19. Persimpangan

1643 Kata
Case 19  Saat tiba pergantian waktu jaga, tentara Korut barulah menyadari bahwa para tawanan melarikan diri. Mereka panik mendapati rekannya tak berdaya di depan pintu sel tahanan dalam keadaan telah dilucuti. Seorang petugas berteriak pada wanita tua yang memilih tinggal dalam sel, bertanya dengan marah ke mana yang lain pergi dan apa yang mereka rencanakan. Wanita tua meringkuk menutup mata dan telinga, menolak menatap petugas. Hanya itu upayanya untuk melindungi diri, ia tahu mereka tidak bisa menyakitinya meski sesungguhnya merasa sangat takut. Setidaknya kata-kata itu yang coba wanita tua tanamkan pada diri dan percaya hingga akhir agar bisa bertahan dalam keadaannya yang sendiri jauh dari rumah dan menjadi tawanan sejak kejadian di atas kapal. Apa pun perkataan petugas pada dirinya, ia tetap memilih bungkam seribu bahasa meski petugas bertanya dengan bahasa asalnya bahasa Mandarin sekali pun. “Bagaimana cara kalian menjaga mereka, HAH!!” Seorang yang berpangkat lebih tinggi dari yang lain memaki petugas bawahannya juga menghujani mereka dengan pukulan. “Sialan!! Kita harus segera lapor pada Kapten Ri.” Setelah membuat keributan di ruang tahanan bawah tanah, rombongan petugas itu pergi kembali naik ke ruangan atas. Derap langkah kaki yang terburu-buru menuju meja kerja, meraih gagang telepon untuk menghubungi satu nomor. Ini merupakan situasi darurat bagi mereka, entah harus bagaimana dirinya menjelaskan keteledorannya pada atasan yang telah memberinya tanggung jawab pada tugas ini. Namun menyembunyikan apa yang terjadi tidak akan membawa solusi atau pun membantu keadaan mereka yang memang sesungguhnya bersalah. “Hormat!” Ucapnya juga melakukan gestur royalitas sebagaimana mestinya walau tidak ada artinya melakukan itu. “Ada apa?” Pertanyaan tegas dari seorang di sambungan telepon yang tak lain adalah Chung Ryeol. Dengan suara gugup dan bergetar takut ia melaporkan situasi yang terjadi. “Lapor Kapten Ri! Keadaan di sini sangat mendesak Kapten, kami kehilangan para tawanan itu!” “Kehilangan? Apa maksudmu?” Terdengar suara Chung Ryeol menjadi serius dan meninggi. “M-Mereka, para tawanan melarikan diri dari sel tahanan.” Si pelapor semakin ciut nyalinya ketika mendengar suara Chung Ryeol yang berat dan tegas. Bahkan ia dapat membayangkan bagaimana wajah murka Chung Ryeol meski sosoknya tidak berada di sana. “APA!! Bagaimana bisa? Dasar Kalian―” Tidak ada gunanya Chung Ryeol marah atau pun memaki di telepon, lebih terpenting sekarang adalah tindakan yang harus segera diambil. “Cepat kalian cari jejak mereka!! Kerahkan personil dan anjing pengejar!” Perintah Chung Ryeol lantang walau di telepon sekalipun. “Siap Kapten Ri! Laksanakan!!” Begitu sambungan telepon terputus, seluruh petugas sibuk melengkapi diri dengan persenjataan dan membentuk tim. Sesuai instruksi detik itu juga tentara Korut siap untuk melakukan pengejaran. Sementara itu tempat di mana Chung Ryeol berada ketika menerima panggilan telepon tadi. Ia segera meninggalkan aktivitas yang tengah di lakukannya saat itu juga, membereskan urusan pribadi di kediamannya. Sudah cukup lama Chung Ryeol tidak kembali ke rumahnya yang tidak berpenghuni karena sering kali ditinggalkan. Hari ini Chung Ryeol masih menjalani masa hukuman, yang mana dirinya dibebaskan dari segela tugas atau pun pekerjaan dan seharusnya dilarang melakukan aktifitas apa pun yang masih berkaitan dengan misinya. Tapi Chung Ryeol tidak bisa berdiam diri setelah mendapat kabar apa yang terjadi. Lagi pula permasalahannya dengan buronan wanita itu sejak lama telah ia anggap sebagai permasalahan yang harus diselesaikan secara pribadi. Chung Ryeol segera bersiap pergi, persenjataannya saat ini memang tidak ia miliki karena saat menjalani hukuman senjata apa pun harus diserahkan kembali ke kantor. Karena itu satu-satunya senjata yang Chung Ryeol andalkan hanya belah pisau tajam model lipat, ia masukkan ke dalam saku bajunya. Dan persiapan selesai, Chung Ryeol bergegas meluncur ke bangunan tua tempat kejadian perkara. *** Seharusnya Chung Ryeol memang menanyakan detail kejadian agar memahami situasi, seperti bagaimana kronologi kejadian, kapan waktu perkara terjadi atau sudah berapa lama mereka melarikan diri, ia juga seharusnya menyelidiki dengan seksama tempat sel tahanan itu. Tapi semua itu tidak ada artinya karena mereka telah menghilang, ini bukan kasus kriminal seperti kecelakaan atau pembunuhan. Semakin cepat mereka mengutus orang-orang untuk menyisir daerah sekitar, semakin memperpendek jarak dan waktu pencarian dengan kelompok tawanan itu agar segera ditemukan. Sementara waktu menunjukkan dini hari ketika Chung Ryeol tiba di bangunan tua. Ia langsung bertolak ke daerah sekitar mengikuti instingnya, memasuki hutan di belakang bangunan. Di kejauhan dapat terdengar suara gonggongan anjing pengejar milik tentara Korut yang ia kerahkan datang dari beberapa penjuru. Namun ia tetap melanjutkan langkahnya semakin masuk ke dalam hutan. Chung Ryeol sebelumnya sudah berpikir menggunakan perhitungan psikologis, dengan berandai bila ia menjadi mereka―tawanan pelarian, rute mana yang akan ia pilih. Dan instingnya mengatakan arah hutan di belakang gedung adalah pilihan terbaik. Karena Chung Ryeol tahu setelah keluar dari hutan itu peluangnya untuk berhasil kabur lebih tinggi dari pada memilih rute jalan utama yang bisa terekspose siapa pun termasuk kendaraan yang melintasi jalan. Lalu hal lain yang membuatnya yakin memilih arah itu adalah kondisi semak belukar yang rusak, beberapa tanaman liar dan bunga yang terinjak, menandakan beberapa orang telah melewati jalan itu dengan tergesa. Walau di tengah kegelapan pekat di sekitar sekali pun naluri lapangan Chung Ryeol masih tajam, bekerja dengan sangat baik. “Kapten Ri? Andakah itu?” Tanya seorang petugas dari belakang yang menghampiri Chung Ryeol, menyorotnya dengan lampu senter. “Kau! Panggil beberapa orang lain dan ikuti aku.” Pinta Chung Ryeol. Memang ia sudah mengirim tim pengejaran sebelum dirinya pergi lebih dulu. Tapi tampaknya tidak ada yang mengejar tawanan ke arah hutan, karena itu Chung Ryeol harus membentuk tim sendiri untuk mengejar mereka. Lebih banyak orang yang mencari akan lebih cepat bagi mereka menemukan target. “Siap! Segera laksanakan Pak!” Personil itu langsung berlari memanggil teman-temannya. Tanpa menunggu yang lain datang, Chung Ryeol bergerak lebih dulu karena ia benar-benar merasa harus bergegas selagi gelapnya malam masih berlangsung. Dari pada para tawanan, tentu saja mereka yang lebih menguasai area itu namun perasaan gelisah yang Chung Ryeol rasakan tidak bisa sirna. Bukan sekali dua kali buronan itu lolos darinya, dengan berbagai kejadian dan halangan tidak terduga. Entah kali ini kejadian apa lagi yang akan merintangi jalannya, Chung Ryeol merasa resah karena itu. Ia belum benar-benar bisa merasa lega dan tenang sebelum secara tuntas menyelesaikan semua urusannya. Di sisi lain lokasi para tawanan pada waktu yang sama. “Apa kalian tidak mendengar itu? Aku bisa mendengarnya dengan jelas, suara anjing melolong.” Ucap panik seorang dari mereka. “Apa itu mereka? Mereka mengejar kita?” Sudah sangat jelas mereka yang dimaksudkan adalah tentara Korut, pastinya akan mengejar tawanan yang melarikan diri. “M-Mungkin. Tapi bisa saja ‘kan itu suara anjing liar biasa, bagaimana pun kita berada di dalam hutan.” Masih ada yang berusaha tetap berpikir positif. “Tidak bisa, kita harus bergegas!” Perintah yang lain. Sejak mereka memperlamban pergerakan karena stamina yang hilang, banyak waktu terbuang dari semestinya. Waktu terus bergulir, mereka bisa mendengar suara kokok ayam hutan, pertanda langit akan segera berganti atau matahari siap kembali terbit bersinar terang. “Tunggu!” Tahan dia yang berada paling depan di antara kelompok. Jalan di hadapan mereka terbagi menjadi dua rute. Satu jalan bebatuan yang tampaknya mengarah ke jalan utama, sementara yang satu lagi tetap jalanan liar di dalam hutan. “Kita harus ke mana?” Tanyanya bingung memutuskan jalan yang dipilih. “Bukankah sudah jelas, jalan bebatuan ini akan membawa kita ke jalan utama. Dan di sana mungkin saja kita bisa mencari tumpangan untuk lebih cepat menjauh dari tempat ini.” Desak pria-pria itu. “Atau sebaliknya, bisa saja yang menemukan kita di jalan utama adalah komplotan para tentara itu.” Kata Chihaya. “Apa bedanya mereka menemukan kita di sini atau di sana? Setidaknya di sana kita punya peluang lebih besar!” Ucapan itu ada benarnya. “Tidak! Aku akan tetap memilih jalan ini.” Chihaya memutuskan untuk tetap melalui jalan mereka semula di dalam hutan. Ia masih tetap berpegang teguh pada ucapan wanita tua, Chihaya meyakini bantuannya adalah pilihan terbaik yang ia punya. “Apa! Tapi―” Ucapan itu tertahan karena seorang mencegahnya bicara lebih banyak, yang dari nada suara juga perkataan terdengar keras dan terselip rasa kesal. Memulai pertikaian pada situasi ini tidak membawa keuntungan bagi mereka. Maka pilihannya hanya ada satu cara. “Kalau begitu, kita berpisah jalan di sini. Aku dan yang lain akan memilih jalan ini.” Mayoritas suara memang memilih rute yang menuju jalan utama. Hanya Chihaya seorang yang bertahan memilih rute hutan. “Jika nasip kami beruntung, kami akan bertemu dengan penduduk lokal dan meminta tumpangan. Pria malang ini juga bisa segera mendapat perawatan.” Pikirnya bijak saat mengambil keputusan ia sudah membuat banyak rencana. Salah satunya segera membawa pria Eropa ke unit kesehatan agar segera mendapat penanganan layak pada lukanya. Chihaya menyadari keputusan dan perkataan itu ada benarnya. Ia tidak bisa egois memikirkan diri sendiri, maka Chihaya menerima keputusan itu dan mereka berpisah jalan di persimpangan. “Kau tidak membawa perlindungan diri apa pun?” Tanya pria yang bertindak sebagai ketua dalam rencana pelarian itu. “Tidak, aku tidak punya.” “Kalau begitu bawalah ini.” Menyerahkan senjata api pada Chihaya. “Tidak, aku tidak tahu cara menggunakannya. Kau saja, untuk melindungi yang lain.” Chihaya menolak. Pria lebih tahu cara menggunakan senjata meksi hanya sebatas teori. “Kalau begitu setidaknya kau ambilah yang satu ini.” Kali ini pria itu menawarkan pemantik api pada Chihaya. “Gunakan untuk membuat api, hangatkan dirimu di persembunyian dalam hutan. Aku harap kau punya tujuan tetap memilih jalan itu, meski aku tidak tahu apa.” “Iya, terima kasih.” Senyum Chihaya getir. Sampai saat ini ia merasa berani melalui hutan karena keberadaan pria-pria itu yang ada bersamanya. Dan sekarang Chihaya harus melalui semua seorang diri, entah apakah ia bisa tetap tegar. “Semoga sukses!” “Kalian juga.” Chihaya melangkah pergi lebih dulu meninggalkan kelompok. “Ah! Siapa namamu gadis pemberani?” Panggilnya saat melihat punggung Chihaya berlalu pergi. Gadis itu berbaling memenuhi panggilan dan berkata, “Chihaya.” ***unsolved
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN