Terror

1194 Kata
"Udahlah, le. Mungkin itu halusinasimu karena kecapekan." Ucap ibunya menenangkan.    Malam hari Sujimin berkeringat dan resah dalam tidurnya. Ia bermimpi berada di sebuah lahan kuburan yang cukup luas. Tak ada siapapun di sana. Hening dan mencekam. Tampak sebuah pohon beringin besar berdiri tegak di tengah-tengah. Tiba-tiba Sujimin melihat sosok hitam berdiri di depan pohon beringin tersebut.   Awalnya sosok itu hanya setinggi Sujimin, namun ketika ia mulai berjalan kearahnya. Sosok itu berubah menjadi besar dan semakin besar. Hingga cahaya rembulan mulai meneranginya.   Kini makhluk hitam itu berubah hingga setinggi kurang lebih 5 meter. Badannya ditumbuhi rambut hitam dan kasar. Mata yang sebesar lepek berwarna merah menyala.   Tangannya panjang hampir menyentuh tanah dengan kuku-kuku yang tajam. Sedang keempat gigi taring panjangnya mencuat keluar berlawanan arah.   Sujimin tak kuasa menahan rasa takut ketika menatap makhluk tersebut, mulai berjalan mundur dengan tubuh bergetar. Makhluk itu menatap Sujimin tajam.   Terdengar suara menggeram dari dalam seolah ia sangat murka pada Sujimin. Sujimin segera berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi makhluk tersebut.   Hanya saja sejauh apapun berlari, Sujimin selalu kembali kearah pohon beringin. Makhluk itu masih berdiri di sana dengan seringai mengerikan, seolah mengejek tingkah Sujimin.   Hingga akhirnya Sujimin sudah tak mampu berlari. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Lelahnya benar-benar nyata.   Tanpa disadari ternyata makhluk itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Dengan mudah makhluk itu mengangkat Sujimin dengan menarik kedua tangannya.   Ternyata tangan Sujimin dimasukkan ke mulutnya. Makhluk itu melahap kedua tangan Sujimin perlahan, seolah sedang mengunyah tulang muda ayam.   Sujimin histeris. Entah sudah berapa banyak darah mengucur dari kedua tangan yang mulai hancur secara pelahan.   "“Ampuuuun ... ampuuuun ... sakitttt ...."   Potongan daging dan kulit tangan Sujimin berjatuhan di atas tanah.   Makhluk itu tetap mengunyah Sujimin yang menjadi santapannya. Sujimin meringis, dia sudah tak dapat menahan rasa sakitnya lagi.   Hingga akhirnya dia mendengar suara familiar di telinganya.   "Le ... banguuun le ... banguuun.”   Sang ibu mengguncang-guncang tubuh Sujimin yang sedang mengigau. Tak beberapa lama Sujimin terbangun dengan peluh di sekujur tubuh.   "Kamu nggak apa-apa?" Tanya ibu khawatir.   Sujimin menatap ibu dengan napas tersengal.   "Sa ... yaaa ... saya mimpi bu ... ruukk buu,"   "Istighfar le ... istighfar,"   “Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullahal'adziim ...,"   "Saya ambilin minum ya, le. Biar tenang.” Tawar ibunya. Sujimin mengangguk pelan.   Tak lama setelah ibu meninggalkannya ke dapur, Sujimin merasakan rasa tak nyaman di sekujur tubuh.   Tubuhnya terasa panas, seolah-olah sedang direbus di atas perapian. Saking panasnya Sujimin sampai melepas kaos putih lusuh dan melemparkan serampangan di atas tanah.   Disusul dengan tangan yang tiba-tiba terasa sangat gatal. Awalnya hanya telapak tangan, lalu rasa gatal itu menjalar hingga ujung lengan.   Sujimin pun mulai menggaruk-garuk kedua tangannya secara bergantian.   “Buuuu ... buuuu," Teriak Sujimin kemudian.   Namun tak ada jawaban, seolah ibunya tidak mendengar suara.   "Buuuuu ... Buuuu,"   "Ini kenapa tangan jadi gatal begini ya?" keluhnya.   Rasa gatal yang teramat itu hanya terasa di tangan saja. Sedang tubuhnya tidak merasakan apapun kecuali panas.   Saking gatalnya, tanpa sadar Sujimin menggaruki tangannya hingga berdarah. Meski darah mulai mengucur, hal itu tidak meredakan rasa gatalnya sama sekali. Sujimin pun semakin kalap menggaruk.   Tak terasa kulit dan daging terkelupas sedikit demi sedikit menempel di kuku-kukunya.   Sujimin bertingkah seperti orang gila, matanya menyalang melihat kuku-kuku sendiri sambil terus menggaruk.   "Astaghfirullah, le," ibunya berteriak histeris.   "Gataaal buuu. Gataaal.”   Ibunya mencegah tangan Sujimin yang terus menggaruk, namun gagal. Sampai-sampai ia mendorong ibunya sendiri hingga terjatuh ke tanah.   "Jangan digaruk lagi le. Jangan!" Pinta ibunya setengah memohon. Namun tak digubris.   Tiba-tiba Sujimin merasa mual. Seolah-olah sesuatu memberontak keluar dari perut.   “HOEEEEEKK." Sujimin muntah darah. Darah berwarna merah kehitaman.   Ibunya yang kaget makin histeris. Tiba-tiba Sujimin terjatuh dan mengalami kejang-kejang. Matanya terbelalak hingga kornea mata hampir menghilang dan berubah warna menjadi putih seluruhnya. ibunya pun segera bangun dan keluar meminta pertolongan.   Ketika ibunya kembali bersama warga, semua sudah terlambat. Sujimin ditemukan tewas gantung diri dalam keadaan mata terbelalak dan mulut menganga. Tangan Sujimin yang tadinya berdarah-darah, berubah menjadi luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tak sedap. Kedua tangannya hampir hancur karena luka-luka garukan yang sudah menganga. Ibunya yang histeris tak kuasa menahan diri hingga jatuh pingsan.   Lek Minto benar-benar sedih kehilangan sahabatnya. Di sisi lain, serangan-serangan ghaib kini mulai mengincar dirinya dan keluarganya. Untunglah Lek Minto sudah mengantisipasi hal tersebut setelah si mbah memperingatkannya. Lek Minto memperkuat pagar ghaib keluarga dan rumahnya.   Bahkan ia mewanti-wanti istrinya, agar tidak menerima makanan atau pemberian apapun dari siapa saja. Sementara itu Lek Minto berusaha mencari jalan keluar, bagaimana menghadapi Paijo meski harus seorang diri.   Pagi hari di kediaman Lek Minto. Sederhana, rapi nan asri dengan berbagai jenis bunga dan tanaman yang menghiasi. Kicau burung di masing-masing sangkar digantung berjejer. Duduk di teras rumahnya adalah terapi. Bisa dipastikan siapapun betah berlama-lama di sana termasuk pemiliknya sendiri. Lek Minto masih termangu menikmati lamunannya. Kopi dan rengginang masih utuh hingga dingin pun belum tersentuh. Setidaknya itu yang dilihat orang-orang yang melewati. Tidak, ia tidak melamun. Hanya sedang berdiskusi dengan sesuatu tak kasat mata yang mendiami tubuhnya.   "Mas?"   Lek Minto menoleh "Ya dik?”   "Lintang demam," Ujar sang istri.   "Sejak kapan?"   "Tadi sebelum shubuh. Dan dia mengiggau. Terus menerus menyebut bola api."   Lek Minto pun beranjak dari posisi dan segera menuju ke kamar si anak. Saat mencapai pintu kamar, ia melihat Lintang masih terpejam hanya saja bibir kecilnya menggumam sesuatu. Lek Minto pun mendekatkan telinga.   "Dik, tolong ambilkan air dan petik daun bidara dari halaman depan." Perintah Lek Minto pada sang istri yang berdiri di dekatnya. Sang istri yang tampak mengerti bergegas meninggalkan kamar.   Tak lama kemudian, Diah datang membawa baskom kayu berisi air dengan beberapa helai daun yang sudah mengambang di atasnya. Bibir Lek Minto bergerak-gerak melafalkan doa, lalu meniupkannya di dalam air baskom.   "Bismillahirrohmanirrohiim."   Lek Minto mencelupkan tangan dan mengusapkannya di seluruh tubuh sang anak. Tak lama kemudian Lintang berhenti bergumam.   "Kalau lintang sudah sadar, minumkan air ini padanya. Jangan khawatir, demamnya akan segera turun."   Diah mengangguk lega. Lek Minto sekilas menarik napas. Ingatannya menjelajah tadi malam. Semalam ia memang mendengar sesuatu menghantam keras di atas atap rumahnya. Untunglah tidak menembus ke dalam, karena memang sudah dipagari. Hanya saja pagar ghaib yang dipasang sedikit rusak.   Lintang anaknya memiliki kemampuan lebih seperti Nilam. Ada seorang khadam yang juga menjaganya, tapi bukan Lek Minto yang menurunkan.   Mungkin itu sebabnya, Lintang sangat sensitif dan sedikit terkena imbas dari serangan yang datang.   Tiga hari kemudian ....   "Dik, aku ada perlu. Aku minta jangan mengganggu sampai aku keluar kamar. Dan tolak siapapun yang ingin menemuiku nanti.”   Lagi-lagi Diah yang mengerti membalas dengan anggukan.   "Baik mas."   Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup tak jauh dari sana.   Lek Minto mengurung diri seharian di kamar. Tanpa makan dan minum. Kalau pun keluar, itu pun hanya waktu-waktu shalat saja. Sekedar mengambil wudhu. Lebih tepatnya, Lek Minto melakukan tirakad wirid untuk meminta petunjuk.   Hingga malam kembali datang. Lek Minto mendapati sebuah mimpi.   Almarhum gurunya mendatanginya. Kala itu Kyai Bustomi yang mengenakan jubah putih meminta Lek Minto untuk mendekatinya. Matanya yang teduh memandang lekat mata sang murid. Kyai Bustomi memang tak mengatakan apapun, tapi mereka saling bicara melalui isi pikiran masing-masing.   Di sana gurunya menyuruh Lek Minto untuk melakukan tirakad di sebuah gunung di Boyan selama 33 hari. Setelah itu, Lek Minto mencium tawaddu' punggung tangan sang kyai.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN