"Aku mau minta maaf." Nurani tiba-tiba muncul di ruang kerja Aron, membawa pecahan-pecahan ornamen yang tadi ia jatuhkan. Awalnya, Aron terkejut, karena benda itu sangatlah mahal dan merupakan kesayangan ibunya. Namun, entah kenapa, kemarahannya lenyap begitu saja. "Letakkan saja di situ, nanti Tedy akan memperbaikinya," ujar Aron dengan tenang. Nurani mengangguk pelan, tapi hatinya masih saja diliputi rasa bersalah. "Sekali lagi, saya sungguh minta maaf, Tuan. Saya tidak sengaja," ucapnya dengan kepala tertunduk, menatap lantai granit yang dingin dan berkilau. Ia tidak berani menatap Aron. "Sebenarnya, apa yang membuatmu sampai memecahkannya?" tanya Aron. Nurani memegang tangannya sendiri, telapak tangannya berkeringat. "Saya menyukai benda itu. Bentuknya unik. Saya memegangnya, namu