3. Maaf ya

936 Kata
Rumah megah senilai 17 Milyar itu adalah hasil jerih payah Raka selama ini, dengan bergaya Eropa Klasik. Tak banyak yang ia ketahui tentang Raka, seorang pekerja keras tak kenal lelah. Laki-laki itu tertidur pulas diatas ranjang  dengan posisi tengkurap, bajunya belum ganti, sepatu masih di pakai. Dengan hati-hati perempuan itu berinisiatif mencoba membangunkannya. "Mas Nugra! Kamu nggak mau ganti dulu atau mandi gitu kak?" tanya Genga dengan menggoyangkan lengan Raka pelan. Ia membelai rambut Raka perlahan, bibirnya tersenyum kecil. "Mas, mandi dulu." bisik Genta dengan menggoyangkan lengan laki-laki itu lembut. Dengan susah payah Raka mengangkat kepalanya, ia mengucek matanya perlahan, "Sayang, gatel." ucap Raka dengan suara serak. Genta mengecek wajah dan tangannya, "Ya ampun! Mas kok bisa gini? Kamu alergi kacang?" Dia mengangguk pelan. Genta memukul dahi pelan, "Kenapa nggak bilang sih, Mas!? Coba kamu bilang, kan nggak aku paksa minta berhenti di gerobak sate tadi. Ayo ke dokter, Mas." Perlahan Genta membantu Raka bangun, seluruh tubuh Raka memerah. "Kita ke rumah sakit! Aku nggak mau kamu kenapa - napa, Mas." Lebih dulu ia mengambil tas, dompet dan kunci mobilnya, masalah mengendarai mobil tak diragukan lagi ia sempat mengikuti balap mobil dulu bersama Abimanyu. Apapun alirannya selalu ia coba, dari balap mobil, motor, semua telah ia cicipi. Ia membantu memapah Raka tangannya terus menggaruk wajahnya yang telah memerah dan bentol-bentol. "Jangan di garuk terus, Mas! Udah diem aja tangannya, nanti tambah parah. Kamu itu kalau ada alergi sama kacang kenapa nggak bilang sih sama aku," omel Genta. "Maaf, Sayang, aku tadi nggak enak buat nolak permintaan kamu. Apalagi kamu udah pesen kan, masa aku tega batalin gitu aja. Lagi pula udah lama aku nggak kumat kaya gini." Dia menyandarkan punggunya di kursi sebelah Genta, perempuan itu melajukan mobil Raka dengan kecepatan tinggi. Terlalu lama ia tak mengendarai mobil semahal milik suaminya itu, terakhir ia mencoba mobil temannya yang kebetulan menang taruhan. "Sayang, pelan-pelan aja bawa mobilnya. Jangan ngebut-ngebut, bikin kepala tambah pusing." protes Raka dengan mata tertutup. "Biar cepet sampai, Mas, udah kamu diem aja. Sebentar lagi sampai rumah sakit kok! Sabar dikit aja ya." "Tapi pelan - pelan dong! Kamu bawanya nggak kira - kira, ini jalan raya bukan arena balap." ucap Raka dengan menahan mual. ●●● "Ini resep obatnya, Mbak. Tolong hati-hati kalau milih makanan, Mas Raka punya alergi dengan makanan yang berbau kacang-kacangan. Jadi, untuk semua jenis kacang, tolong di hindari. Bisa tebus obatnya di apotik," ucap Dokter Ayu. Genta mengangguk lalu memapah Raka berjalan keluar. Laki-laki itu sangat pucat, tak ada tenaga untuk berjalan. "Masih gatel nggak, Mas?" Dia menggeleng pelan, sambil memegang lengan Genta. Untuk mempercepat recovery Dokter Ayu menyuntikan obatnya langsung. "Tebus obat dulu ya, Mas." Raka mengangguk lalu menghentikan langkahnya di samping Genta. Bahkan, tanganya tak mau lepas dari genggaman tangan perempuan itu. "Berapa, Mbak?" Genta mengambil dompetnya. "100 ribu mbak." Ia menyerahkan kartu ATM pemberian Raka semalam. "Terimakasih." Genta menenteng plastik putih tersebut dengan memasukkan kembali kartu ATM. Raka berjalan di sampingnya, ia sesekali memegangi kepalanya, tangannya bergelayutan di lengan Genta. "GENTA!!" Langkah kaki Genta berhenti begitu juga dengan Raka. Leher gadis itu serasa kram sesaat, suara teriakan tersebut sangat familiar di telinganya.  "Ada temen kamu," bisik Raka. "Siapa?" Genta merapatkan tubuhnya pada laki-laki itu. Raka menoleh sesaat, ia tersenyum kecil. "Aku tunggu di mobil aja ya." Raka melangkahkan kakinya meninggalkan Genta yang masih termangu. "Genta, lo ngapain?" Gadis itu menoleh lalu terkekeh pelan. Ia menggaruk kepalanya yang gatal, cengengas-cengenges layaknya maling tertangkap basah. "Kalian ngapain?" tanya Genta pada kedua temannya itu, Remon dan Ferdiana. "Lo tuh yang ngapain, mana sama Pak Raka lagi. Ini bukan serangkaian dari hukuman lo kan?" Remon bersedekap d**a dengan menatap Genta curiga. "Jangan bilang lo itu simpenan Pak Raka," sahut Ferdiana. Genta menepuk dahinya pelan, ia menarik kedua tangan sahabatnya itu menjauh dari rumah sakit. Mencari tempat yang sepi untuk memberikan klarifikasi pada mereka. "Kita mau kemana sih, Ta?" tanya Ferdiana. Mereka berhenti di parkiran mobil, kebetulan sepi. Genta menarik napasnya perlahan, ia menatap keduanya dengan cemas. "Ada apa sih, Ta? Apa hubungan lo sama Pak Raka?" tanya Remon. "Gue nganterin Pak Raka ke Dokter Ayu, dia alergi. Gara-gara gue dia jadi sakit," ucap Genta pelan. "... dia itu suami gue." "APA?!" teriak Ferdiana dan Remon bersamaan. Genta tersenyum masam, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Suami lo? Nggak halu kan lo, Ta?" "Gue nggak halu kek Remon, Ferdiana. Gue beneran udah nikah sama Pak Raka," jelas Genta dengan memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Remon menatap cincin Genta seksama, ia tersenyum tipis. "Tadi siang pas Pak Raka di kelas, gue sempet liat jari dia terus pakek cincin kayak gini. Sumpah mirip!" "Kan emang Genta istrinya, g****k! Ya jelaslah cincinnya sama!" komentar Ferdiana dengan menabok lengan Remon. "Terus kok lo bisa nikah sama doi? Pakek pelet apa lo, Ta? Mau dong gue," ledek Ferdiana dengan terkekeh. Genta menatap Ferdiana datar. "Gue di jodohin, almarhum bapak sama orang tua Pak Raka itu ternyata sahabatan. Mereka buat perjanjian gitu." "Gila! Gue juga pengen deh kek gitu, dapet suami ganteng plus kaya. Pak Raka gimana kalau lagi anu, Ta?" Alis Ferdiana naik turun menggoda Genta. "Anu apaan?" Remon terkekeh pelan. "Temen lo pura-pura nggak tahu, Fer. Maksud Ferdiana tuh mantab-mantab, lo udah gitu belum sama Pak Raka?" Pipi gadis itu bersemu merah, ia memalingkan wajahnya. "Udah ah, kasihan Pak Raka nungguin gue. Sampai besok ya!" "Hati-hati ya, Ta." Laki-laki itu bersandar di pintu mobil, ia tersenyum menatap Genta. "Udah? Mereka kaget nggak?" "Mereka heboh. Yuk pulang! Kasihan bentol-bentolnya belum hilang," ledek Genta dengan terkekeh pelan. Ia mengusap wajah Raka pelan. Hingga akhirnya mobil tersebut melaju membelah jalanan yang lenggang. Raka memejamkan matanya, mengusir rasa gatal yang mengusik tubuhnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN