BAB 7

1733 Kata
Gelombang manusia memaksa So Ji terpisah dengan EumJi. Sekuat apapun So Ji mencoba untuk kembali turun ke bawah, situasi semakin memburuk karena mayat-mayat hidup itu. Beberapa ada yang mencoba melawan, tapi mereka juga akan berakhir digigit atau mendapat gejala yang sama seperti mayat hidup itu. Dan mereka semakin brutal jika masih ada manusia yang bergerak ataupun hidup. So Ji berlari sekuat tenaga untuk bisa melarikan diri dari seseorang yang akan berwujud menjadi mayat hidup. Dengan sigap So Ji mengambil sebatang besi untuk menghalaunya menjauh. Tapi usahanya sedikit sia-sia karena pukulan-pukulan tersebut tak cukup berpengaruh pada mereka. So Ji kembali berlari dan pada akhirnya menemukan lorong yang menghubungkan ruang bawah tanah kembali. So Ji sempat ragu untuk masuk karena bisa jadi ada banyak mayat hidup di sana, tapi karena telah terdesak, iapun masuk dan bersembunyi. Dan sebuah fakta terkuak. Mayat-mayat hidup itu tak masuk ke lorong gelap tersebut. Seseorang yang mengejar So Ji tadipun hanya mengendus dan berdiri di tempatnya tanpa berkeinginan untuk masuk. Padahal jarak So Ji dengan manusia tersebut sangatlah dekat. Namun manusia tersebut tetap tak mau melangkah masuk ke dalam. So Ji menahan napas. Ia sendirian dan ketakutan. Tak ada yang bisa menyelamatkannya sekarang kalau bukan dirinya sendiri. Ia tadinya ingin menangis tapi suara-suara napas seperti dirinya kerap terdengar. So Ji merasa masih belum aman. Ia meraba dinding dan seperti merasakan sesuatu. Samar-samar dari kegelapan, terdengar langkah kaki dan juga suara deruan napas. So Ji menahan napas agar tak diketahui. Keringat mengucur deras karena dirinya terjebak. Dan sesaat setelah dia pasrah, tangannya ditarik kuat untuk menghindari area luar yang muncul banyak mayat hidup. So Ji ingin teriak tapi akhirnya ia tahan karena melihat wajah-wajah manusia seperti dirinya telah menolongnya. Salah satu dari mereka menyalakan pemancis untuk memberitahu pada So Ji, bahwa mereka benar-benar manusia. "Kau tidak apa-apa?" "Ka..kalian sama sepertiku?" "Tentu saja. Mereka tidak akan masuk ke dalam ruangan gelap. Tapi sebelum itu, kami harus memeriksamu! Apa kau digigit atau terinfeksi?" tanya salah satu dari mereka yang tampaknya seperti mahasiswa. Mereka mengenakan baju alamamater dan juga tas besar di ransel mereka. Cuma ada dua orang. Yang lain terlihat seperti pekerja biasa dan murid sekolah seperti So Ji. "Tidak. Aku tidak digigit sama sekali." "Dia aman. Suhu tubuhnya juga normal," ungkap seorang mahasiswi yang kemungkinan rekan dari mahasiswa yang menarik So Ji tadi. "Kau darimana dan mau ke mana?" "A..aku..aku dari desa Sobong. Aku dan temanku bermaksud ke kota. Tapi..kami terpisah," ucap So Ji sedih. Ia merasa terpukul karena memaksa EumJi untuk jalan-jalan hari ini. Seandainya ia tidak melakukan itu. Di desa pasti lebih aman daripada di tempat asing ini. "Sabarlah. Mudah-mudahan temanmu itu selamat --" "Tidak akan ada yang selamat. Monster-monster itu terus bertambah. Jika diantara kalian merasa mulai ingin batuk dan suhu tubuh kalian meningkat, sebaiknya keluar dari sini!" Ucapan lantang itu membuat So Ji terkejut sekaligus bingung. Dia tak sangka benar-benar berada di situasi seperti ini. Dunia luar semakin aneh. Setelah sebelumnya bermunculan virus-virus yang telah banyak menelan korbannya, sekarang muncul lagi yang lebih mengerikan dari itu. Mereka mengatakan bahwa ini semacam virus zombie. Gejalanya akan sama seperti sebelumnya. Demam dan batuk parah melebihi TBC. Asal muasalnya belum diketahui. Kemungkinan kegagalan imun dan vaksin sebelumnya dalam mengatasi virus terbaru ini. Sehingga manusia bukannya sembuh atau melawan virus baru tersebut, tubuh manusia malah bekerja sama dan membentuk kumpulan penyakit di dalamnya. Sehingga mereka menjadi manusia setengah hidup dan mati. "Sebenarnya..darimana awal datangnya penyakit ini? Kenapa..kenapa bisa sampai seperti ini?" Satu persatu orang-orang yang berlindung di tempat gelap ini mulai berputus asa. Jika yang menyerang hanya satu atau dua orang mungkin tidak akan menjadi masalah. Tapi seluruh manusia yang sehat pun bisa terjangkiti. Dan sekarang, tak ada lagi tempat bersembunyi yang aman selain kegelapan. So Ji teringat dengan sang kakak. Ia merasa terpukul terpisah seperti ini dengannya. "Kita jangan menyerah. Apapun yang terjadi kita akan keluar dari sini dan kembali ke rumah," pesan mahasiswi kedokteran itu sembari menyemangati orang-orang di sana. So Ji mendengar hal itu. Dan dia seperti terbakar semangatnya. Ada hal yang harus dia lakukan, selain berdiam diri di sini merengek memanggil sang kakak. Dia merada harus bangkit. Mengalahkan ketakutannya sendiri. Selama ia masih memiliki kaki, ia masih bisa berlari, maka ia bisa menghindari mayat-mayat hidup itu. Apalagi kelemahan mereka, juga sudah diketahui. "Jika kita berhadapan dengan mereka, bagaimana cara melumpuhkannya?" tanya So Ji memecah keheningan. Mahasiswa itu lantas berteori bahwa mereka harus dibunuh. Beberapa merasa ngeri mendengarnya. Tapi beberapa setuju dengan hal itu. Mengingat sebelum kemari, ada yang melihat para polisi yang menyerang para zombie dengan menembaki mereka secara membabi-buta. Dan saat mereka benar-benar mati, zombie tersebut berhenti bergerak. "Tapi polisi itu memiliki senjata api untuk melawan mereka. Kita...tidak memiliki apapun," rengek seorang pelajar bersama kedua rekannya yang lain. So Ji meringis karena ia sekarang malah tak bisa merangkul EumJi seperti itu. "Justru itu kita harus keluar dan mencari bantuan aparat. Mereka memiliki senjata untuk melawan mereka." "Kalau ini tak berhasil?" Semuanya terdiam. Memikirkan lagi apa yang harus mereka lakukan di ruangan sempit itu. Semangat mereka kembali menyurut karena rasa takut. Demikian pula dengan So Ji. Ia sempat ragu-ragu untuk mulai memberanikan diri menyerang. Namun karena rasa bersalahnya, So Ji membangkitkan lagi semangat itu dan mengajak yang lainnya untuk berjuang. "Aku ingin mencobanya! Bersembunyi atau tidak, kita tetap akan menghadapi kematian. Aku ingin pulang ke rumah! Aku akan melawan mereka!" Tak sedikit yang tersulut dengan kata-kata So Ji yang membangun. Dan tak sedikit pula yang memilih pasrah lalu tak melakukan apapun. Mereka memilih untuk berdiam diri di ruangan tersebut sampai menunggu bantuan datang. So Ji dan yang lainnya tak bisa melarang mereka. Keputusan tersebut adalah keputusan individu. Mereka berhak untuk memilih. Maka kelompok So Ji dengan mahasiswa kedokteran pamit untuk keluar dari ruangan. Mereka bersiap dengan senjata mereka seadanya. Pintu terbuka, dan situasi masih aman. Dengan perlahan, mereka yang berisika tujuh orang tersebut nekat keluar dari basement. Membuat barisan lurus dan mulai mengamati keadaan. Rasa takut mulai menyergap ketika mereka bisa mendengar eraman para mayat hidup yang terjebak di bawah tanah. Sadar situasinya memburuk karena banyaknya mereka, beberapa ada yang minta kembali ke ruangan. "Kita kembali saja. Ini gawat." "Itu tangganya. Kita bisa naik dari sana," bisik mahasiswi kedokteran itu sambil menunjuk arah tangga peron. Dari diskusi singkat, mereka akhirnya memberanikan diri menuju tangga peron di belakang para mayat hidup yang memblokade pintu depan. Secara perlahan mereka melangkah untuk menghindari suara bising ataupun langkah kaki. So Ji dan yang lain nyaris sampai ke tangga peron yang jaraknya tak sampai seratus meter itu. Namun tiba-tiba, salah satu ponsel dari mereka bertujuh berdering sehingga membuat para mayat hidup mencari sumber suara. Kepanikan pun tak terelakkan.. Sementara itu di desa, Ko Ji dan para tukang kebun lain berhasil mengalahkan para petugas dan beberapa pasien yang berubah menjadi mayat hidup. Dengan sedikit gemetar dan takut, wakil kepala memeriksa keadaan petugas Lee yang sangat mengenaskan. Padahal kepala patroli baru memberikan instruksi untuk merawat keadaannya dengan baik. Namun tak disangka petugas Lee berakhir menjadi monster. "Bagaimana rencana menutup gerbang? Bukankah gerbang itu sudah tak terpakai sejak puluhan tahun lalu?" ungkap rekan Ko Ji yang bernama Taek Gu yang sejak tadi dengan semangat dan tanpa takut membantu Ko Ji membereskan para mayat hidup. Tubuhnya yang atletis dan berotot membuat siapa saja yang melihatnya tertegun. Dan sudah tentu ia memiliki banyak tenaga untuk bertarung. Terbukti selama pergulatan tadi, Taek Gu banyak menyerang untuk melumpuhkan mayat hidup. Dan usahanya berhasil bersama dengan Ko Ji yang sejak tadi terus diam untuk berpikir. "Untuk itu kita harus mencobanya. Kepala desa harus mengaktifkan pagar tersebut." Namun rencananya itu malah ditentang kepala desa. Beliau menganggap hal tersebut tak perlu dilakukan. "Dengan mengangkat pagar itu, desa kita akan terisolasi. Bagaimana jika kita tak bisa menembus luar untuk meminta bantuan?" "Bantuan pasti akan datang. Tapi yang harus kita cegah sekarang adalah kedatangan mayat-mayat hidup itu ke desa kita!" ujar Taek Gu mewakili Ko Ji yang sejak kedatangannya ke kantor kepala desa, ia terus mengamati sekitar seolah mencari sesuatu. "Tidak bisa. Penduduk kita juga masih ada yang di luar. Jika kita menutupnya sekarang, mereka tidak bisa masuk!" ungkap kepala desa yang masih keukeuh dengan pendapatnya tersebut. Mendengar ada penduduk yang masih terjebak di luar dan kemungkinan akan kembali ke desa dengan berbagai keadaan, Ko Ji kemudian teringat dengan adiknya yang masih berada di luar. Ko Ji lantas keluar dari kantor dan langsung bergegas ke sekolah untuk menjemput So Ji yang sempat ia lupakan itu. "Ko Ji! Kau mau kemana?" "Tetap di sini dan pantau keadaan. Aku akan keluar meninjau sekalian menjemput adikku!" teriak Ko Ji yang langsung mengendarai pick upnya ke sekolah So Ji yang letaknya berada di perbatasan desa. Sesampainya di sana, Ko Ji menghela napas lega setelah melihat wilayah sekolah masih belum terjadi huru-hara apapun. Bertepatan dengan jam pulang sekolah, Ko Ji pun berniat untuk menunggu sampai adiknya itu muncul. Namun lima belas menit menunggu, tanda-tanda munculnya sang adik pun tak tampak. Ko Ji mulai memutar otak untuk mencoba bertanya pada teman-temannya. Namun sialnya, Ko Ji tak pernah tahu kelas, teman ataupun hal lain tentang adiknya di sekolah. Ko Ji terlalu acuh tentang hal itu. Dan jadilah ia uring-uringan di depan gerbang sekolah. Namun melihat situasi berbahaya kini, Ko Ji akhirnya memutuskan untuk masuk dan menemui guru yang ada di sana. Hingga seseorang yang mengenal Ko Ji mendekat untuk bertanya padanya. Ko Ji yang dalam keadaan siaga, malah membuat tangan seorang guru itu nyari tertarik ke belakang punggungnya. Untungnya Ko Ji masih berpikiran waras untuk tak melakukan hal itu pada guru wanita yang memanggilnya itu. "Maaf!" "Ah..tidak apa. Ka..mu kakaknya Han So Ji kan?" Ko Ji sedikit melirik curiga. Melihat hal itu sang guru wanita itu berinisiatif memperkenalkan diri agar Ko Ji tak salah paham dengannya. "Aku Chae Yeon. Guru sains di kelas So Ji." Ko Ji melunakkan pandangannya dan ia akhirnya tak perlu membuat kecurigaan lebih lanjut lagi. "Iya benar." "Apa anda datang ke sini untuk menjemputnya?" "Iya benar," jawab Ko Ji kaku tanpa menatap lawan bicaranya itu sedikitpun. "Sayangnya So Ji dengan temannya Eumji tak masuk kelas hari ini. Mereka bolos di jam kedua. Rekan-rekan mereka mengatakan bahwa kemungkinan mereka bolos untuk pergi ke kota --" Ko Ji sempat terkejut. Ia terus terdiam saat mendengar kabar tersebut. Situasi semakin tak terkendali dan ia harus meninggalkan desa untuk bisa membawa So Ji pulang. Hatinya mulai gelisah. Dan perasaannya memburuk. Melihat bagaimana jalanan dan juga kesibukan tak beraturan di perbatasan saja, sudah bisa ia bayangkan bagaimana keadaan dalam kota. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN