..**..
Satu harian Aishe mengikuti kegiatan bersama dengan Mehra dan yang lainnya. Mehra sudah mengingatkannya untuk tidak membantu mereka, tapi Aishe terlihat segan dan akhirnya ikut mengerjakan tugas mereka.
Karan, Kepala Pelayan mansion memperingatkannya secara halus. Karena dia tidak mau Tuan Besar mereka melihat Aishe tengah melakukan pekerjaan para maid.
Dia tahu kalau Aishe bingung mau mengerjakan apa. Dan akhirnya dia memberi tugas Aishe untuk merapikan lemari pakaian Tuan Besar mereka, Enardo.
Aishe sendiri bingung sebab dirinya tidak memiliki pekerjaan apapun di mansion ini. Apalagi dia belum mengenal jauh mansion ini.
…
1 minggu kemudian.,
Para penghuni mansion sudah terbiasa dengan sikap Tuan Besar mereka yang jarang pulang ke mansion. Tapi tidak buat Aishe yang bingung dan baru bekerja disana.
Bahkan dia hampir setiap hari bertanya pada Karan dan Mehra dimana keberadaan Tuan Besar mereka. Dimana tidurnya, bagaimana makannya, siapa yang menyiapkan pakaiannya.
Oh sungguh, Aishe merasa tidak bertanggung jawab atas pekerjaan yang dibebankan untuknya selama dia mulai bekerja di mansion. Dia juga tidak tahu kenapa bisa sampai khawatir seperti itu. Padahal dia belum tahu sepenuhnya sifat Enardo.
Awalnya, Mehra merasa risih sebab Aishe selalu bertanya detail mengenai Tuan Besar mereka. Dia juga mengeluh pada Karan atas sikap Aishe yang membuatnya tidak habis pikir.
---**---
Beberapa hari kemudian.,
Mansion Mr. Palguna, New York, USA.,
Dapur.,
Siang hari.,
Dapur yang sangat mewah. Nuansanya begitu megah dengan berbagai perabotan mahal yang serba dilapisi dengan butiran-butiran kristal putih.
Setiap pekerja wajib melakukan pekerjaannya dengan benar. Agar mansion tetap terawat dan terjaga kebersihannya.
Mehra masih berwajah kusam. Dia mendekati Karan yang tengah duduk di kursi meja makan, sedang mencatat keperluan dapur. Dia membuka suaranya.
“Pak Karan …” Gumamnya memanggil Kepala Pelayan yang dihormati di mansion ini.
Sreekkk…
Dia menarik kursi tepat disampingnya. Dan menjatuhkan bokongnya disana.
“Pak … sungguh aku lelah sekali.” Gumamnya pelan lalu melipat kedua tangannya, dan menjatuhkan kepalanya disana. Wajahnya melirik Karan yang terlihat serius dengan pekerjaannya.
Karan meliriknya sekilas. Senyuman tipis terukir di wajah pria berusia 68 tahun itu. Sembari memainkan kembali jemari kanannya di buku miliknya, dia membuka suaranya.
“Setiap hari pasti lelah, Mehra …”
“Tugasmu sudah selesai ?” Tanya Karan tanpa melihatnya.
Mehra menganggukkan kepalanya.
“Sudah, Pak … dan tadi Aishe kembali membantu kami …” Dia mengadu kembali pada Karan.
Karan tersenyum tipis dan melirik Mehra sekilas. Dia tidak membalasnya, dan hanya mendengarkan segala keluhan Mehra seperti biasa.
“Tapi, lagi-lagi dia bertanya soal Tuan Enardo. Aku bingung menjawab semua pertanyaannya. Dia seperti …” Dia menghentikan kalimatnya dengan kening berkernyit.
Kepala tegak kembali. Dia menghela panjang nafasnya.
Karan meliriknya, dan melambatkan gerakan jemarinya disana.
“Seperti apa, Mehra ?” Tanya Karan yang sedikit paham dengan maksud wanita berambut sedikit pirang itu.
Mehra menatap Karan dengan wajah lelahnya.
“Apa Bapak yakin kalau dia benar-benar menganggap dirinya seorang pelayan di mansion ini ?” Tanya Mehra.
Karan mengernyitkan keningnya. Pertanyaan Mehra begitu ambigu baginya.
“Maksud kamu ?” Tanya Karan lagi.
Mehra mengendikkan kedua bahunya ke atas.
“Tuan Enardo sepertinya benar-benar menganggap istimewa dirinya … sampai dia diperbolehkan untuk keluar masuk kamar Tuan Enardo dengan sesuka hati.” Ucapnya dengan nada lemah.
Karan tersenyum tipis dan kembali melanjutkan kegiatannya. Namun dia kembali membuka suaranya.
“Mungkin saja … tapi itu memang sudah tugas Aishe, Mehra …” Ucap Karan meliriknya sekilas.
Mehra kembari menyahut.
“Tapi dia sangat detail sekali untuk tahu Tuan Enardo semuanya, Pak …” Mehra mencoba mengeluarkan isi hatinya.
Karan kembali tersenyum tipis.
“Aku pikir Aishe berhak. Karena dia memang harus memperhatikan Tuan Enardo. Tidak hanya melayani segala kebutuhannya, tapi juga segala hal yang berhubungan dengan Tuan Enardo …”
“Apa yang Tuan Enardo suka dan tidak suka …”
“Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan Tuan Enardo …”
“Tata letak barang-barang penting Tuan Enardo …”
“Aishe harus tahu itu semua …” Jelas Karan mencoba membuat Mehra mengerti. Dia melirik wanita itu sekilas.
Sedangkan Mehra, dia hanya diam. Dia juga paham dan mengerti tugas Aishe. Tapi haruskah Aishe tahu segala hal mengenai Tuan Enardo, pikirnya.
Mereka yang sudah bekerja selama bertahun-tahun saja tidak berani untuk mencari tahu mengenai pekerjaan atau hal-hal pribadi yang berhubungan dengan Tuan Besar mereka, Enardo. Karena itu sama saja membuat diri mereka berada dalam keadaan tidak aman, dan mereka tahu resiko itu.
Salah satu pelayan membuka suaranya.
“Aduh aku lapar sekali.” Ucapnya sembari membuka lemari makan yang dikhususkan untuk para maid.
Karan yang mendengar itu, dia melihat beberapa maid yang sudah berjalan ke arah dapur.
“Oh iya, aku lupa … sudah jam makan siang. Ayo kita makan siang bersama.” Karan menutup pena dan buku catatan pribadinya.
Mehra menghela panjang nafasnya. Dia sama sekali tidak berniat untuk makan siang saat ini.
Karan melihatnya.
“Mehra, bisa kamu panggilkan Aishe ? Ajak dia makan bersama dengan kita …”
“Tapi kalau dia tidak mau … coba tawarkan padanya, dia mau menu makan siang yang bagaimana. Dia mau makan siang bersama dengan kita atau di kamarnya …” Karan memberi perintah untuk Mehra.
Lagi-lagi Mehra harus menghela panjang nafasnya.
“Baik, Pak. Saya akan ke kamarnya sekarang.” Jawab Mehra bernada malas.
Dia langsung beranjak dari duduknya. Dan langsung berjalan meninggalkan dapur.
Beberapa bodyguard dan pelayan sudah berjalan menuju dapur untuk menikmati makan siang mereka yang mulai disediakan di meja makan khusus para pekerja. Sebab dapur di mansion ini dibadi menjadi dua. Yang satu khusus Tuan Besar mereka, dan dapur satu lagi khusus mereka yang bekerja di mansion ini.
Namun berbeda dengan Karan yang masih menatap punggung Mehra berjalan menuju ruangan depan. Dia sedikit menggelengkan pelan kepalanya, dan kembali membantu yang lain untuk menata meja makan.
…
Seseorang yang berada di batas dinding dapur para pekerja, dia menghela panjang nafasnya. Dia berbalik badan, menghadap dinding kokoh berwarna putih.
Sedari tadi, bibirnya hanya diam saja. Kedua matanya berkedip lemah. Entahlah harapan apa yang bisa dia jadikan sebagai penyemangatnya.
Tapi semua ini memang harus dia jalani, pikirnya. Dia segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya melalui ruangan khusus penghubung kamar pribadi Tuan Besarnya, Enardo Ottar Palguna.
---**---
Royal Lamond Corporation, New York, USA.,
Ruangan kerja.,
Malam hari.,
Punggungnya masih bersandar nyaman di kursi kebesarannya. Penampilannya sudah sangat berantakan. Kemejanya sudah tidak rapi lagi, bahkan sudah keluar dari celah celana panjangnya.
Lengan kemeja hitamnya sudah digulung sampai batas siku. Tiga kacing teratas kemejanya sudah terbuka.
Rambutnya yang tidak rapi menggambarkan dirinya sangat stress malam ini. Segala tumpukan berkas di hadapannya masih terbuka sempurna.
Tangan kanannya masih memegang gelas kristal bertangkai panjang, berisi cairan dari salah satu koleksi anggur miliknya. Sesekali dia meneguknya, berpikir keras memikirkan rencana-rencana matang untuk semua bisnisnya.
Perusahaan miliknya bukan perusahaan dengan pananaman saham yang sederhana. Selain itu, namanya sebagai seorang Mafia juga ikut mengangkat perusahaaan keluarga yang dia tangani selama beberapa tahun terakhir.
Kesuksesan dirinya menjadikan perusahaan yang berawal dari keberhasilan di bidang property, kini beralih menjadi perusahaan yang bergerak di bidang penanaman saham. Tidak sedikit yang menjadikan dirinya sebagai mitra bisnis, karena dia tahu banyak pengusaha yang membutuhkan bantuannya dalam kepemilikan sebidang tanah.
“Tuan Enar ?” Tanya pria itu, Jack. Dia berusaha menyadarkan Tuannya dari lamunannya sedari tadi.
Mata elang itu langsung meliriknya. Dan kembali menyesap anggur miliknya. Tanpa bicara, dia menegakkan tubuhnya. Meletakkan kembali gelas kristal bertangkai panjang itu. Dan kembali berfokus pada kegiatannya sejak beberapa jam lalu.
Jack, dia hanya bisa menghela panjang nafasnya saja. Dia tidak bisa menebak jalan pikiran Tuannya yang sering membuatnya kewalahan secara mendadak.
“Ada hal lain yang akan dilakukan mengenai peraturan baru dengan Tuan Dyrta, Tuan ?” Tanyanya lagi menyinggung bisnis pribadi Tuannya.
Enardo masih diam, dan tidak berniat menjawabnya. Dia masih terus melihat dokumen di hadapannya dengan pikiran tidak fokus.
Namun selang beberapa menit, dia kembali membuka suaranya.
“Bagaimana kabar anak-anak ?” Tanya Enardo mengalihkan pembicaraan mereka. Juga mengingatkan sekretaris pribadinya akan masalah yang menguras energinya beberapa hari yang lalu.
Jack sedikit mengulas senyuman di wajahnya. Dia segera membuka Ipad miliknya, dan mengotak-atiknya.
“Mereka sangat bahagia, Tuan …”
“Dan mereka semua ingin bertemu dengan Anda.” Ucapnya seraya memberitahu. Dan menyodorkan benda pipih itu ke arah Enardo.
Salah satu sudut bibirnya terangkat. Dia mengambil itu, dan melihatnya dengan jelas.
“Jika sempat, aku akan mengunjungi mereka.” Balasnya, dan masih melanjutkan kalimatnya.
“Jangan biarkan mereka kekurangan apapun … lengkapi kebutuhan mereka.” Ucapnya lagi dan diangguki iya oleh Jack.
“Iya, Tuan …”
“Dan semua sudah beres.” Jack meyakinkan Tuannya.
Enardo mengangguk pelan.
“Bagus. Jangan sampai terlewatkan 1 pun kuasa hukum untuk mereka.” Enardo kembali mengingatkannya.
“Baik, Tuan.” Jack menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Tuan, Nona Aishe …” Ucapnya hendak bertanya, namun Enardo segera menepis pertanyaannya.
“Bagaimana hasil keputusan Grandpa ?”
“Apa dia akan memberikannya ?”
“Atau ada hal lain, yang belum kau sampaikan padaku ?” Tanya Enardo yang masih sibuk melihat banyaknya foto yang ada di layar Ipad milik Jack.
Jack menganggukkan kepalanya. Dia paham pertanyaan dari Tuannya.
“Nyonya Enaly sempat marah-marah karena Anda tidak hadir dalam rapat itu …”
“Dan beberapa anggota Miwal Palguna juga tidak berani membantah ucapan Tuan Ardocio …”
Enardo melirik Jack. Gerakan kedua tangannya melambat disana. Dia memperhatikan Jack, meminta penjelasan lebih detail lagi.
Jack langsung mengambil dokumen penting terkait cabang-cabang perusahaaan Royal Lamond. Menyodorkannya kepada Enardo.
Enardo mengganti fokusnya.
“Tuan Miwal Palguna meminta haknya atas cabang Royal Lamond Corporation. Tapi mereka tidak meminta cabang yang mana, yang ingin mereka ambil …”
Enardo masih membolak-balik dokumen yang diberikan Jack padanya.
“Lalu ?” Dia merespon cepat.
Jack masih melanjutkan kalimatnya.
“Mereka menunggu keputusan Anda, Tuan …”
“Permintaan mereka hanya menginginkan salah satu cabang Royal Lamond Corporation. Untuk cabang yang mana, mereka menginginkan cabang yang terletak di Asia.” Jelas Jack dan membuat Enardo sedikit melambatkan gerakan kedua tangannya.
Enardo menghela panjang nafasnya. Dia menutup kasar dokumen itu, dan meletakkannya kembali diatas meja kerjanya. Dia memijit keningnya.
“Mereka ingin salah satu. Tapi aku yang memulai semuanya dari awal ?”
“Kau pikir ini hal yang seimbang ?” Gumamnya pelan. Kedua matanya masih terpejam.
Jack hanya bisa diam mendengar semua kalimat Tuannya. Karena dia tahu, untuk membuat keadaan perusahaan serta cabang-cabangnya sampai di titik sekarang, tidaklah mudah, Dia tahu bagaimana perjalanan Royal Lamond Corporation sejak berada di tangan Tuannya.
“Mungkin Anda bisa memberi salah satunya sebagai pengganti perusahaan Royal Lamond utama, Tuan …”
“Anggap saja semuanya impas. Karena semua property ada di tangan Anda.” Jack mencoba memberikan sarannya.
Seketika Enardo teringat sang Mommy, Enaly. Dia mendongakkan wajahnya, menatap Jack.
“Kau tahu kenapa Nyonya Besar itu marah-marah ? Apa benar hanya karena aku yang tidak hadir di acara rapat mereka ?” Tanya Enardo lagi.
Jack, dia pikir memang harus berkata jujur sekarang.
“Beberapa hal, Tuan …”
“Tuan Abercio mencoba untuk menjodohkan Anda dengan cucu mitra bisnisnya …”
“Tapi Tuan Ardocio menolak itu, karena Beliau yakin jika Anda pasti menolaknya …”
Enardo menyeringai, menggelengkan pelan kepalanya.
“Dan terakhir, sepertinya Nyonya Enaly sangat marah karena dia pikir Anda tidak mau memperjuangkan warisan yang seharusnya memang jatuh di tangan Anda sepenuhnya …”
“Sebelumnya, perusahaan berada di kondisi yang sangat kacau. Tapi tidak satu pun dari mereka yang memperhatikan kondisi perusahaan utama.” Jelas Jack.
Dia diam sesaat. Memikirkan sesuatu yang memang harus segera dia putuskan. Karena dia tahu, mereka semua tidak berani mengambil salah satu cabang tanpa persetujuan darinya.
Tanpa bicara, dia beranjak dari duduknya. Mengambil jas hitam miliknya yang tergantung di kursi kebesarannya, dia memakainya sembarang. Dia mengambil ponselnya, dan memasukkan ke dalam saku bagian dalam jas hitam pekatnya.
“Kita ke LA malam ini. Bawa semua yang dibutuhkan.” Enardo langsung berjalan menuju lift yang ada disana.
Jack menganggukkan kepalanya.
“Baik, Tuan.” Jawabnya.
Dia langsung menghubungi seseorang.
“…”
“Siapkan Helikopter. Kita ke Los Angeles sekarang …”
“…”
Tutt… Tutt… Tutt…
Dia langsung membereskan segala berkas-berkas yang dibutuhkan. Dan langsung menyusul Tuannya yang pasti sudah sampai di rooftop.
---**---
1 hari kemudian.,
Mansion Mr. Ottar Palguna, Los Angeles, California
Ruangan keluarga.,
Sore hari.,
Wanita itu masih terus membuka suaranya, mengeluhkan hal yang setiap hari selalu dia pikirkan.
“Sayang! Bagaimana mungkin putra yang aku lahirkan dari rahimku bisa sekejam ini terhadap Ibunya sendiri!” Ucapnya dengan wajah tidak terima.
Ardocio sudah memijit keningnya. Dia sendiri tidak tahan dengan omelan sang istri yang setiap hari selalu membahas putra semata wayang mereka. Dia berusaha untuk fokus terhadap dokumen yang dia pegang saat ini, dan tidak menghiraukan sang istri.
Sedangkan Abercio, dia hanya diam saja. Sembari memegang tongkat berbahan emas kuning, kedua matanya masih santai melihat berita televisi yang ada di hadapan mereka.
Yah! Enaly masih kesal mengenai kejadian beberapa hari yang lalu. Belum lagi kekesalannya tumbang karena putranya yang menipiskan jarak diantara mereka. Lagi-lagi putranya tidak hadir di acara rapat besar keluarga mereka.
Dia mendekati sang Ayah mertua.
“Ayah ?”
“Bujuk cucu kesayanganmu itu agar mau menjenguk Ibunya yang masih hidup!”
“Aku merasa tidak pernah memiliki putra kalau begini terus menerus!” Ucapnya kesal, dia duduk di samping Ayah mertuanya, Abercio Ottar Palguna.
Abercio hanya tersenyum geli melihat menantunya yang selalu mengkhawatirkan cucunya, Enardo.
“Sudahlah, Enaly … cucuku bisa menjaga diri. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, dia bukan anak kecil lagi.” Dia menjawab seperti biasa.
Enaly bosan mendengar jawaban Ayah mertuanya yang selalu sama.
“Bukan masalah itu, Ayah! Aku juga ingin seperti Ibu lain yang selalu melihat putranya pergi dan pulang ke mansion!” Ketusnya lagi.
Abercio melirik menantunya sekilas.
“Lalu bagaimana, Sayang ?”
“Kau tahu dia berada di New York, bukan di California.” Jawabnya membuat menantunya mengerti.
Enaly mendengus kesal.
“Kenapa kalian mengizinkan dia memindahkan perusahaan utama ke New York dulu ?”
“Aku jadi tidak leluasa bertemu dengan putraku!” Ketusnya.
Ardocio langsung membalas kalimat sang istri.
“Kita ke New York saja, dia juga tidak mengizinkan kita berkunjung ke mansionnya.” Balas Ardocio.
Enaly menatap tajam suaminya yang tengah duduk di kursi meja kerja yang ada disana.
“Dan dia jadi begitu karena didikanmu, Ardo!” Ketusnya.
Ardocio menghela panjang nafasnya.
“Dan Ayah juga masih mau menjodohkannya lagi, setelah sikapnya terhadap kita selama bertahun-tahun seperti ini ?” Enaly memicingkan kedua matanya, ke arah Ayah mertuanya.
Tidak lama mereka saling berseteru, suara bariton seseorang terdengar jelas di telinga mereka.
Dapp! Dapp!
Dapp! Dapp!
“Mom.” Sapa seseorang yang berjalan ke arah mereka. Pria itu hanya memakai celana sebatas lutut, berwarna biru dongker. Kaus putih menutupi tubuh seksi berototnya.
Mereka bertiga segera menoleh ke sumber suara.
Seketika Enaly langsung membuang wajahnya ke arah Ayah mertuanya.
Dengan senyuman tipis yang hampir tak terlihat, dia hanya diam saja mendekati Abercio dan Enaly.
Ardocio, dia membuka suaranya.
“Akhirnya kau mengingat asal duniamu, Tuan Palguna.” Ucapnya menyeringai, melirik sang putra sekilas.
Enardo, tidak sedikit pun dia merespon kalimat sang Daddy.
“Aku pulang untukmu, Mom.” Sapanya duduk tepat di sisi kiri sang Mommy. Mengecup puncak kepalanya.
Tanpa melihat cucu semata wayangnya, dia membuka suaranya.
“Apa Grandpamu sudah mati ?” Tanyanya seraya menyindir sang cucu.
Enardo hanya diam dan tidak mau merespon banyak. Dia memilih untuk terus memandangi wajah sang Mommy yang masih tidak mau menatapnya.
“Mom ?”
“Aku sudah disini. Maaf waktu lalu tidak hadir …” Ucapnya hendak meneruskan kalimatnya.
Enaly menyela kalimat sang putra.
“Karena aku sibuk ?” Sindir Enaly menatap sang putra, memicingkan kedua matanya.
Enardo langung memeluknya.
“Ayolah, Mom … aku datang bukan untuk mendengar omelanmu, Mom.” Balasnya jujur.
Abercio dan Ardocio mengulum senyuman mereka. Mereka tahu kalau Enardo memang tidak pandai berkata halus.
Enaly mendengus kesal.
“Lalu ? Apa kau berniat mau mengenalkanku dengan wanitamu ?” Tanya Enaly asal bicara.
Enardo langsung mengendurkan pelukannya. Dan mengambil kedua tangan sang Mommy, dia mengecupnya lembut.
“Jangan membahas hal yang tidak aku suka, Mom …” Gumamnya pelan.
Enaly menatap kesal putranya.
“Kau selalu membuat Mommy kesal, Enar! Kalau kau marah, jangan padaku! Mereka berdua, bukan Mommy!” Ketusnya seraya menyindir Ayah mertua dan suaminya yang sudah membuat pribadi putranya berubah 360 derajat.
Dia menghela panjang nafasnya.
“Okay. Katakan, aku harus minta maaf dengan cara apa ?”
“Aku berjanji akan sering mengunjungi kalian.” Ucapnya seraya memberi janji pada sang Mommy.
Enaly menaikkan satu alisnya ke atas.
“Kau yakin bisa memenuhinya ?” Tanya Enaly meyakinkan sang putra.
Enardo mengendikkan kedua bahunya ke atas.
“Mungkin saja. Selagi itu bisa aku terima.” Balasnya lagi.
Enaly senyum dan melihat ke arah kanan, melihat Ayah mertuanya.
“Baiklah.” Dia kembali menatap sang putra.
“Mommy ingin kau berkenalan dengan wanita pilihan Mommy. Dia tidak hanya cantik, namun juga berhati lembut.” Ucapnya dan seketika membuat raut wajah Enardo datar kembali.
Ardocio melirik mereka yang berada tidak jauh dari duduknya. Sedangkan Abercio, dia hanya senyam-senyum saja dan tidak mau terlibat jauh dalam urusan Ibu dan anak itu.
Enaly tersenyum, dia tahu jika putranya pasti menolak keinginannya ini.
Dia langsung beranjak dari duduknya.
“Aku lelah sekali. Aku ke kamar dulu, Mom.” Ucapnya lagi.
Enaly langsung berdiri.
“Ayolah, Sayang. Hanya berkenalan saja, apa salahnya ?” Dia mengendikkan kedua bahunya.
“Jika tidak cocok padamu, kau bisa menolaknya.” Ucapnya lagi.
Enardo melirik sang Grandpa sekilas.
“Aku bisa memilih wanitaku sendiri, Mom.” Balasnya lagi hendak mengakhiri percakapan mereka. Namun Enaly kembali mengucapkan kalimat yang membuat Enardo tidak berdaya.
“Dengar, Enardo!”
“Kau mau berkenalan dengannya ? Atau aku keluar dari Amerika ?” Balas Enaly menatap datar sang putra yang sungguh keras kepala.
Dua pria dewasa itu saling melirik satu sama lain. Mereka tidak paham alasan wanita ini mengatakan hal itu pada Enardo. Namun mereka berdua memilih untuk diam saja.
Selang beberapa detik Enardo membalas tatapan sang Mommy, dia memilih untuk mengakhirinya. Tanpa sepatah katapun, dia langsung berbalik badan dan berjalan menuju anak tangga mewah yang ada di ujung sana.