“Sekarang mawar merah, besok mawar putih,” ucap Willy sambil menatap Diana penuh cinta.
Mendengar itu, hati Diana langsung diselimuti rasa hangat. Rasa hangat yang refleks membuatnya tersenyum. Itu juga yang membuatnya menunduk demi menyembunyikannya. Diana tak mau Willy semakin berharap kepadanya, meski Diana juga tidak boleh langsung berubah apalagi menghilang dari Willy yang Diana takutkan akan tahu, hubungan mereka tak direstui. Iya, hubungan mereka tak direstui meski orang tua Willy memperlakukan Diana dengan baik.
“Memangnya kenapa? Kenapa harus diabsen begitu?” tanya Diana sesaat setelah berdeham dan memang sengaja basa-basi.
“Karena setahuku, mawar merah melambangkan cinta, sedangkan mawar putih melambangkan cinta sejati. Tentu biar cinta kita jadi cinta sejati, Mbak!” Seperti biasa, Willy kembali menghiasi wajah tak berdosanya dengan senyum tulus.
“Terus Mbak tahu enggak itu berapa jumlahnya? Itu ada sembilan puluh sembilan, Mbak. Jadi totalnya ada seratus sama kamu, dan ibarat nilai, itu jumlah yang sempurna. Seratusnya ada di kamu karena bagiku kamu sempurna, Mbak!”
Untuk pertama kalinya, Diana tidak marah meski Willy membahas cinta yang terbilang dalam sekaligus berlebihan. Diana mesem dan refleks menyayangkan keadaan kenapa mereka tak seumuran, atau setidaknya perbedaan di antara mereka tak mengharuskan Diana untuk jaga jarak dari Willy.
“Ya sudah. Ayo kita pulang takutnya kamu sudah ditungguin. Lagian, aku juga takut kamu kecapean, Mbak.” Willy menggandeng salah satu tangan Diana yang seharian ini kerap bersin meski ia sudah memberinya obat. Padahal, hingga detik ini Diana masih mengenakan jaketnya. Namun sepertinya obat yang Willy berikan tidak bekerja dengan baik.
“Kita cek ke dokter, yah, Mbak. Takutnya flu kamu jadi parah.”
“Enggak perlu, Wil. Biasanya kalau gini aku cukup istirahat juga jadi mendingan, kok. Habis ini aku mau langsung tidur.”
“Oh gitu, tapi kalau malam masih belum ada perubahan, kamu WA aja, nanti aku cari obat lain.”
Mereka meninggalkan toko bunga yang terbilang besar dan ada di tepi jalan raya. Motor Willy terparkir di tepi jalan persis di depan toko, di antara pengendara jalan yang memadati jalan sekitar.
Kalau bisa, aku ingin terlahir lebih muda dari kamu. Aku ingin menjadi wanita yang benar-benar bisa menjadi bagian dari kamu. Karena aku yakin, menjadi bagian dari kamu merupakan keberuntungan. Namun, belum tentu juga kamu akan begini kalau aku terlahir lebih muda dari kamu. Diana mesem dan merasa geli sendiri hanya karena rasa ingin hidup bersama Willy, mulai tumbuh. Ia menghirup dalam buket mawar merah yang harus ia dekap hati-hati dan menempel di dadanya.
Mereka bersiap pulang dan Willy tengah memasang helm Diana sebelum memakai helm untuknya sendiri. Menaiki motor yang sama, motor matik warna hitam dan sempat membuat Diana yakin Willy seorang ojol, mereka membelah keramaian jalan di tengah terik mentari yang berangsur turun.
Sudah pukul tiga sore ketika Diana memastikan waktu di tangan kanannya yang dengan kata lain, hampir empat jam lamanya Diana berada di rumah orang tua Willy yang malam ini akan menjalani penerbangan ke luar negeri.
***
“Sana pulang,” lirih Diana karena Willy tetap terjaga di depan gerbang rumah orang tua Diana, meski Willy sudah menyalakan mesin motornya.
Willy tetap diam dan justru menyuruh Diana untuk masuk. “Aku akan pergi kalau Mbak sudah masuk.” Tahu enggak sih, Mbak? Aku tuh takut banget kalau Mbak pulang. Aku takut suami Mbak kembali melukai Mbak. Bahkan aku yakin, demam sama flu Mbak juga gara-gara suami Mbak.
“Dah ....” Diana sengaja berseru dan langsung dibalas lambaian tangan oleh Willy. Enggak kebayang kalau Mas Romi sebaik kamu, pasti tubuhku jadi segede gajah.
Semoga habis ini mamah sama papah langsung mau bantu aku buat lepasin kamu, batin Willy. Tapi kalau papah mamah enggak bisa gercep, enggak ada pilihan lain selain minta bantuan Om buat langsung lamarin kamu. Enggak apa-apa aku jadi suami ke dua. Iya, enggak apa-apa. Sekarang aku fokus kuliah, terus kerja, terus nikah.
“Obatnya jangan lupa diminum!” seru Willy tepat ketika di depan sana, Diana akan menutup pintu. Wanita berwajah sendu itu langsung menatapnya. Dan Willy terus menatapnya dengan harapan Diana akan memberinya senyuman. Ya, kali ini dewa keberuntungan tengah berpihak kepada Willy sebab tak biasanya, Diana memberinya senyum tulus.
****
Kepulangan Diana langsung disambut dengan tatapan berbeda oleh Dewi sang mamah. Tak semata buket yang Diana bawa, tetapi juga kenyataan Diana yang mengenakan jaket hitam kedodoran dan Dewi yakin bukan ukuran Romi. Tubuh Romi tinggi dan tegap. Romi memiliki bahu lebar, sedangkan jaket yang Diana pakai hanya dua kali lipat dari ukuran tubuh Diana yang terbilang mungil. Bisa Dewi pastikan, jaket yang Diana pakai tidak muat oleh Romi.
“M-mah?” sapa Diana gugup. Jantungnya menjadi berdetak lebih cepat. Diana takut Dewi melihat kebersamaan dirinya dengan Willy di luar tadi.
Dewi menatap aneh Diana yang justru terkesan takut kepadanya. Diana sampai tidak berani menatapnya. “Bunganya bagus banget! Enggak sangka ternyata Romi romantis banget ke kamu. Seumur-umur, papah saja enggak pernah gitu ke mamah.”
Diana sengaja berdeham demi meredam ketegangannya. “Bukan dari Romi, kok, Mah.”
“Lho, kalau bukan dari Romi, terus dari siapa?” Balasan Diana langsung membuat firasat Dewi menjadi tidak enak.
Tak beda dengan Dewi, Diana juga menyesali jawabannya yang telanjur jujur. Diana segera mencari alasan agar Dewi tak curiga apalagi di mata keluarganya, Romi sangat istimewa. Diana-lah pencemburu sekaligus tidak tahu diri dan tak jua mau mengimbangi Romi.
“T-tadi pas mau pulang aku beli bunga ini sendiri, Mah.”
“Oh, kamu beli sendiri?” Dewi mengangguk-angguk, tapi sebenarnya balasan Diana belum menbuatnya merasa yakin apalagi tenang. Dewi merasa ada yang sengaja Diana sembunyikan. Mengenai buket tersebut, juga jaket yang Diana pakai dan parahnya baru Dewi ketahui, jaket tersebut beraroma beda dengan aroma parfum Romi.
“Iya, Mah. Lagi pengin bunga jadi tadi sekalian mampir beli. Ya sudah, Mah. Aku istirahat dulu.”
“Kamu sakit? Wajahmu pucat gitu?” tanya Dewi yang menjadi mencemaskan Diana.
Diana akui, mamahnya tidak sehangat mamahnya Willy. Benar-benar jauh, selain mereka yang memang jarang mengobrol. Hanya di saat-saat tertentu saja mereka akan terlibat dalam obrolan. Itulah kenapa Diana iri dengan Willy yang benar-benar mempunyai semuanya. Semua yang benar-benar tidak Diana miliki bahkan sekadar perhatian dari orang tua.
“Oh, iya, Di. Malam ini kalian masih nginep di sini? Romi bilang, lusa kalian bulan madu? Kamu enggak mau siap-siap packing dulu? Kamu harus melakukannya karena suami kamu sibuk banget.”
Menginap dua hari di rumah orang tua Diana memang telah membuat Romi menjadi sosok menantu sempurna di mata orang tua Diana. Luar biasa! batin Diana merasa sangat muak dengan Romi. Diana sangat berharap, malam ini tidak terjadi hal fatal lagi. Semoga Romi tak kembali memmaksanya untuk mellayani Rommi meski mereka memang suami istri.
****
Makin lama, kepala Diana terasa makin berat, benar-benar pusing. Namun, Diana yang telah mengenakan piama panjang lengkap dengan jaket hitam milik Willy masih betah mamandangi buket mawar merahnya.
Buket mawar tersebut sudah Diana taruh di vas dan ia beri air agar lebih awet segar. Diana meletakan vasnya di nakas sebelah tempat tidur biasanya ia tidur.
“Coba kita lihat, besok beneran ada mawar putih enggak?” Diana refleks tersenyum geli. “Dasar bocah ....” Diana mengerjap-ngerjapkan matanya bersama rasa pusing yang tak lagi bisa ia tahan. Kedua tangannya sampai menjambbak kedua sisi kepalanya. “Kok pusingnya tambah parah, ya?”
Diana berangsur duduk di tepi tempat tidur biasanya ia tidur kemudian berbaring dan menutup tuntas tubuhnya menggunakan selimut. Dalam hitungan menit, kedua mata Diana mulai sulit dibuka akibat rasa sakit yang makin kuat di kepalanya selain tubuh Diana yang memang masih mriyang.
Tak lama kemudian, pintu kamar Diana dibuka dari luar dan itu Romi. Romi yang sudah menyingsing kedua lengan kemeja warna merah hati yang menyempurnakan penampilannya, datang berhias nampan yang menampung semangkuk bubur berikut segelas air putih.
Beneran, si Diana sakit. Baguslah, begini lebih baik, batin Romi yang langsung berhenti di depan meja sebelah pintu.
Romi meletakan nampannya di meja tersebut kemudian melepas tas kerjanya. Romi mengeluarkan sebuah botol obat berukuran kecil dan mengeluarkan sebuah kapsul yang isinya langsung ia tuang ke minuman di gelas. Tak lupa, ia juga mengguncang-guncang gelas tersebut agar obat yang ia tuang lebih cepat larut.
Seulas senyum merekah dan menghiasi wajah Romi. Setelah sampai menoleh dan menatap wajah Diana, Romi segera meraih dan membawa nampannya ke Diana. Romi duduk di sebelah wajah Diana dan terpaksa memangku nampannya lantaran vas berisi buket mawar merah membuatnya tak bisa menaruh nampan di sana.
Perasaan tadi pagi enggak ada bunga ini deh. Siapa yang kasih? Enggak mungkin juga Diana beli sendiri, enggak ada kerjaan banget. Namun, siapa yang kasih? Pasti ada! Diana, dia punya kekasih? pikir Romi
“Aku belum tidur, Mas. Namun tolong, malam ini saja, khusus malam ini aku mohon, Mas jangan bikin gara-gara,” ucap Diana di tengah kedua matanya yang masih terpejam erat sedangkan kedua tangan juga sibuk memijat pelipis.
“Jangan bikin aku tambah capek, Dih. Mamah bilang kamu sakit?”
“Yang Mas lihat gimana? Memangnya aku lagi senam?”
“Aku sudah berusaha jaga sikap, ya. Cepat habisin ini sebelum mamah datang. Ada bubur, mamah bikinin ini khusus buat kamu katanya.”
“Taruh saja, nanti aku makan.” Diana berusaha memunggungi Romi.
“Masalahnya aku harus langsung setorin mangkuk sama gelasnya. Mamah nunggu.”
“Ya ampun, Mas. Orang lagi sakit mana enak makan!”
“Ya sudah, kamu minum air minumnya, aku yang makan buburnya, daripada ribet. Aku ngantuk, aku mau langsung tidur.”
“Kenapa enggak Mas saja yang sekalian minum?”
Balasan Diana yang masih sewot langsung membuat Romi terkesiap. Setelah apa yang Romi taruh di minuman Diana, mana mungkin pria itu meminumnya untuk dirinya sendiri.
Masalahnya di minuman itu ada obat perangsang dan aku siapin khusus buat kamu, mana mungkin aku meminumnya! batin Romi. “Aku hitung mundur dari lima. Mamah bilang kamu harus banyak minum biar enggak dehidrasi. Lima, ... empat ....”
Sembari terus menghitung mundur, Romi juga tak hentinya melirik Diana yang akhirnya mengulurkan salah satu tangan tepat di hitungan terakhir. Romi tersenyum puas dan tak segan membantu Diana sesaat setelah meletakan asal nampannya di lantai.
“Tumben baik?” lirih Diana sambil menatap curiga Romi yang sampai membantunya bangun kemudian merangkul sekaligus menahan punggung Diana.
Romi langsung memalingkan wajah bersama ekspresi tak nyaman yang refleks menyelimuti wajahnya.
“Ini enggak ada racunnya, kan?” tanya Diana masih dengan suara yang sangat lemah.
Romi langsung menatap tajam Diana dan mengambil alih gelas yang masih berisi penuh. Seperti dugaan Romi, Diana menolaknya dan langsung menuntaskan air minumnya.
Romi menunduk dan tersenyum bahagia. Akhirnya ....
Bersambung ....