"Abang berisik!" tegur Aira saat mendengar suara pekik Deanova.
"Sayang, denger nggak El bilang apa?" ujar Deanova yang kini panik dengan posisi terduduk. Bagai halilintar menggelegar di kamarnya kala kalimat itu meluncur bebas dari bibir Elora.
"Hmmmm," gumam Aira acuh.
"Sayang, El tidur bareng Delon, kamu denger nggak sih!" kesal Deanova karena istrinya tetap bergeming sedangkan Elora yang saat ini tidur di antara mereka hanya menatap Deanova dengan heran.
"Denger Bang, ya biarinlah!" sahut Aira dengan suaranya yang serak. "Udah jangan berisik! Mommy capek. Mau tidur, kalian mending ngobrol di luar sana!" Ucapan Aira yang santai berhasil membuat Deanova merasa bingung. Bisa-bisanya Aira bersikap acuh saat mendengar anak gadis mereka tidur bersama Delon, sahabat baik mereka.
"Sayang?" ucap Deanova lagi yang justru membuat Aira kesal. Istrinya itu lantas beranjak dari ranjang seraya membawa bantal menuju sofa. Aira segera merebahkan tubuhnya di sofa tersebut lalu kembali memejamkan mata. Tak peduli lagi dengan apapun yang akan di lakukan Deanova dan Elora. Daddy dan anak yang sama-sama alay dan berlebihan setiap kali menanggapi sesuatu.
"Daddy sih berisik. Kan Mommy jadi ngambek," ucap Elora yang masih belum menyadari jika semua itu terjadi karena ulahnya.
Deanova terdiam sembari menatap punggung Aira yang bergerak teratur, pertanda jika istrinya memang benar-benar tidur. Lalu Deanova beralih menatap Elora penuh selidik.
"El ngapain aja di kamar bareng Om Delon?" tanya Deanova dengan rasa kantuknya yang telah kabur entah ke mana.
"Daddy ini gimana sih kan El bilang tidur, ya udah tidur aja. Emang kenapa sih Dad?" kesal Elora seraya menatap Deanova dengan tersenyum geli saat mengingat bagaimana dirinya menyelinap masuk ke kamar Delon.
"Jadi pas itu tuh El nggak bisa bobok terus tengah malam El pindah ke kamar Om Delon. Untung aja Om Delon nggak tahu," jujur Elora lalu terkikik geli.
"Ya Allah El, nggak boleh gitu. Awas aja klo diulangi lagi. Klo sama Daddy, Ivand, atau Viero sih nggak papa. Lah ini El tidur sama Om Delon, bisa bahaya," peringat Deanova dengan serius. Elora seketika tersenyum lebar.
"Om Delon nggak bahaya Dad, baik banget malah," sahut Elora agar Daddy tidak berpikiran macam-macam terhadap Delon. "Dad kenapa ya El pas bobok meluk Om Delon kok berasa nyaman banget. Mana tubuhnya wangi dan seger," terang Elora dengan kembali terkikik. Pengalaman pertama Elora tidur bersama laki-laki selain keluarganya.
Kedua mata Deanova seketika terbelalak mendengar pengakuan polos putrinya. Elora sudah berusia 18 tahun, seharusnya putrinya sudah mengerti batasan saat bersama laki-laki lain yang bukan mahram meskipun itu Delon, sahabatnya. Biar bagaimana pun Delon adalah laki-laki normal. Siapa yang bisa mengira jika nantinya Delon tergoda dengan kemolekan putrinya yang telah beranjak dewasa.
"Udah cepetan bobok! Jangan bicara terus!" tukas Deanova lalu menyelimuti tubuh Elora. Besok Deanova akan berbicara kepada Delon.
Deanova mengusap kepala Elora hingga terlelap. Karena rasa kantuknya yang hilang akhirnya Deanova memutuskan untuk mencari udara segar di luar. Kini Deanova duduk di sofa balkon kamar sembari menikmati keindahan langit yang bertabur bintang. Di langit sana purnama tengah bertahta merajai malam. Indah, sangat indah. Tapi hati Deanova tiba-tiba risau saat memikirkan tingkah laku Elora. Apa benar dirinya terlalu over protective terhadap Elora seperti yang dikatakan semua orang?
Kembali Deanova menilik ke belakang, mengingat bagaimana caranya mendidik Elora. Deanova akui dirinya memang lebih posesif terhadap Elora daripada kedua putranya. Tapi itu bukan berarti dirinya pilih kasih atau berlaku tidak adil kepada ketiga buah hatinya. Ia membagi kasih sayangnya untuk ketiga buah hatinya dengan kadar yang sama. Ia begitu menjaga Elora karena khawatir terpengaruh dengan pergaulan bebas remaja masa kini. Deanova hanya ingin menjaga Elora dengan baik hingga gadis itu menemukan laki-laki yang mampu menggantikan dirinya kelak. Menjaga dan mencintai Elora dengan tulus seperti dirinya.
Hanya dalam hitungan bulan saja putrinya akan menjalani kehidupan baru sebagai seorang mahasiswi. Elora sudah dewasa, bukan lagi anak kecil yang harus diawasinya setiap saat. Sudah waktunya dirinya memberikan kelonggaran. Membebaskan putrinya seperti kedua saudaranya. Tapi ia masih ragu. Ia takut dengan kebebasan yang mungkin akan membuatnya menyesal kemudian hari.
"Kenapa Abang di sini?" ucap Aira yang saat ini berdiri di ambang pintu.
Lamunan Deanova seketika buyar. Lalu ia mengulas senyuman sembari menepuk sisi kosong di sebelahnya.
"Ternyata putra-putri kita sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik dan tampan ya?" ucap Deanova menatap wajah istrinya yang semakin terlihat cantik diusianya yang telah matang.
Deanova dan Aira berselisih usia yang lumayan jauh, yaitu 11 tahun. Jadi saat ini Aira baru berusia 39 tahun sedangkan Deanova sendiri telah memasuki usia setengah abad. Helai putih pun sudah mulai menghiasi surai kecokelatan miliknya.
"Itu artinya kita sudah tua Bang," kekeh Elora sembari menyentuh rahang berbulu tipis milik Deanova.
Sungguh suaminya itu terlihat semakin tampan, berkharisma, dan tentu saja seksi di matanya. Aira sendiri heran. Semakin lama mereka bersama maka semakin bertambah rasa cintanya. Aira tidak pernah merasa jenuh ataupun bosan karena Deanova selalu memperlakukan dirinya layaknya seorang ratu di mana pun mereka berada.
"Masak? Tapi kamu kok semakin cantik," puji Deanova dengan menyeringai lalu memeluk Aira. Mengajaknya menikmati keindahan purnama malam ini.
"Udah tua, nggak usah lebay kek remaja aja!" cibir Aira dengan tergelak sembari melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Deanova.
"Bersamamu aku selalu merasa menjadi remaja, selalu kasmaran setiap waktunya," balas Deanova dengan tergelak.
"Receh banget gombalannya Bang, padahal udah pantes jadi kakek," goda Aira dengan tawa berderai.
"Abang kenapa kok galau?" Aira mendongak demi menatap wajah tampan suaminya. Seketika raut wajah Deanova berubah serius. Menatapnya penuh makna.
"Apa selama ini cara Abang mendidik Elora salah?" Kalimat itu akhirnya lolos juga dari bibir Deanova. Padahal biasanya Deanova tidak pernah menggubris teguran dari para saudara dan sahabatnya yang tergabung dalam Club Cogan.
"Itu hanya perasaan Abang saja," sahut Aira mencoba membesarkan hati Deanova.
Sejujurnya Aira pun merasa sikap Deanova terhadap Elora yang terlalu berlebihan dan cenderung posesif. Tapi Aira juga mengerti alasan Deanova melakukan itu semua adalah demi kebaikan putri mereka. Hanya saja cara Deanova mencurahkan cintanya terhadap Elora salah. Aira pun sudah sering mengingatkan Deanova untuk memberikan ruang dan waktu bagi Elora untuk menikmati masa remajanya. Memberikan kesempatan kepada putri mereka untuk mengeksplorasi hal-hal baru dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Bukan hanya didikte untuk menuruti semua keinginan Deanova. Tapi suaminya tersebut tidak pernah mengindahkannya. Bagi Deanova putri mereka adalah sebuah berlian yang harus mereka jaga dengan baik sebelum seseorang datang untuk mengambil alih tugas mereka.
"Elora terlalu polos. Abang jadi khawatir," jujur Deanova yang sukses membuat Aira tergelak. Ke mana saja suaminya hingga baru menyadari jika putrinya memang sepolos itu karena selalu didoktrin dan dikte olehnya.
Tapi Aira tidak pernah sama sekali menyalahkan Deanova karena ia tahu tujuan suaminya hanya semata-mata demi kebaikan Elora. Masih segar dalam ingatannya saat berulang kali dirinya hampir menjadi korban pelecehan seksual. Tiga kali terjadi dan tiga kali pula Deanova yang menyelamatkannya tepat waktu. Paling parah saat dirinya diculik oleh teman satu kampusnya. Hingga kini pun trauma itu masih membekas. Tapi Aira juga menyadari bagaimana pergaulan bebasnya dulu sebagai seorang model. Club dan shopping adalah hobinya.
"Sebenarnya Abang hanya perlu memberikan kepercayaan padanya, cobalah terbuka dan menerima jika putri kita sudah dewasa, bukan lagi diperlakukan seperti tawanan," terang Aira yang sukses membuat alis Deanova saling bertaut saat mendengar kata tawanan.
"Kok tawanan?" tanya Deanova penuh selidik.
Aira seketika tergelak sembari menutup bibirnya yang salah ucap. Seketika Deanova menyeringai lalu kembali berkata-kata. "Udah berani juga nih ngejek Abang?"
Belum sempat Aira menjawab bibir Deanova sudah membungkam bibirnya. Aira mendorong d**a Deanova dengan sekuat tenaga tapi percuma karena tubuh Deanova tetap bergeming.
"Bang nanti ketahuan Elora," peringat Aira dengan susah payah karena Deanova masih terus mengulum bibirnya.
Deanova menghentikan aksinya sejenak lalu membalas, "Elora udah nyenyak, nggak bakal bangun. Lagian Abang udah empat hari ini nggak dapat jatah ini." Seketika Aira tergelak lalu meletakkan kedua tangannya ke belakang leher Deanova.
Di atas ranjang berukuran king size tangan Elora bergerak mencari seseorang yang tadi memeluknya. Tak mendapati Deanova ada di sampingnya Elora seketika membuka mata. Lalu mengalihkan pandangan ke arah sofa tempat Mommy tadi berada.
"Daddy, Mommy," gumam Elora seraya memindai ke seluruh sudut kamar mencari keberadaan kedua orang tuanya.
Elora terdiam dalam posisi duduk. Rasa sakit kembali menyerang kepalanya, napasnya pun terasa berat karena tubuhnya kembali demam. Sembari memegangi kepalanya Elora beranjak dari ranjang hendak mencari kedua orang tuanya. Namun tiba-tiba indera pendengarannya menangkap suara seseorang sedang bercanda dari arah balkon kamar. Gegas Elora melangkah dengan pelan. Dari balik tirai Elora bisa melihat kedua orang tuanya sedang berciuman dengan sesekali bercanda. Tubuh Elora mematung di tempat menyaksikan adegan intim kedua orang tuanya. Memang ini bukan yang pertama. Elora sudah beberapa kali memergoki kedua orang tuanya yang sedang berciuman. Biasanya mereka langsung menyadari kehadirannya dan langsung menghentikan kegiatan itu. Tapi kali ini mereka benar-benar terlarut dalam romansa cinta hingga melupakan jika Elora sedang berada di kamar mereka.
Bukannya pergi Elora justru memperhatikan bagaimana kedua orang tuanya saling memagut, membalas, dan saling memberikan kepuasan. Elora meneguk salivanya dengan susah payah saat melihat bagaimana Deanova membawa tubuh Aira di atas pangkuan lalu menyusupkan tangan ke belakang leher Aira demi memperdalam ciuman mereka. Perasaan aneh yang tak dipahaminya perlahan hadir dalam dirinya. Elora meringis antara geli dan jijik. Perutnya mulai bergejolak seperti ada sesuatu yang mengaduk-aduk di dalamnya. Lalu tanpa bisa ditahan suara keras lolos dari bibirnya. Suara yang sukses membuyarkan romansa di antara Deanova dan Aira.
"Huek....huek... huek!"