BAB 5

1200 Kata
Bus melaju dengan santai sepanjang perjalanan. Jalanan yang lengang membuat penumpangnya ikut terbawa dengan suasana pagi yang damai dan nyaman di jalanan perdesaan tersebut. Tak terkecuali EumJi dan So Ji. Kedua remaja itu tetap santai bolos dari sekolah mereka demi menuju ke sebuah tempat yang mereka idamkan.   Sesekali So Ji bermimpi bahwa dia ingin sekali bisa tinggal di kota. Bergaya seperti anak kota yang mengenakan pakaian bagus mereka. Mimpi itu mungkin akan segera terwujud jika ia bisa melanjutkan sekolah tinggi nantinya. Tapi So Ji tak cukup yakin dengan restu yang akan Ko Ji berikan padanya.   “Sudah mau sampai. Sudah mau sampai!” pekik EumJi girang setelah melewati satu halte yang akan mendekati kota nanti.   So Ji tersenyum singkat sambil mengamati sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan. Jalanan cukup sepi untuk ukuran daerah yang mendekati pusat kota. Hanya beberapa mobil yang melintas baik di darat maupun udara untuk pagi yang cerah ini. Dan malah lebih banyak mobil petugas keamanan ataupun ambulan yang lebih sering melintas tadi.   “Tak sabar untuk ke sana!” ujar EumJi lagi.   Tak lama bus berhenti. Menaik turunkan penumpang. Seorang wanita muda masuk dan ia seperti tak sehat. Wajahnya pucat dengan rambut yang sedikit berantakan. Ia batuk namun sengaja menutupinya agar tak terlihat terlalu buruk. Bajunya terlihat kusut dan sepertinya ia terburu-buru untuk bisa mengejar bus.   Wanita muda itu masuk dan berjalan menuju kursi belakang. Tepat di belakang kursi milik So Ji dan EumJi. Awalnya So Ji tak ingin menghiraukannya. Tapi setelah ia merasa terganggu dengan batuk wanita tersebut, ia jadi teringat dengan koki restaurant yang tadi malam ia dan kakaknya singgahi dan di sana juga ada yang memiiki keadaan batuk yang parah seperti wanita muda tersebut.   So Ji teringat dan iapun menoleh penasaran. Memastikan apakah kondisi tersebut sama persis seperti apa yang ia lihat atau tidak. Dan ternyata memang sama. Wanita ini bahkan lebih cepat terlihat gejalanya. Ia menggaruk bagian leher yang ia tutupi dengan perban. Meski begitu noda darah masih terlihat jelas di sana.   “Apa kau merasakan sesuatu?” tanya So Ji diam-diam menarik diri untuk mengamati wanita tersebut.   “Apa? aku semakin tak sabar untuk turun! Kita sudah sampai So Ji!” tunjuk EumJi ke arah halte bus tempat mereka berhenti.   So Ji yang mulai merasa aneh itu segera turun dengan EumJi. Sesekali So Ji melirik wanita aneh itu untuk memastikan keadaannya setelah tadi ia sempat melihat wanita itu memelototinya dengan terang-terangan.   So Ji menghela napas lega setelah benar-benar menginjak tanah. Setidaknya, ia terhindar dari kemarahan wanita tersebut karena ia telah lancang mengamatinya. Bus pun pergi dan So Ji memastikan wanita itu tetap di tempatnya. Mereka pun segera menuju stasiun kereta bawah tanah untuk segera berangkat ke kota.   Tepat setelah mereka turun ke bawah tanah, suara hingar bingar terjadi di ujung jalan. Bus yang mereka tumpangi tiba-tiba oleng karena terjadi sesuatu di dalamnya. Para penumpang berhamburan dan bahkan tak sempat menyelamatkan diri. Mereka berteriak minta tolong karena mendapatkan serangan wanita misterius yang mengamuk hingga melukai penumpangnya. Sang supir bus pun tak bisa mengendalikan keadaan hingga akhirnya bus terjun bebas ke sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat jalan cepat (tol) untuk truk yang melintas. Tabrakan pun tak terelakkan. Bus tersebut terbakar setelah mengalami tabrakan.   Kondisi yang sama juga mulai dialami oleh petugas Lee Yeon. Selama mendapatkan perawatan sementara di rumah sakit pedesaan ia juga mulai mengalami gejala batuk dan gatal di area luka yang ia dapatkan.   “Untung aku punya inisiatif membwa kalian ke sini dulu. Kalau tidak kalian bisa terkena virus antrax nantinya –“   “Apa itu sudah dipastikan virus anjing gila? Sepertinya beda sekali,” protes salah satu asisten wakil patroli yang tidak setuju dengan ide wakil patroli yang bukannya membawa mereka ke rumah sakit besar untuk mendapatkan perawatan.   “Itu sama. Kau ini tahu apa? aku kan sudah berpengalaman. Perawat di sini juga mengatakan demikian. Kau tidak perlu khawatir lagi petugas Lee,” ucap sang wakil yang mencoba menghibur Lee yang paling terluka serius akibat insiden itu.   “Petugas Lee, apa kau merasa lebih baikan?”   Petugas Lee Yeon mengangguk dan bahkan menunjukkan jempolnya sebagai tanda oke.   “Tapi daritadi kau terus batuk,” ujar rekannya yang terlihat khawatir.   “Mungkin obatnya, sudahlah. Ini sudah lebih baik. Pendarahannya sudah mulai mereda,” hibur petugas Lee sambil menunjukkan senyum cerahnya.   Masalahnya batuk tersebut semakin menjadi. Sesaat setelah wakil patroli melangkah pergi untuk melihat kondisi patugas lainnya, petugas Lee terlihat kewalahan dengan batuknya sendiri. Ia kini juga merasa gerah dan otot-ototnya kaku terutama di bagian yang tergigit.   Batuk tersebut juga semakin mengganggunya hingga beberapa saat kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.   Yaitu darah segar.   Petugas Lee terus batuk dan muntah darah segar yang tak lama kemudian juga mengeluarkan belatung-belatung kecil di bibirnya. Ia yang duduk sendirian dan takut, mulai merangkak keluar kamar untuk meminta bantuan.   Namun saat ia keluar dari kamar, suara gaduh yang lainnya juga terdengar dari kamar yang lain. Orang-orang dengan gejala sepertinya juga mengalami hal yang sama.   “Petugas Lee!”   “Ada apa dengan rumah sakit ini?” tanya wakil patroli yang mulai bergiidik ngeri dengan situasi yang mereka alami sekarang.   Di tempat lain, Ko Ji baru saja bersiap untuk mengendarai kendaraan beratnya untuk mengorek tanah. Dan saat ia tengah mengorek tanah itu, ia melihat banyak burung gagak berterbangan dan saling berkumpul untuk pergi ke arah selatan.   Langit juga tiba-tiba berubah gelap. Pagi yang cerah itu berubah menjadi mendung yang tak terduga. Firasat buruk Ko Ji mendera. Ia lantas turun dari kendaraan beratnya dan kembali mendengarkan suara dengungan yang amat keras.   Kali ini, suara itu di d******i dengan suara kaki orang-orang yang tengah turun dari gunung menuju ke desa mereka. Ko Ji siaga dan ia lantas berlari ke mobilnya menuju ke suatu tempat. Di tengah perjalanan ia melintasi rumah sakit pedesaan yang terlihat tengah terjadi huru-hara. Ia lantas menghentikan mobilnya dan mencoba bertanya kepada salah seorang yang berhasil melarikan diri lebih cepat menjauh dari rumah sakit kecil itu.   “Ada apa?”   “A..ada orang-orang yang mengamuk di dalam. Mereka..mereka menyerang kami!”   Mendengar hal itu Ko Ji tak berpikir dua kali untuk mendekat. Belum sampai ia ke pintu depan, sebuah jendela pecah karena seseorang terpaksa keluar dari sana untuk melarikan diri. Dari sanalah Ko Ji bisa melihat sosok petugas Lee yang mengamuk beserta rekannya yang lain yang telah menjadi seperti dirinya.   Mereka bergumam aneh dengan mulut menganga mengeluarkan darah dan belatung. Kondisi ini mengingatkan Ko Ji dengan pria yang ada di terowongan.   “Tolong! Tolong!”   Teriakan minta tolong terus bersahutan. Salah satunya adalah petugas dan wakil patroli yang hendak melarikan diri namun berhasil ditangkap oleh rekan mereka sendiri yang telah terinveksi. Mereka terjebak dan mencoba melawan namun pada akhirnya juga terkena gigitan.   Ko Ji mendekat untuk menjauhkan salah satunya untuk menyerang wakil patroli, namun sayangnya tenaga mereka amatlah besar hingga Ko Ji sempat akan terjatuh saat menghalau kepala mayat hidup itu. Dengan ligat Ko Ji tanpa segan memutar kepala tersebut dengan tangannya. Dan tak lama, petugas yang terinfeksi itu jatuh terkulai di lantai lalu tak bergerak lagi.   “Apa yang kau lakukan! Itu pembunuhan!”   Dengan tenang Ko Ji menjelaskan kepada wakil patroli yang ketakutan.   “Mereka bukan lagi manusia. Kalau kita tak membunuh mereka, maka kita yang akan terbunuh.”   .     .   bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN