“Hanya sebentar saja …”
Wajah itu mulai mendekatinya. Dia tidak bisa menolaknya. Kedua matanya mulai berair. Tangannya sudah terkunci.
“Tuan, aku mohon …” Aishe mulai meneteskan air matanya. Wajahnya berpaling ke kiri, menghindari tatapan tajam Tuannya. Kedua tangannya sudah melemas.
Enardo terdiam. Air mata itu, sungguh dia tidak tahan melihatnya. Rahangnya mengeras. Sedetik kemudian, dia menegakkan tubuhnya.
“Aku hanya bercanda …” Dia turun dari ranjang.
“Tidak perlu tegang seperti itu. Dasar cengeng.” Ketusnya lagi bernada santai. Dia menghela kasar nafasnya, lalu berjalan menuju ruangan ganti pakaiannya.
Aishe terdiam, seketika dia melongo walau air matanya sudah keluar sempurna. Dia masih melihat Tuannya, Enardo meninggalkan dirinya di ranjang.
Dia memegang dadanya, dan bernafas lega.
‘Terima kasih, Tuhan.’ Bathinnya berucap syukur. Dia menegakkan tubuhnya, dan turun dari ranjang.
Mengutip semua pakaian dan barang yang berantakan. Dan hendak meletakkannya kembali ke tong khusus pakaian kotor, serta meletakkan kembali barang yang dia bawa ke tempat semula.
‘Apa maksudnya cengeng …’
‘Jelas-jelas dia membuatku takut.’ Bathinnya lagi sambil berpikir.
Kakinya melangkah menuju ruang ganti pakaian. Dan dia melihat Tuannya tengah berdiri di depan lemari kaca tiga pintu. Berisi banyak koleksi parfum disana.
Dia meliriknya sekilas, namun tidak berani menatapnya lama. Dia langsung membereskan barang yang dia bawa. Sedikit banyaknya dia tahu, bahwa Tuannya memang seorang kolektor.
Enardo, dia tahu kalau Aishe berada disana. Namun dia memilih untuk mengabaikannya saja.
Dia mengambil salah satu parfum favoritnya, dan hendak menyemprotkan parfum itu di tubuhnya. Karena itu adalah kebiasaannya sebelum tidur.
Seketika dirinya mengingat sesuatu. Dia melirik Aishe sekilas.
“Kau sudah selesai ?” Tanya Enardo langsung mengalihkan pandangannya pada lemari parfum miliknya.
Aishe yang sudah selesai dengan kegiatannya. Dia melirik ke arah sana.
“Sudah, Tuan.” Jawab Aishe sedikit gugup.
“Kemari sebentar.” Pinta Enardo.
Walau Aishe sedikit takut, tapi dia harus menuruti perintah Tuannya.
“Tidak perlu takut. Aku bukan kanibal.” Ucapnya lagi, sembari menyodorkan parfum yang dia pegang.
Aishe hanya diam saja, dan tidak mau melihat Tuannya yang lebih tinggi darinya. Dia mengambil parfum itu, keningnya berkerut.
“Untuk apa ini, Tuan ?” Tanya Aishe melihat merk parfum itu. Dia tahu parfum yang dia pegang, sepertinya edisi terbatas.
Enardo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia juga tidak paham kenapa sikapnya bisa begini.
“Kau suka parfum itu ?” Tanyanya.
Terpaksa dia mendongakkan kepalanya.
“Parfum ini ?” Aishe yang sedikit tidak mengerti.
Enardo membalasnya dengan tatapan datar.
Aishe langsung paham.
“Ahh … sebentar, Tuan.” Dia langsung menekan benda bulat di parfum itu. Menyemprotkan isinya di pergelangan tangannya. Dia mencium wanginya.
Kepalanya mengangguk pelan.
“Wangi sekali. Dan sangat romantis.” Jawab Aishe jujur, dengan sedikit senyuman tipis di kedua sudut bibirnya.
Enardo menganggukkan kepalanya, memperhatikan ekspresi Aishe yang alami. Dia langsung mengambil parfum itu dari tangan Aishe.
Tanpa berucap apapun, dia langsung menyemprotkan parfum itu ke seluruh tubuhnya. Kedua tangannya merentang, dan parfum itu tersebar di seluruh tubuhnya.
Aishe diam melihat pria di hadapannya saat ini. Dia sedikit mundur ke belakang. Ini adalah pertama kalinya dia menghadapi sikap seorang pria yang tidak bisa dia pahami maunya.
Enardo meliriknya sekilas. Dan kembali meletakkan parfum itu disana.
“Parfum ini akan aku pakai setiap kita tidur.” Ucapnya menutup lemari parfum dengan 3 pintu disana.
Aishe sedikit mengerutkan keningnya.
‘Setiap kita tidur ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya.
“Ayo tidur. Aku sangat lelah.” Gumamnya pelan sembari meregangkan kedua tangannya ke atas.
Aishe masih diam melihat Tuannya yang sudah berjalan ke arah sana.
Enardo berbalik badan.
“Ada apa ?” Tanya Enardo lagi.
Aishe terkesiap dan langsung mengikuti langkah kaki Tuannya.
…
Posisi saat ini sangat membuatnya nyaman. Dia juga tidak tahu kenapa, memeluk Aishe seakan membuat penat di kepalanya hilang seketika. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Tidak sedikit wanita yang sudah pernah tidur dengannya sampai pagi. Tapi tetap biasa saja. Bahkan tidak sedikit pun dia memiliki keinginan untuk tidur sambil memeluk mereka setelah bercinta.
Karena yang dia butuhkan dari para wanita hanyalah kepuasan diatas ranjang. Dan penghibur dirinya dalam beberapa waktu saja. Tidak jarang dia akan merasa jijik pada mereka setelah bercinta. Yah, tentu saja saat pikirannya kembali normal.
Aishe, dia pikir dirinya harus terbiasa dengan ini semua. Membiarkan lengan kiri Tuannya menjadi bantalnya. Membiarkannya perutnya terus disentuh-sentuh olehnya.
Sesekali dia menggeliat pelan. Walau selimut sudah menutupi tubuh mereka hingga batas d**a.
Tapi rasa yang tidak biasa semakin menggelanyar di tubuhnya saat ini. Apalagi aroma parfum itu sangat menusuk indera penciumannya.
Dia sangat suka sekali dengan wanginya. Dan dia tidak tahan. Bahkan dia tidak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan saat ini. Sungguh aneh sekali, pikirnya.
“Kenapa ? Kau tidak bisa tidur ?” Gumamnya bertanya tanpa basa-basi.
Tangan kanannya semakin menekan gunung kembar milik Aishe. Tidak peduli jika wanita bertubuh mungil ini terus merasa gelisah. Dia pikir, Aishe akan terbiasa nantinya.
Glek!
Meski ragu, namun dia jujur. Kepalanya mengangguk pelan.
“I … iya, Tuan.” Jawab Aishe.
Enardo semakin merapatkan kaki jenjangnya di bawah sana.
“Apa kau tidak nyaman dengan parfumnya ?” Tanya Enardo mengalihkan pikiran Aishe.
Aishe mengernyitkan keningnya.
‘Parfum ?’
‘Apa hubungannya dengan parfum ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya.
“Nyaman, Tuan …”
“Eumh … parfumnya wangi.” Jawabnya jujur.
Enardo sedikit menarik salah satu sudut bibir seksinya.
“Lalu kenapa kau lasak sekali ?”
“Aku tidak bisa tidur jika kau seperti ini sampai pagi.” Gumamnya lagi dengan suara seraknya.
Aishe menghela nafasnya. Dia tidak paham lagi, kenapa Tuannya tidak berpikir kalau ketidaknyamannya bukan karena parfum. Tapi karena pelukan ini sungguh sesak untuknya.
Mungkin sebaiknya dia jujur saja.
“Tuan …”
“Hmm …”
“Eumh … saya tidak nyaman jika dipeluk begini …”
Enardo menahan tawanya.
“Aku terbiasa memeluk guling. Jadi kau harus menjadi gulingku malam ini.” Jawabnya santai bernada malas.
Aishe mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Sesaat dia pikir, disini memang tidak ada satu guling pun. Dengan polos, dia berbalik badan. Hingga Enardo melonggarkan pelukannya. Dan melirik Aishe.
“Ada apa ?” Tanya Enardo penasaran.
Dia hendak bangkit dari baringannya, namun tangan kekar itu menahannya.
“Euhh … Tuan, saya …”
“Mau kemana ?”
Aishe menggigit bibirnya dan tersenyum tipis.
“Saya mau mengambil guling untuk Tuan …”
“Untuk sementara malam ini, Tuan bisa memakai guling saya. Besok pagi saya akan menyiapkan dua guling untuk Tuan.” Jawabnya polos membalas tatapan Tuannya.
Dia berusaha untuk tetap menjaga ekspresi wajahnya. Dia tidak membalasnya, dan kembali menarik selimut menutupi tubuh mereka.
“Aku sudah sangat lelah, Aishe. Jangan habiskan sisa energiku.” Gumamnya pelan. Membawa Aishe ke dalam pelukannya.
Deg!
Aishe tidak bisa apa-apa. Kedua tangannya terkatup, menutup bagian dadanya. Dia susah menegukkan salivanya sendiri.
Pemandangan d**a bidang yang dipenuhi bulu sedikit lebat sampai bagian bawah. Oh, sungguh seksi sekali. Dia mengakui bentuk tubuh Tuannya benar-benar sangat proporsional sekali.
Wangi parfum di tubuhnya semakin membuat dirinya tidak berdaya. Namun sesuatu yang menyentuh bagian pahanya di bawah sana, juga membuat pikirannya tidak tenang.
Enardo kembali tenang. Dia mulai memejamkan kedua matanya. Namun kedua kakinya masih terus mencari kenyamanan. Dia sedikit merasa bahwa Aishe terlalu kaku.
“Jangan tegang. Asalkan kau tenang, dia tidak akan bangun.” Gumamnya pelan seraya memuat Aishe mengerti. Kedua matanya masih terpejam.
Aishe langsung melemaskan seluruh tubuhnya. Dia mencoba untuk relaks. Dia paham maksud dari ucapan Tuannya barusan.
Sejujurnya dia sangat mengantuk sekali. Tapi tidak tahu kenapa, kedua matanya seraya terjaga dengan keadaan saat ini.
“Apa Tuan selalu tidur seperti ini dengan guling ?” Tanya Aishe berusaha menetralkan ketegangan di tubuhnya.
Walau kedua matanya masih tertutup rapat, namun senyuman tipis terlihat di wajahnya. Dia mengeratkan pelukannya di tubuh Aishe.
“Yah, begitulah.” Jawabnya bergumam pelan.
Aishe merasa risih sekali. Bulu-bulu disekitar tubuh Tuannya, sangat membuatnya tidak nyaman. Bahkan kedua lengannya yang masih terkatup di dadanya, merasa geli.
Tidak hanya itu, punggungnya juga merasa risih sekali merasakan bulu-bulu dari lengan Tuannya.
“Tuan …”
“Hmm …”
Entah lah, bagaimana bisa Enardo begitu sabar menghadapi sikap wanita mungil ini. Mungkin saja karena wajahnya yang cantik alami. Kornea matanya yang indah. Terutama rambut emasnya yang sangat mudah dia hafal, dan mungkin dia rindukan. Yah, dia pikir begitu.
“Eumhh … apa setiap malam kita akan tidur seperti ini ?” Tanya Aishe tanpa takut.
Enardo menghela panjanga nafasnya. Hingga membuat Aishe kembali melanjutkan kalimatnya.
“Eumhh … maksud saya …”
Enardo segera menjawabnya.
“Kita akan tidur bersama setiap malam, setiap saya berada di mansion.” Jawabnya.
Aishe semakin menyusupkan wajahnya pada d**a bidang yang penuh bulu halus disana. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Mungkin dia memang harus terbiasa dengan semua tugas-tugasnya. Setidaknya, Tuannya tidak berbuat lebih jauh seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Walau dengan keadaan seperti ini, sebenarnya sangat membuat dirinya tidak nyaman.
“Tidurlah …”
“Aku pastikan kau masih bernafas sampai besok pagi.” Gumamnya lagi.
Aishe menganggukkan lemah kepalanya. Dan mencoba memejamkan kedua matanya. Mencoba untuk mencari ketenangan, agar kantuk datang menghampirinya.
Sesekali dia membuka matanya, melihat bulu-bulu halus disana. Hidungnya juga seperti mengkhayati aroma yang tidak bisa tolak begitu saja.
Hingga kantuk datang, dan kedua tangannya melemas. Tanpa dia sadari, kepalanya semakin menyusup, menekan pada d**a bidang beraroma maskulin.
…
10 menit kemudian.,
Dia sedikit menggeliat pelan, dan menggesek-gesekkan kaki jenjangnya di bawah sana. Tidak ada respon apapun, kepalanya sedikit tertunduk ke bawah.
Senyuman tipisnya kembali membawanya dalam nafas lega.
‘Susah sekali membawamu ke dalam mimpi, Nona.’ Bathinnya bergumam pelan. Dia menaikkan tangan kanannya ke atas. Dan memetik jemari kanannya saling berbunyi, hingga merespon lampu ruangan semakin meredup.
Tidak tahu kenapa, kini dirinya lega. Kedua matanya kembali terpejam. Dia semakin merapatkan tubuh mereka.
“Seandainya aku bisa memasukimu. Tidurku pasti akan lebih nyenyak.” Gumamnya pelan. Namun gumamannya membuat tubuh mungil itu merespon dan sedikit menggeliat pelan.
Dan dia tidak lagi bersuara. Hingga kantuk menyerang kedua matanya, dia mulai menyamankan tubuhnya untuk tidur dengan damai bersama Aishe.