Episode 9 : Pertemuan Tak Terduga

1754 Kata
Diana sudah berada di restoran tempatnya akan bertemu calon suami Dita. Karena seperti informasi yang Diana ketahui, Dita kakaknya juga akan dijodohkan mengikuti jejak Diana. Hanya saja, bisa Diana pastikan, laki-laki yang akan menjadi pasangan Dita berasal dari kalangan lebih berada dari Romi. Apalagi sejauh ini, Dita ibarat Tuan Putri dalam keluarga mereka. Kontras dari Diana yang kehadirannya selalu tidak terlihat bahkan mungkin memang tidak diharapkan. Diana duduk di tempat duduk tengah paling depan, sementara di sudut belakang sana, Dita juga sudah bersiap untuk mengawasi. Sesekali, pandangan mereka akan bertemu, meski sedari awal kedatangan, Dita terlampau sibuk dengan ponselnya. Seperti itulah Dita, seorang model sekaligus sosok ekstrover yang sangat mudah bergaul dan memiliki banyak teman, sangat bertolak belakang dengan Diana. Terlalu lama menunggu mulai membuat Diana bosan. Calon suami Dita sudah telat lebih dari dua puluh menit. Diana sampai nyaris selesai membaca n****+ yang sengaja ia bawa untuk jaga-jaga dari rasa bosan. Naasnya, ketika Diana menoleh ke tempat duduk Dita terjaga, kakaknya itu justru tidak ada di sana. Tempat duduk tersebut sudah dihuni orang lain, pasangan muda dan perempuannya masih mengenakan seragam SMA. “Terus, ini gimana dong? Aku harus gimana?” Diana mulai gelisah. Jantungnya berdetak lebih cepat selain ia yang sampai berkeringat. Diana berniat menghubungi Dita melalui ponselnya. Diana langsung mencari-cari ponselnya di dalam tasnya. Dan baru Diana sadari, dirinya sudah tidak memiliki ponsel lantaran pagi tadi, setelah dibanting oleh Romi, Diana juga sampai membuang ponselnya melalui jendela kamar. Suasana restoran sudah semakin ramai mengingat jam makan siang memang sudah tiba. Namun, tak ada tanda-tanda kehadiran Dita maupun calon suami Dita, sedangkan rasa tegang yang terus Diana tahan membuat Diana kebelet pipis bahkan mules. Sampai separah ini ... berasa mau ketemu calon sendiri! Ya Tuhan, kok nasibku apes terus, sih? Diana memutuskan untuk ke toilet. Ia bergegas dan meninggalkan tempatnya menunggu. “Ini nanti kalau aku balik tapi tetep belum datang, mending aku langsung pulang deh,” Diana mengomel sendiri. Tak habis pikir olehnya, setelah ia harus terperangkap dalam penjara kejji Romi, ada saja hal-hal tak terduga yang membuatnya sulit dan salah satunya apa yang sedang ia rasakan. Ferro Abi Atmadja mendapati seorang wanita yang mengenakan dress putih dibalut sweter berwarna senada melangkah buru-buru meninggalkan meja pelanggan yang sudah dipesankan untuknya. Itu si Dita? Dia mau ke mana? Oh, kayaknya mau ke toilet, pikir Ferro. Awalnya, Ferro berniat duduk dan menunggu di kursi yang baru saja ditinggalkan oleh Diana dan Ferro kira Dita, wanita yang dijodohkan dengannya. Namun, karena Ferro juga kebelet pipis, pria berambut lurus rapi itu memilih untuk ke toilet. “Mas Ferro?” panggil seorang pria yang mengenakan seragam kemeja hitam lengan pendek dipadukan dengan celana panjang warna senada. Kehadiran pria bertubuh tinggi sekaligus tegap tersebut langsung ditanggapi dengan ekspresi tidak nyaman oleh Ferro. Ferro yang awalnya akan memasuki salah satu toilet pria yang pintunya terbuka, langsung terpejam pasrah sambil berkecak pinggang. “Pak Bondan, masa iya kencan saja harus diawasi?” keluh Ferro dengan suara lirih sekaligus frustrasi. “Kalian bilang calonku ini enggak perlu diragukan? Cantik luar dalem?” Pak Bondan selaku pria yang baru datang dan langsung menjadi lawan bicara Ferro, menunduk hormat dengan kedua tangan bergandengan di depan perut. “Mohon maaf, Mas. Namun, Tuan dan Nyonya mengutus saya. Mereka takut Mas Ferro kabur lagi seperti yang sudah-sudah.” Fero nyang menyimak langsung merengut sebal. “Aku yang awalnya kebelet pipis bahkan mules mau BAB, langsung mati rasa gara-gara hidupku cuma dicurigai sama kalian!” cibirnya. “Maaf, Mas, tapi ini perintah,” ucap Pak Bondan semakin membungkuk. “Dan ini benar-benar ujian buat saya. Hidup selalu diawasi bahkan jangan-jangan, malam pertama pun akan kalian awasi? Astaga ....” Ferro mendengkus sebal. Ia menoleh ke sebelah selaku keberadaan jejeran ruang toilet wanita. Dan yang lebih kebetulan lagi tak lama setelah itu, Diana juga keluar dari satu-satunya pintu toilet wanita yang tertutup di sana. Ferro refleks mengamati Diana dari ujung kaki hingga kepala. Dia enggak pakai heels. Dia pakai sepatu flat. Bisa aku pastiin, nih cewek bukan orang ribet. Ferro refleks tersenyum dan kembali melanjutkan pengamatannya. Dress selutut pakai sweter dan ... syukurlah, dia enggak sampai pamer dadda. Terus wajah pun aman. Riasannya enggak tebal apalagi bibirnya enggak sampai pakai gincu kiloan. Semuanya natural, aku suka. Eh, tapi mau ngapain dia ke wastafel? Oh cuci tangan? Eh cuci wajah, jangan-jangan dia mau dandan menor? Dugaan berikut kekhawatiran Ferro tentang Diana yang akan berdandan nyatanya salah. Sebab Diana hanya menyeka wajah mengenakan handuk kecil yang dikeluarkannya dari dalam tas. Sadar Diana akan pergi, Ferro menggepak asal salah satu kaki Pak Bondan kemudian memberi kode mata agar pria itu pergi. Dan meski tidak yakin, Pak Bondan benar-benar pergi, meski tak lama setelah itu, Pak Bondan dibuat syok karena Ferro yang tadinya sehat wal afiat bahkan sampai bisa marah-marah justru kejang-kejang. “Astaga, ini kenapa? Pak ... Pak, tolong panggilkan ambulans atau pihak restoran. Ya ampun, nih orang punya alergi apa gimana? Pak cepat, ya, saya takut sendiri. Takut ada apa-apa terus disalahin. ” Diana sudah langsung menolong Ferro. Memastikan detak nadi, jantung, dan napas Ferro yang sampai ia pijat asal kedua tangannya. Diam-diam, Ferro dan pak Bondan sudah saling berkode mata. Ferro hanya sedang mengetes kepedulian Diana yang nyatanya langsung peduli. Kini saja, Diana sampai membalurkan minyak angin ke tengkuk, ubun-ubun, d**a, kemudian perut Ferro. Sedangkan Pak Bondan yang pergi dan bersembunyi di balik tembok sebelah pintu masuk utama ruang toilet, menjadi senyum-senyum sendiri pada tingkah sang bos. Okelah. Seenggaknya kalau aku nikah sama nih cewek, aku bakalan keurus, batin Ferro yang berangsur tak lagi kejang-kejang. “Mas, Mas bisa dengar suara saya?” tanya Diana memastikan. Tangan kanannya masih memegang botol minyak angin. Ia tatap dengan saksama Ferro yang perlahan memijat kening menggunakan kedua tangan. Pria itu berangsur mengangguk. Diana mengembuskan napas panjang. “Syukurlah.” Ia refleks mengenpaskan tubuhnya ke belakang demi meredam rasa tegang yang sampai membuatnya gemetaran. Gila saja, baru mau pergi, langsung ketemu orang mendadak kejang. Syukurlah kalau dia enggak apa-apa. Takutnya sampai meninggal terus aku disalahin. Secara, hidupku kan selalu salah. Diana masih mengamati Ferro secara diam-diam. Di mata Diana, Ferro terbilang tampan, sedangkan jika dilihat dari tampangnya, sepertinya Ferro juga sudah bekerja. Hari ini, Ferro sengaja berpenampilan sederhana. Ia mengenakan kemeja panjang yang lusuh dan bagian lengannya disingsing asal sekaligus berantakan hingga siku. Termasuk celana dan sepatu, Ferro memakai yang benar-benar biasa bahkan jauh kalah rapi dari Pak Bondan yang baru datang. “Mas sudah merasa mendingan? Eh, aku ada minyak roll-on biasanya enak buat hilangan pusing sekalian buat terapi juga.” Diana mengeluarkan minyak roll-on yang dimaksud dari dalam tasnya, kemudian memberikannya ke Ferro. “Ini baru, Mas. Aman. Belum aku pakai.” Ferro menerima minyak roll-on pemberian Diana yang memang masih terbungkus. Ia mengeluarkan dompet dan bermaksud membayarnya. Di hadapannya, Diana yang sudah berdiri langsung membungkuk kepadanya. Ferro pikir, Diana akan menerima tiga lembar uang seratus ribu yang baru ia keluarkan dari dompet. Namun nyatanya, Diana hanya membantunya untuk berdiri. “Serius, Mas. Enggak usah dibayar. Saya bukan sales apalagi pedagang. Itu buat Mas, saya masih ada, kok.” Diana masih meyakinkan Ferro yang sudah berdiri setelah ia bantu. Diana pamit dan Ferro dapati kembali menunggu di meja tempat mereka janjian. Sambil mengamati dari balik tembok menuju ruang keberadaan pelanggann, Romi mengamati Diana dari sana. “Maju saja, Mas. Kelihatannya, Mas langsung cocok,” ujar Pak Bondan yang berdiri di tembok sebelah. Pak Bondan mendapati pipi Ferro yang langsung bersemu. Sepuluh menit. Aku akan menunggu sepuluh menit lagi, batin Diana yang sudah kembali duduk di tempat sebelumnya ia menunggu. “Kamu di sini?” tentu Ferro hanya pura-pura. Diana menengadah menatap Ferro. “Ah, iya, Mas.” “Sudah janjian, ya?” tanya Ferro dan langsung mendapat balasan anggukan dari Diana. “Iya, tapi enggak datang-datang. Atau mungkin memang enggak datang.” Nih cewek usianya berapa, sih? Kok kelihatannya lugu banget? pikir Ferro yang kemudian berkata, “Saya boleh duduk di sini, sebentar?” Diana yang kembali menatap Ferro sama sekali tidak curiga, pria berpenampilan sederhana yang bahkan kini sudah sampai duduk di hadapannya merupakan orang yang harus ia temui bahkan telah membuatnya menunggu. “Kalau dia enggak datang gimana?” tanya Ferro masih aktif mengamati Diana diam-diam. “Ya enggak apa-apa. Mungkin dia memang sibuk. Aku tunggu lima menit lagi.” Sambil menumpuk kedua tangannya di meja, Diana refleks menoleh ke belakang dan membuatnya menatap pintu masuk utama di restoran keberadaannya dan berupa pintu kaca tebal. Yang membuat Diana syok, tentu karena dari beberapa pengunjung yang datang, Romi dan Milla menjadi bagiannya. Romi membiarkan salah satu lengan tangannya didekap mesra oleh Milla bersama alunan senyum bahkan tawa kecil yang mengikat kebersamaan mereka. Seperti biasa, keduanya tampak sangat saling mencintai. Keduanya sangat bahagia. Kenapa mereka ke sini? Bukankah Milla harusnya juga masih bed rest? pikir Diana yang buru-buru mengambil buku menu dari hadapan Ferro dan menggunakannya untuk menutupi wajahnya. Diana sengaja membentangkan buku menu-nya demi lebih membuat wajah bahkan lehernya tertutup. “Pak Romi, kebetulan sekali!” ucap Ferro yang seketika beranjak dari duduknya. Diana yang masih menutupi wajahnya langsung syok karena orang yang ia hindari justru kenal dengan teman duduknya. Ya ampun, ini aku harus gimana? Bisa mati aku kalau Mas Romi tahu, batin Diana yang diam-diam merunduk dan kabur dari sana. “Iya, ini istri saya, Mila.” Romi mengelus perut Milla dengan mesra. Romi tersenyum bangga diikuti pula oleh Milla. Keduanya benar-benar pasangan serasi, hingga Ferro yang melihatnya merasa turut bahagia. Tidak dengan Diana yang melangkah tergesa sambil berlinang air mata hanya karena mendengarnya. “Ah iya, omong-omong, Anda sendiri?” tanya Romi. Ferro baru ingat, ada Diana bersamanya. Wanita sederhana yang langsung membuatnya jatuh cinta. “Ini, tadi ...?” Tak ada Diana maupun buku menu yang sempat Diana raih. Ferro kehilangan jejak Diana yang justru ia dapati sudah lari ke luar. Ferro tidak tahu kenapa Diana mendadak pergi. **** “Iya, ini istri saya, Mila.” Kata-kata Romi tersebut begitu menyakitkan untuk Diana. Termasuk kenyataan Milla yang nyatanya tampak sangat sehat dan bisa makan di luar dengan Romi, padahal saat di rumah saja, semua keperluan Milla harus Diana siapkan. Kok ada, ya, orang sekejam mereka? Diana mengullum bibirnya dan membiarkan air matanya berlinang. Perlahan, ia mendekap buku menu yang sampai detik ini masih ia bawa. “Aku pikir, aku salah lihat?” Suara barusan dan perlahan membuat langkah Diana berhenti seiring Diana yang juga menoleh ke sumber suara, Diana kenali sebagai Willy. Dan benar, meski tak sampai memakai seragam kerja, Willy benar ada di sebelah Diana menunggangi motor matik warna hitamnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN