suasana di ruangan itu berubah. Beberapa lampu menyala dengan sendirinya. Keyboard layar sentuh pun tiba-tiba keluar dari sebuah lampu sorot kecil yang terdapat di bagian tengah bawah monitor.
“SELAMAT DATANG DI KERAJAAN PANDORA, SILAHKAN TENTUKAN PERMAINAN PILIHAN ANDA. LALU PILIH KARAKTER YANG ANDA INGINKAN DAN MASUKLAH KE DALAM DUNIA PANDORA. SELAMAT MENIKMATI PETUALANGAN YANG SESUNGGUHNYA DI DALAM KERAJAAN PANDORA”
Suara itu tiba-tiba saja keluar dan menggema di sana. Al terperanjat dan beusaha mencari sumber suara. Pemuda itu mengira, ada orang lain yang berada di ruangan penuh misteri di rumah kakeknya itu.
“SIAPA DI SANA?” Teriak Al. Namun tidak ada jawaban dari siapa pun.
Apa itu suara dari perangkat ini? Aliando kembali memerhatikan layar itu dengan saksama. Sebelum berani menyentuh apa pun lagi, Aliando kembali mencari sesuatu yang ada di ruangan itu. Al mencari sebuah petunjuk.
Aliando mengitari ruangan itu dan terus memerhatikan apa pun yang ia rasa aneh dan patut untuk diselidiki. Sebuah rak buku pun ditemukan oleh Al. Rak buku dengan pintu kaca yang sudah kusam.
Aliando membuka pintu kaca itu dan mencoba mencari sesuatu. Walau jiwa mudanya semakin bergelorɑ, Al tetap tidak mau gegabah. Apa pun yang ia sentuh, apa pun yang ia lihat, ia akan sangat berhati-hati.
Tidak lama, Aliando pun menemukan sesuatu yang ia cari, sebuah buku petunjuk penggunaan perangkat kerajaan Pandora. Buku itu berjudul “SELAMAT DATANG DI KERAJAAN PANDORA. PELAJARI DULU, MAKA KAU AKAN AMAN DI SANA”.
Tulisan itu terlihat di bagian samping buku. Al pun mengambilnya dan mengusap sedikit debu yang menempel di buku.
Selamat datang di kerajaan Pandora. Pelajari dulu, maka kau akan aman di sana. Al kembali membaca ulang judul besar yang tertera di sampul buku.
Alvoso Geneva, siapa yang sudah menulis buku ini? Aliando kembali berpikir.
Nama Geneva memang sudah tidak asing lagi baginya. Bahkan ia sendiri pun memiliki nama belakang yang sama, yaitu Aliando Geneva. Kakeknya—Kaddar—dan ayahnya—Sammy—juga memiliki nama belakang yang sama.
Apakah penulis buku dan pencipta perangkat ini masih ada hubungannya denganku? Apa kakek buyut yang sudah menciptakannya? Ah, tidak mungkin. Aliando terus berperang di dalam hatinya.
Tidak mau semakin larut dalam rasa penasaran, Aliando pun mulai membuka halaman pertama buku itu. Pada halaman pertama, tidak ada apa pun yang bisa Aliando temukan selain tulisan yang sama dengan yang ia lihat di bagian sampul buku. Bedanya, bagian sampul terbuat dari kertas tebal sementara bagian halaman pertama terbuat dari kertas buku biasa.
Aliando menarik kursi yang sebelumnya ia bawa ke depan monitor utama. Kursi itu ia tarik kembali ke depan sebuah meja besi yang tidak ada apa pun di atasnya.
Al meletakkan bukunya di atas meja. Ia mulai duduk dan kembali memerhatikan buku itu dengan saksama dan hati-hati.
Lembar pertama sudah, Aliando pun beralih ke lembar ke dua. Ia kembali membaca semua tulisan yang ada di lembar ke dua itu dengan teliti.
DESA PANDORA, TAHUN 1910 M.
Aliando terbelalak menatap angka besar yang terpampang di halaman ke dua bagian bawah buku itu. Tahun seribu sembilan ratus sepuluh masehi adalah tahun dimana jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan Aliando bisa menebak jika tahun itu, negeri ini masih jauh dari teknologi canggih.
Akan tetapi Alvoso Geneva sudah menciptakan sebuah perangkat super canggih yang saat ini saja belum tentu bisa dibuat oleh manusia normal lainnya.
Keren ... siapa sebenarnya Alvoso Geneva ini. Apakah orang ini adalah kakek buyutnya kakek Kaddar? Ah, aku tidak menyangka jika orang sekeren ini sudah hidup zaman itu. Aliando kembali menatap lembaran ke dua itu dengan kagum.