Seorang remaja tengah mengayuh sepedanya dengan lantang, napasnya memburu dengan cepat bak sedang dikejar oleh mangsa. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan sesuatu itu tidak mengejarnya, ia lelah harus seperti ini terus.
Matanya membulat terkejut saat sosok itu bukannya menjauh, justru malah semakin melayang cepat kearahnya. Kayuhan sepedanya ia tambah lebih kuat lagi, keringat menetes dari dahi menuju ke leher, napasnya tersengal-sengal, kakinya juga turut kesemutan.
"Sudah ku bilang, jangan mengikutiku." Ujarnya agak berteriak.
Jalanan yang ia lewati ini cukup ramai, ada banyak pedagang kaki lima yang berjejer menjajakan barang dagangannya, saat mendengar pekikan geram dari seorang gadis, atensi mereka teralihkan. Kebanyakan dari mereka mengernyit bingung, entah pada siapa gadis itu berteriak marah.
'Aku tidak akan berhenti jika kamu tidak mau membantuku.' Sahut sebuah suara.
Tak mempedulikan suara itu, ia terus melajukan sepedanya kuat-kuat. Ia menyesal, jika pada akhirnya ia tahu seperti ini nasibnya, lebih baik ia menggunakan sepeda motor saja tadi.
'Seruni, Seruni, Seruni. Bantu aku, Seruni!' Kali ini suara itu terdengar sebal, sebal karena diabaikan.
Ya, Seruni Saharaya. Ia adalah gadis yang mengayuh sepedanya dengan cepat untuk menghindari sesosok arwah yang bergentayangan. Sosok itu memintanya untuk membantu mengungkap tragedi kematian yang pernah menimpanya.
Seruni berdecak pelan, sebentar lagi ia akan sampai rumah dan ketika ia memasuki gerbang, maka sosok-sosok arwah tidak akan bisa masuk seenaknya.
Ayo, Seruni. Kau pasti bisa! Tukasnya menyemangati dirinya sendiri.
Dari posisinya sekarang, ia sudah bisa melihat bangunan rumahnya yang berlantai dua, senyuman merekah dari bibir merah mudanya. Akhirnya ia bisa menjauh dari sosok menyebalkan itu, sial sekali hidupnya karena mendapat 'kekurangan' penglihatan ini.
Sudah sejak dari tadi ia dikejar-kejar oleh sosok arwah remaja laki-laki yang usianya hampir sama dengan dirinya, arwah itu meminta bantuan padanya karena kebetulan sekali Seruni memiliki kegiatan di tempat yang sama tatkala sosok itu meninggal.
'Jangan kabur lagi, Seruni. Kamu harus menolongku, bantu aku.' Asap putih yang membentuk sebuah tubuh tiba-tiba saja muncul di depan Seruni.
Refleks Seruni mengerem sepedanya kuat-kuat, ia terkejut!
"Kamu, hantu kurang ajar." Seruni tidak ingin terlibat dengan sosok yang berbeda alam dengan dirinya.
Ini sudah kedua kalinya sosok itu menampakkan wujud di depan matanya, dulu ia pernah menolak membantu sosok itu karena Seruni memang tidak tahu apapun mengenai tempat dan kronologis. Namun, entah kenapa saat Seruni baru saja keluar dari gedung kampusnya tadi, sosok itu memunculkan dirinya lagi.
Usut punya usut, sosok yang bernama Iman itu ternyata mengetahui bahwa Seruni akan ditugaskan ke Desa Rogokepaten untuk menjalani sebuah kegiatan, Rogokepaten adalah tempat di mana Iman meninggal, ia meninggal dalam keadaan tak wajar, arwahnya masih melayang-layang di bumi karena tidak tenang.
Sosok asap putih yang membentuk fisik manusia itu mendelik tajam, matanya yang transparan berwarna hitam membuat Seruni menelan ludahnya susah payah. Sudah sering ia melihat hantu, tapi ia selalu saja ketakutan.
Iman melakukan itu untuk menakut-nakuti Seruni, ia tidak bermaksud jahat pada gadis itu. Iman ingin agar Seruni membongkar pelaku pembunuhan dirinya, dan menguburkan mayatnya dengan layak sehingga ia dapat kembali ke alam gaib dengan tenang.
"Heh, berani sekali kamu melotot padaku, sudah bosan hidup?" Seruni memberanikan diri untuk terlihat kuat, meskipun hatinya was-was.
Iman mengernyitkan dahi, ahh dasar gadis bodoh ini!
'Aku memang sudah mati!' Jawabnya.
Alhasil, bibir Seruni langsung mengatup karena kesal. Yang benar saja, Iman memang sudah mati, lalu kenapa ia mengatakan hal itu? Dasar, Seruni tidak pintar.
'Runi, bantu aku untuk -' Iman berujar, tapi perkataannya terlebih dulu dipotong oleh Seruni.
"Jangan memangkas namaku, itu hanya boleh diucapkan oleh orang-orang terdekatku. Dan untukmu, tidak boleh!" Sentak Seruni dengan berkacak pinggang, matanya melirik ke depan lalu membulat. Jika saja dirinya tidak mengerem sepeda dengan cepat, maka sudah bisa dipastikan kalau Seruni akan terjungkal ke selokan.
'Itu yang ku lakukan untuk menolongmu agar tidak jatuh.' Sahut Iman.
Seruni menatapnya dengan sinis. "Aku tidak percaya omongan hantu. Jika bukan kerenamu yang terus mengerjar-ngejar diriku, maka aku tidak akan sampai jatuh ke selokan."
Iman mendelik mendengar perkataan Seruni, kenapa gadis itu tak tahu rasa terimakasih sama sekali.
Beberapa orang yang melewati gadis itu menatapnya dengan tatapan aneh, Seruni terlihat berbicara sendiri. Bahkan ada yang mencela dirinya.
"Kasihan sekali, mana masih muda sudah gila." Seru sebuah ibu-ibu yang mengendarai sepeda motor membonceng anaknya.
Seruni yang mendengar hal itu mendengus kesal, selalu saja seperti ini ketika ia berbicara dengan arwah. Namun, herannya adalah kenapa saat ia berkomunikasi dengan Iman rasanya sangat mudah, tidak seperti arwah-arwah lain yang membuat bulu kuduk Seruni meremang.
'Karena aku baik, tidak seperti arwah-arwah lain yang berniat buruk padamu.' Sahut Iman tanpa diduga-duga.
"Jangan membaca pikiranku, hantu!" Seruni berdecak pelan, kenapa Iman mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
Beberapa tetangga Seruni juga melintas di jalan itu, mereka yang sudah mengenal keluarga Seruni tidak heran dengan gadis itu.
Seruni memperbaiki posisi duduknya, ia ingin mengayuh sepedanya lagi, rumahnya sudah semakin dekat.
'Eits, tunggu dulu, jangan pergi.' Iman berusaha menghadang Seruni, tapi nihil, tubuhnya yang transparan tidak bisa melakukan banyak hal.
Seruni mengabaikan ucapan Iman, ia melanjutkan kayuhannya.
Rumah bergaya minimalis dengan lantai dua terlihat bersih daripada rumah-rumah disekitarnya, Seruni akhirnya tiba tepat di depan gerbang. Ia tersenyum penuh kemenangan sambil melirik Iman, ketika ia sudah memasuki gerbang ini, maka arwah apapun itu tidak akan bisa masuk ke dalamnya.
'Ku mohon, Seruni! Bantu aku.' Iman terus menerus memohon pada gadis itu. Kematiannya bukan murni atas panggilan Tuhan, Iman dibunuh, ia dijadikan tumbal.
'Tempat yang kamu jadikan kegiatan itu adalah tempatku meninggal, di sana aku menjadi korban, aku ditumbalkan.' Iman terus meracau, berharap agar Seruni mau mempercayai dirinya.
Tangan Seruni yang hendak meraih gagang gerbang pun terhenti, ucapan Iman terdengar serius dan tidak main-main. Apa benar kawasan desa Rogokepaten benar-benar berbahaya seperti kata Bagas dan Adel dikelasnya tadi?
'Aku tidak berbohong, di sana sangat bahaya.' Tambah Iman lagi.
Seruni mencerna ucapan pria hantu itu dengan baik-baik. Namun, jika Rogokepaten berbahaya, untuk apa pihak kampusnya mengirim mahasiswa dan mahasiswi ke sana? Bukankah mereka telah menyalahi aturan jika begitu.
Seruni membasahi bibirnya yang kering, ia memutar tubuhnya untuk menatap Iman yang berada di belakang dirinya.
"Apakah kamu benar-benar serius? Jangan membohongiku!" Seruni memincingkan mata untuk meneliti raut wajah arwah transparan itu.
Meskipun terbentuk baik asap putih, tapi fisik Iman membentuk sebuah tubuh manusia yang sempurna.
'Aku serius, aku tidak berbohong!' Jawab Iman dengan betul-betul.
Seruni terdiam dengan isi pikiran berkecamuk. Iman ditumbalkan? Berarti desa Rogokepaten masih mempercayai praktik magis perdukunan atau semacamnya.
Iman menatap Seruni dengan harap-harap cemas, semoga saja gadis itu mau membantu mengungkap kematiannya yang tragis.
"Aku akan memikirkannya." Balas Seruni setelah sekian lama terdiam.
Ia pun melanjutkan kegiatannya untuk membuka gerbang lalu memasukinya. Seruni menuntun sepedanya dengan pelan, kepalanya masih memikirkan kejadian yang diucapkan oleh Iman.
Cukup sampai di depan gerbang saja Iman bisa mengikuti gadis itu, setelahnya tidak bisa. Rumah Seruni telah dipagari oleh doa-doa penangkal arwah, Iman menatap punggung Seruni dengan tatapan nanar, ia benar-benar berharap agar Seruni bisa membantunya.
Hanya gadis itu yang mampu melihat keberadaannya, Iman sangat membutuhkan Seruni.