“Apa yang sebenarnya Dita rencanakan? Dita merencanakan sesuatu dan dalam rencana itu, dia melibatkan kamu?” Romi yang bertutur lirih menyudutkan Diana di tembok sebelah kamar mandi. Lebih tepatnya, Diana baru keluar dari kamar mandi.
“Enggak tahu!” tukas Diana yang awalnya akan berlalu dari hadapan Romi. Namun, Romi justru mengungkungnya ke tembok yang akan Diana tinggalkan.
“Mas?!”
“Berikan ponselmu kepadaku.”
“Buat apa? Memangnya ada apa dengan ponselku?”
“Semalaman ini kamu kamu sibuk dengan ponselmu.”
“Lho, Mas sibuk sama ponsel Mas, aku juga enggak ikut campur, kan?”
Karena Romi terus mengungkung tubuh Diana, Diana memilih menunduk dan berusaha keluar dari ketiak kanan Romi. Akan tetapi, Romi kembali bisa menghentikan ulah Diana karena Romi justru menggunakan tangan kanannya untuk merengkuh sekaligus mengunci pinggang Diana.
Diana langsung merinding geli sekaligus tegang. Jantungnya sampai langsung berdetak sangat kencang. Apalagi ketika Romi sampai melepas handuk dari kepala Diana yang memang masih basah. Puncaknya, Romi sampai mengendus kepala berikut leher Diana dengan agresif dan itu justru membuat Diana takut.
“Oke!” tegas Diana yang segera mendorong tubuh Romi sekuat tenaga, tapi tidak mendapatkan hasil.
Romi tersenyum licik merayakan kemenangannya yang telah berhasil membuat Diana ketakutan.
“Kalau aku kasih ponselku, Mas mau menceraikan aku?” tanya Diana tegas.
“Enggak akan,” balas Romi santai sambil terus menatap kedua manik mata Diana.
“Kalau Mas tetap enggak mau menceraikan aku, berarti aku yang akan menceraikan Mas.”
“Namun itu enggak akan pernah terjadi.”
“Kita lihat saja nanti!” Diana mendengkus dan tak sudi menatap Romi lagi. “Ponselku ada di laci meja. Buat apa juga aku membawa ponsel ke kamar mandi.” Diana kembali memberontak, tapi kali ini, Romi juga masih menahannya.
Romi menuntun paksa Diana menuju meja yang dimaksud dan semalam Diana jadikan bagian dari tempat tidur. Karena seperti kenyataan awal, Diana sungguh tidur di kursi sedangkan Romi di tempat tidur.
Romi melirik Diana penuh arti dan Diana tahu, maksud Romi begitu karena Romi meminta Diana untuk mengambilkan ponsel Diana tanpa susah payah mencari. Diana segera menarik laci tempatnya menyimpan Ponsel dan langsung disambar oleh Romi.
“Kalau kamu terbukti selingkuh, aku akan melaporkanmu ke orang tuamu.”
“Kalau Mas bilang apa yang aku lakuin itu selingkuh, yang Mas lakuin apa?” Diana menatap sengit Romi dan langsung dibalas hal serupa oleh Romi.
Yang membuat Diana terkejut, Romi sampai membanting ponselnya, hingga layar gawai itu remuk.
Diana sadar, tatapan murka yang Romi lakukan kepadanya merupakan peringatan keras. “Kenapa hanya dibanting enggak sekalian dibuang?!” teriak Diana yang merasa tak habis pikir kepada Romi.
Diana segera memungut ponselnya kemudian membuka jendela di sebelahnya dan membuangnya sekuat tenaga dari sana. Sekali lagi, ketika Diana mencoba meninggalkan Romi, Romi kembali menahannya dan kali ini sampai menariknya dengan sangat kasar.
“Kalau Mas berani macam-macam, aku teriak, lho, Mas. Ini rumah orang tuaku. Dan sekejji-kejjinya orang tuaku, ada Mbak Dita yang bakalan siap bela aku!” tegas Diana dan sengaja mengancam.
Perlahan, Diana mendapat kebebasan dan buru-buru menjauh menjaga jarak dari Romi.
“Mas butuh aku, tapi Mas enggak pernah menghargai atau setidaknya bersikap baik ke aku!” tegas Diana yang kemudian buru-buru keluar meninggalkan Romi.
Romi segera menyusul, takut Diana melakukan hal yang tidak-tidak. Dan celaka, Diana sungguh masuk kamar Dita dan langsung disambut oleh Dita.
****
“Kamu kenapa, Di?” tanya Dita sambil menutup pintunya dan kemudian membenarkan rol rambut yang menumpuk di kepalanya.
Bukannya menjawab, Diana justru menjatuhkan diri ke lantai.
“Di, jangan bikin khawatir deh. Ini masih pagi. Masa iya kamu sama suamimu sudah bertengkar?” ucap Dita yang sampai jongkok demi menyelaraskan tingginya dengan Diana. Di hadapannya, Diana masih menangis.
“Di ... Sayang, kamu hanya salah paham.”
Dari luar, suara Romi terdengar mengiringi ketukan pintu luar. Dita refleks melirik ke pintu sebelum akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan Diana.
“Kalian beneran lagi bertengkar?” tanya Dita memastikan bersama suara Romi yang masih terdengar dari luar.
“Aku ingin cerai, Kak.” Diana menatap Dita dengan sungguh-sungguh.
Dita terkesiap menatap Diana.
“Aku serius, Kak.” Diana masih berusaha meyakinkan.
Dita mengangguk-angguk. “Ya sudah, nyamannya kamu gimana. Fatal banget, ya, enggak bisa diperbaiki atau semacamnya? Kalau gini caranya aku jadi tambah takut buat nikah apalagi yang lewat perjodohan. Jadi hari ini kamu bantu Kakak, ya. Temui dia. Kamu bilang aja kamu adikku. Nanti kamu nilai dia orangnya gimana? Namun kalau Kakak sih langsung no. Ya sudah ... sana kamu temui Romi dulu. Kalian bicara baik-baik dulu.”
Menemui Romi dan berurusan dengan pria itu lagi, membuat Diana refleks mendengkus malas.
“Sudah semangat. Kamu lakukan yang terbaik. Kalaupun kalian ingin bercerai, kalian juga melakukannya dengan baik-baik.” Dita tersenyum ceria dan sengaja menyemangati Diana sambil membenarkan rol-rol di kepalanya.
“Romi sudah menikah dan istrinya sedang hamil, Kak.”
Pengakuan serius Diana langsung membuat Dita syok. Dita yang refleks berseru dan awalnya akan berdiri, menjadi tak jadi dan justru sampai terduduk menatap tak percaya Diana.
“S-serius, Di?!”
“Sumpah, Mbak! Mereka menikah diam-diam tanpa restu orang tua karena hubungan mereka ditentang!”
****
Cerita Diana langsung Dita bawa ke sidang dadakan yang Dita ciptakan di depan orang tua mereka. Sayangnya, semua cerita Diana disangkal oleh Romi sekalipun Romi membenarkan Milla sekretarisnya sedang hamil besar.
“.... dan suami Milla sudah meninggal. Aku sudah jelasin ini berulang kali ke Diana, tapi Diana masih saja cemburu ke Milla.”
“Di, ... sumpah, ya. Aku cuma sayang sama kamu. Aku setia sama kamu meski kita ada karena perjodohan. Mengenai Milla, ... ayolah Di. Milla hanya sekretaris aku. Dan meski kamu merasa dia lebih cantik bahkan lebih segalanya dari kamu, aku enggak mungkin ke lain hati!”
Mendengar pembelaan Romi, Diana benar-benar dongkol. “Terserah Mas mau bilang apa. Yang jelas, setiap ucapan adalah doa sedangkan aku enggak mau disalahkan andai saja sesuatu yang fatal beneran terjadi gara-gara ucapan Mas!” tegas Diana yang berucap cepat sambil menatap marah Romi.
“Diana!” tegur Dewi sang mamah, geram. Tangan kanan Dewi sudah melayang di udara dan nyaris menampar Diana andai saja Romi tak buru-buru menahannya.
“Aku mohon, Mah. Jangan. Aku bisa beresin ini. Ini cuma salah paham, kok. Diana hanya terlalu cemburu, makanya aku sengaja kebut beresin pekerjaan biar dalam waktu dekat, aku bisa ajak Diana bulan madu.” Romi meyakinkan dan perlahan menurunkan tangan Dewi yang terlihat sangat emosi kepada Diana.
Suasana di sana telanjur keruh. Dita yang sadar dirinya harus segera bertindak, langsung merangkul Diana yang berdiri di sebelahnya dan memboyongnya ke kamar.
“Demi Tuhan, Kak, enggak bohong!” lirih Diana meyakinkan.
“Iya ... iya, Di.”
“Mbak enggak percaya sama aku?”
“Di ... Mbak percaya sama kamu ....”
Dita terus menuntun Diana menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai keberadaan Romi dan orang tua mereka, dengan lantai atas yang menjadi tempat kamar mereka berada.
Setelah sama-sama melepas kepergian Diana dan Dita, Dewi langsung meminta maaf kepada Romi diikuti juga oleh Taufik sang suami.
Kalau sudah begini, Diana pasti enggak bisa macam-macam lagi. Belum saatnya, Di. Belum saatnya kamu pergi sebelum aku bisa meresmikan hubunganku dan Milla. Aku butuh kamu untuk mendapatkan restu orang tuaku batin Romi.
Inikah takdirku? Tak ada satu pun yang percaya kepadaku dan dengan kata lain, aku akan menghabiskan waktuku untuk menjadi budakk dari orang kejji seperti Mas Romi! batin Diana yang memilih diam. Diana tak lagi membela diri lantaran Dita yang ia harapkan bisa menolongnya sudah termakan sandiwara Romi.
Bersambung .....