Nurani Cahya.
"Berusaha lah untuk menyukai ku, karena kamu enggak diijinkan untuk mengenali laki laki lain!"
Kalimat tegas dan menuntut itu ia katakan padaku. Seolah aku memang hanya lah miliknya. Begitulah kalau kita memiliki uang dan kekayaan. Kita akan bisa mengendalikan apapun hanya karena nya.
"Baik, tuan."
Dan aku memang harus patuh padanya. Tidak apa apa, asal aku tidak perlu menikah dengan kepala desa itu. Seenggaknya aku tidak harus bersaing dengan kedua perempuan itu untuk berada di ranjangnya Pak kepala desa.
Aku banyak mendengar bahwa pak kepala desa itu memiliki dua istri yang selalu berterngkar setiap harinya. Mungkin sebab itu lah kepala desa itu stres dan ingin memiliki istri polos dan patuh seperti diriku. Karena ia ingin bahagia dan ingin menghindari pertengkaran mereka.
Namun menurutku caranya ini sangat lah salah. Karena dengan menikahi perempuan lain, bukan malah mengurangi masalah, tapi justru menambah maslaah.
Aku tidak mau menjadi korban kedua perempuan itu.
"Apa yang sedang kamu pikirkan hem?" tanya nya, seraya mengangkat dagu ku.
"Saya memikirkan nasib kedua orang tua saya. Saya enggak tahu apa yang dilakukan pak kepala desa itu ke pada mereka."
Tangannya berpindah ke pucuk kepalaku. "Kamu jangan khawatir sayang. Aku sudah menangani mereka." namun dalam perkataannya sepertinya ia tidak yakin. Aku enggak tahu apa yang menyebabkan dia ragu dengan perkataannya sendiri.
"Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku akan meminta maaf pada mereka."
Dia menarik ku ke dalam pelukan. "Kalau untuk yang satu itu, kamu masih belum aku ijinkan sayang."
"kenapa Tuan?"
"karena banyak sekali yang belum selesai. Kamu tahu kan kalau kepala desa itu sangat licik, bahkan setelah aku memberikan uang, dia tetap menekan kedua orang tua mu."
Dia merapikan rambutku, dan meletakan di balik telinga. "mari kita pikirkan tentang masa depan mu. Apa kamu mau kuliah?"
Aku bahkan enggak pernah memikirkan ini sebelumnya.
"Kuliah tuan?"
Dia mengangguk, mengajak ku duduk di sofa dan menaikan ku ke pangkuannya. Aku dibuatnya seperti koala aku duduk menghadap padanya. Dia memeluk pinggangku dan menatap wajah ku dengan lekat.
"Iya. Kamu harus kuliah dan memiliki pendidikan yang tinggi. Tapi ..." dia menekan hidungku.
"Aku punya satu pesan untuk mu." dia memegang kedua sisi wajah ini. "Kamu jangan pernah tertarik pada laki laki lain. Atau ... aku akan membunuh laki laki itu!"
Aku tidak akan pernah melakukan itu. Tujuan ku satu, aku harus memiliki pendidikan yang tinggi dan mengangkat derajat kedua orang tuaku.
"Baik, tuan."
Dan setelah itu, aku akan balas budi pada laki laki ini. Apapun yang ia inginkan maka akan aku lakukan termasuk aku harus menikah dengannya.
Aku tidak peduli!
Mungkin saat ini aku masih belum mencintainya. namun ... suatu saat aku yakin rasa itu akan datang. Siapa perempuan yang tidak akan menyukai laki laki tampan dan baik seperi dirinya.
"Nurani, saya ini kalau sama perempuan patuh dan mau menjaga harga diri saya. Maka saya akan sangat loyal. Saya bisa memberikan apapun untuk kamu."
Kedua sorot matanya terlihat sedih namun juga menyiratkan sebuah gairah. Wajahnya semakin mendekat dan aku menahannya.
"Saya sudah pernah bilang, sama tuan. Saya enggak bisa tuan sentuh tanpa pernikahan."
Dia terdiam.
"Pernikahan?"
Aku mengangguk. "benar. "
"Aku masih belum bisa menikahi seseorang,"
"kenapa tuan?"
Dia terdiam menggeleng pelan dan terdengar helaan napas resah. "karena ada hal di dalam diri saya, enggak bisa mengijinkan itu."
Apa dia sudah memiliki seorang istri?
Dan karena itu lah dia tidak bisa menikahi ku?
Padahal kalau dia menikahiku, maka aku enggak akan pernah melrangnya untuk menyentuh ku.
maksudku, dia sudah berbuat banyak padaku. Namun meski begitu, aku tidak akan pernah mengijinkannya untuk menyentuh ku tanpa sebuah pernikahan yang syah.
"Oh ..."
"Tapi Nurani ..." dia menatapku lekat. "Saya tidak akan pernah meninggalkan kamu. Saya berjanji dengan diri dan segenap jiwa saya. Bahwa saya akan selalu bersama kamu. Saya enggak akan pernah menghianati kamu. Kalau itu sampai terjadi, maka saya--"
"Tuan ...."
Aku turun dari pangkuannya. "Bukan itu yang saya maksud. Saya ini siapa, saya hanya seorang gadis yang enggak memiliki apapun. Hanya harga diri saja yang saya punya. "
Aku bukan melarangnya untuk menikah atau bertemu gadis gadis lain di luar sana. Siapa aku yang bisa melarangnya. tapi aku hanya ingin menyelamatkan diriku dari sebuah kehancuran dan ke hinaan. Hanya itu saja.
"Saya tidak melarang tuan untuk bertemu dengan gadis lain. Tapi saya hanya ingin menjaga diri saya dari ketidak pastian. Saya tidak mau mengorbankan diri saya untuk sebuah hubungan yang enggak jelas."
Dia ikut berdiri dan berhadapan dengan ku dengan memegang kedua bahu ini. "Sayang ... aku memiliki alasan yang sangat kuat. Suatu saat aku pasti menceritakannya padamu. Dan pada saat itu aku ingin kamu tetap setia, meski alasan itu telah membuat mu sangat takut berhadapan dengan ku."
"Sangat takut?"
"Iya. Kamu akan sangat takut berhadapan dengan ku." tangannya berada di daguku. "Namun meski begitu, aku enggak akan pernah melukai mu."
Dalam satu tarikan dia berhasil membungkan mulut ini.
***
Aku berada di depan sebuah kampus. Entah bagaimana caranya laki laki ini telah memasukan ku sini. Padahal aku sama sekali enggak membawa dokumen penting dari sekolah asal ku.
"Satria akan mengantarkan mu ke kelas mu. Kamu di sana akan belajar dan memiliki banyak teman. " tangannya berada di pundak ku. Jarak kami sangat dekat, sehingga aku bisa menghirup wangi parfumnya yang manly.
Hari ini Tuan Nelson sepertinya akan mendatangi pertemuan penting atau entahlah.
Dia tampan sekali.
"Mm ... baiklah."
Aku melepaskan diriku, aku enggak mau laki laki itu kembali mencium ku seperti waktu itu.
Sepertinya dia mengerti dengan perasaan ku, sehingga dia terlihat tersenyum tipis. "Sepertinya kamu menghindari aku, sayang?" tanya nya.
Ku kulum bibir ini karena jujur saja, masih terasa kecupannya yang agak kuat itu. AKu takut memikirkannya!
Dia terkekeh pelan. "Baiklah, aku minta maaf. AKu tidak akan melakukannya lagi,"
Dia berbohong. Karena nyatanya dia selalu melakukannya. Menyebalkan!
"baiklah, satria antar kan nona ke dalam kelas. pastikan tidak ada orang yang menganggunya, terutama seorang laki laki!"
Tegasnya!
*
"Kak tia, apakah aku akan memiliki teman di sini?" tanya ku pada Satria. karena umur kami yang memang terpaut jauh, aku tidak mau bersikap enggak sopan padanya.
"pasti. Tapi pastikan kamu menemukan teman yang tulus. Ada baiknya kamu jangan sebut sebut nama nelson. Temukan teman yang akan menerima mu apa adanya. Dan satu lagi ... jangan dekat dengan seorang laki laki. Karena kalau itu terjadi, maka Tuan akan marah."
"Aku mengerti, kak tia."
Aku diantarkan masuk ke dalam kelas, ketika ...
"Nurani!"
AKu menoleh dan menemukan sepupuku. Dia Enelis, dia anak orang kaya. Dan ya ... kami telah lama enggak bertemu. Karena dia anak orang kaya dan aku malu bertemu dengannya.
"Enelis!"
Dia menghampiirku. "Kamu ngapain di sini?" dia meneliti penampilan ku. "Kamu enggak mungkin kan kuliah di sini? memangnya om dan tante punya uang dari mana? atau ... kamu kerja ya di sini? kamu kerja di kantin sebagai pelayan ya? oh, pasti begitu. Kalau begitu, kamu segera ke kantin karena sebentar lagi di sana akan ramai. Ayo pergi!"
Enelis menarik ku keluar dari ruangan itu, Satria hampir menahan tingkahnya Enelis. Namun aku memberikan kode padanya agar aku tidak memperlihatkan identitasku sebagai perempuannya Tuan Dominggo.
"Enelis! aku kuliah di sini!"
tegas ku, dan membuatnya melebarkan kedua mata.