"Aw!" Elena mengaduh sakit ketika kakinya ditarik begitu saja oleh pria yang beberapa saat lalu menolongnya. Ia lantas memandang pria itu dengan tatapan kesalnya. "Kau sengaja ingin menyakitiku ya?!" protes Elena yang hanya dibalas dengan wajah datar. Sontak saja itu membuat Elena bertambah kesal. "Hei jawab aku! Kau sengaja kan?"
Pria tanpa nama itu lantas berdecak sebelum memutar matanya malas. "Diamlah!" lalu melanjutkan kegiatannya untuk membungkus pergelangan kaki Elena menggunakan sapu tangannya. Setelah selesai, ia lantas segera berdiri hendak pergi begitu saja tapi suara wanita di belakang menghentikan langkahnya. Ia pun terpaksa kembali berbalik, memandang wanita itu dengan tatapan datarnya. "Apa lagi?" ucapnya.
"Kau ingin pergi begitu saja? Meninggalkanku di sini?!" tanya Elena dengan mata membelalak. Ia tidak percaya jika pria di depannya itu akan meninggalkannya di lorong hotel sendirian.
"Lalu aku harus apa?"
"Setidaknya jadilah gentle man." Elena mengangkat dagunya sombong untuk menutupi perasaan malunya.. "Jadi kau harus membantuku,"
"Bukankah aku sudah membantumu?" Pria itu mengerdikan bahunya ke arah pergelangan kaki Elena yang sudah terbalut dengan sapu tangannya.
Elena berdecak kesal. "Bukan bantuan itu!" ia mengulurkan kedua tangannya, berharap pria itu akan segera menggendongnya pergi dari lorong hotel yang sepi. Tapi yang ia dapatkan justru tatapan dengan satu alis terangkat. Elena kesal bukan main. "Gendong aku!" dan wajahnya seketika memerah malu.
Pria itu menghela nafas kasar sebelum akhirnya menunduk untuk menggendong Elena. Ia baru akan mengangkat wanita itu, tapi tidak jadi ketika ia dengar suara langkah kaki dari ujung lorong. Ia seketika menjauh.
Mendengarkan hal yang sama, Elena pun ikut menoleh, terkejut menemukan Felix yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut wajah marahnya. "Felix..." gumamnya pelan.
Felix akhirnya sampai di depan Elena, melirik sekilas pada pria yang berdiri di dekat Elena sebelum akhirnya berjongkok. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa di sini?"
"Aku..." Elena menggigit bibir bawahnya gugup. Haruskah ia mengatakan semuanya pada Felix tentang apa yang menimpanya? Tapi bagaimana jika nanti Felix marah?
"Jawab aku Elena?"
"Tadi aku–"
"Dia terjatuh." tanpa disuruh, pria yang tadi menolong Elena ikut berbicara. "Dan kakinya terkilir."
Felix menatap pergelangan kaki Elena sejenak lalu kembali menatap Elena. "Bagaimana bisa kau terjatuh?" untuk sesaat Felix kemudian menyadari jika Elena tengah memakai jas. Ia pun segera melepas jas itu dari tubuh Elena, membantingnya kasar dan mengganti jasnya untuk menutupi tubuh Elena. Raut marah kembali muncul diwajah Felix ketika ia sadar jas yang tadi dipakai Elena, sama dengan warna celana yang dipakai pria di sebelahnya. "Siapa dia, El?" tanya Felix.
"Dia yang sudah membantuku,"
"Kau tidak bohongkan?"
Elena menatap Felix terkejut, tidak percaya jika kekasihnya itu akan bertanya seperti itu di saat ia tengah kesakitan. "Kau meragukanku, Lix?"
"Bagaimana aku bisa percaya, El? Bajumu robek dan kau memakai jas pria lain."
"Wow! Santai, dude." pria itu kembali bersuara sambil mengangkat kedua tangan di depan d**a. "Aku tidak melakukan apapun padanya," tunjuknya pada Elena. "Jika kau tidak percaya, kau bisa cek CCTV di depan toilet. Dan sejujurnya, aku menolong kekasihmu yang terlibat perkelahian dengan dua orang wanita."
Elena membelalakan matanya lalu menggeleng pada Felix yang kini menatapnya kesal.
"Kau berkelahi, El? Seriously?!"
"Itu...hanya salah paham." ucap Elena pelan. Dalam hati ia mengumpat kesal pada pria itu yang membuatnya terpojok di situasi seperti ini. Bahkan yang membuatnya semakin kesal, pria itu malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa padanya. Sialan!
***
Menekuk wajahnya lantaran kesal yang melanda, Elena langsung bergegas turun ketika mobil yang ia naiki itu berhenti. Dengan langkah tertatih, Elena masuk ke dalam rumah, meninggalkan Felix yang mendengus kasar sebelum menyusul turun. Pria itu menahan Elena ketika kekasihnya itu baru akan menaiki tangga. "Lepaskan, aku!" Elena memberontak ketika Felix tidak juga melepaskannya. Pria itu menatapnya datar.
"Jangan bertingkah seperti anak kecil, El."
"Seperti anak kecil?!" Elena tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar ini. Padahal nyatanya Felix lah yang bertingkah seperti anak kecil dengan menuduhnya berselingkuh dengan orang asing. "Aku terjatuh dan seseorang menolongku, dan kau malah menuduhku berselingkuh dengannya. Bukankah kau yang bertingkah seperti anak kecil?!"
"Elena pelankan suaramu. Kedua orang tuamu bisa mendengar."
Elena mendengus keras. "Biar saja mereka mendengar!"
"Kau–"
"Apa?" Elena mendongakan dagunya, menantang Felix.
"Sudahlah. Lebih baik kau masuk." Pada akhirnya Felix memilih untuk menyerah. "Aku pulang!" Lalu berbalik pergi memasuki mobil.
"Dasar b******k!" umpat Elena sebelum akhirnya memilih masuk, melewati kedua orang tuanya yang menatapnya penuh kebingungan.
"Bagaimana pestanya, El?" tanya Agatha dari ruang tamu. Wanita yang masih terlihat cantik diusia yang hampir menginjak usia lima puluh itu lantas mendekat dengan tatapan khawatir ketika melihat penampilan Elena yang berantakan. "Ya ampun, El! Apa yang terjadi padamu?"
"Ini hanya luka kecil, Ma. Aku tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa bagaimana?! Lihat tanganmu terluka." Agatha menunjuk lengan Elena yang sedikit memar dan juga terluka, bekas cengkeraman dari wanita gila di pesta tadi. "Ayo ke ruang tamu, biar Mama obati."
"Ma tidak us–"
"Tidak ada penolakan, El! Cepat duduk!"
Karena tidak punya pilihan lain, Elena pun menurut. Duduk di ruang tamu dengan tangan bersedekap sementara matanya menatap pada layar televisi yang menyala. Tak berapa lama, Agatha datang membawa semangkuk air dan juga kotak P3K. Dengan terampil, Agatha mengobati luka Elena, mengabaikan ringisan kesakitan dari putrinya itu.
"Ma sakit!"
"Diam. Jangan cengeng."
"Tapi sakit, Ma." rengek Elena.
Agatha memutar matanya malas, bosan mendengar rengekan putrinya itu. "Tidak usah berlebihan."
"Papa pulang."
Christoper yang baru saja pulang bekerja langsung tersenyum ketika melihat anak dan istrinya di ruang tamu. Ia lantas mendekat, mengecup singkat kening istrinya sebelum beralih menatap sang putri yang tengah mengerucutkan bibirnya. "Ada apa dengan wajahmu, El?"
"Papa..." kali ini Elena merengek pada Christoper, beringsut mendekat untuk memeluk Papanya itu. "Mama menyiksaku." adunya berlebihan, yang dibalas oleh Agatha dengan dengusan pelan.
"Menyiksa bagaimana?"
"Lihat," Elena menunjukan lukanya pada Christoper. "Mama menyiksaku dengan memberikan antiseptik dilukaku."
"Bukankah itu bagus agar lukamu tidak terinfeksi?" Christoper menaikan satu alisnya, bingung dengan apa yang salah dengan memberikan antiseptik diluka.
"Tetap saja ini menyakitkan."
Christoper terkekeh pelan. "Lalu apa yang harus Papa lakukan?"
"Potong uang belanja Mama!"
"Heh apa-apaan itu?!" Agatha kembali bersuara, menatap sengit pada Elena yang berdiri di belakang Christoper. "Jangan coba-coba kau ya!" ancamnya pada Christoper, yang dibalas dengan gelengan.
"Pa!"
"Maaf, El. Untuk yang satu itu papa tidak berani."
Elena mendengus keras, menatap sinis Agatha sebelum akhirnya berbalik memasuki kamar dengan kaki yang ia paksakan. Meski sedikit sakit, Elena sama sekali tidak ingin oran lain melihat kelemahan ya, termasuk kedua orangtuanya yang kini sibuk tertawa karena siaran televisi.