2. Mencair

1430 Kata
Ferdiana Lo nggak papa kan, Ta? Genta gpp, emang knp Ferdiana Kemana aja sih lo, sejak di panggil Pak Raka lo ngilang Genta gue dihukum, baru pulang Ferdiana Oalah, semangat! Gue ke rumah budhe lo ya? Genta gausah! gue di luar Ferdiana Oke! Jaga kesehatan Genta mengembalikan ponselnya di tas, ia menatap jalanan yang melenggang. Hening! Laki-laki yang berada di sampingnya pun enggan buka suara, sedangkan dirinya bingung mencari topik pembicaraan. Berkali-kali ia menghembuskan napas beratnya, bosan.  "Kamu mau makan?" Genta melirik kecil lalu mengangguk.  "Kamu masih marah?" Genta menatap pemandangan di luar jendela, ia bungkam.  Masih aja nanya, dasar laki-laki nggak pernah peka! Perlu banget gue teriak, gue marah gitu? Bodo amat lah, gue nggak mau bicara sama dia. Raka melirik Genta yang fokus pada luar jendela. "Kamu mau apa? Aku beliin deh," bujuk Raka.  Beliin aja nggak usah banyak nanya!  Ngeselin banget sumpah!  "Kok diem sih? Aku minta maaf ya," ucap Raka dengan tersenyum. Ia membelokkan mobilnya ke pelataran restoran seafood kesukaan gadis itu, sejak siang tadi ia mencari apa pun yang di sukai istrinya.  "Ayo turun, makan."  Genta berjalan masygul di belakang Raka, bahkan hampir semua tatapan merendahkan di layangkan padanya. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuhnya, sedangkan laki-laki di depannya itu memakai setelan jas rapi. Jelas perbedaan yang sangat kontras.  "Itu cewek adiknya apa simpenannya?"  "Masa itu pacarnya?"  "Ah nggak mungkin, pasti itu adiknya."  Serah deh, yang penting gue kenyang disini. Mereka memesan di meja VVIP, tepatnya Raka. Perempuan itu hanya nurut saja. Wajahnya kusut, pengen cakar laki-laki yang berada di depannya ini. "Kamu kenapa sih? Marah banget ya? Maaf ya, aku pengen kamu jera aja. Aku manggil kamu itu biar kamu bisa tidur di ruangan aku bukan di kelas," jelas Raka.  "Tapi nggak harus cium juga kan?"  Raka terkekeh pelan. "Kenapa? Emang nggak boleh? Kita itu sudah sah, Sayang. Mau melakukan yang lebih juga nggak papa."  "Sebatas itu aja, saya masih sekolah. Saya harap anda paham!" Raka tersenyum miring. "Mau kamu masih sekolah, saya nggak peduli! Yang penting kamu tidak melawan aku."  "Terserah!"  Raka melambaikan tangan pada pelayan disana. Ia membuka daftar menu, lalu memesan beberapa menu makanan. "Besok kamu mau bawa mobil sendiri? Aku harus ke kantor dulu, baru ke sekolah." "Pakek motor aja," jawab Genta singkat. "Motor? Motor siapa? Adanya motor bebek milik Bik Ndari, kamu mau pakek?" Genta menggeleng pelan, dia membenahi posisi duduknya. Memandang wajah Raka dengan lekat. "Saya punya motor asal anda tau, Pak. Sebelum saya nikah dengan anda, pulang pergi saya naik motor." Raka tersenyum miring, gadis di depannya ini memang menguji kesabarannya. "Pasti juga nggak jauh dari Scoopy," ledek Raka. "Lihat aja besok, Pak. Pasti anda tercengang, dan saya harap anda mengizinkan saya bertemu dengan teman-teman. Saya tak membatasi anda untuk bertemu dengan siapapun! Silakan bertemu dengan siapapun, asal jangan untuk selingkuh!" "... yang saya tau, laki-laki sekali selingkuh pasti akan ada perselingkuhan selanjutnya." lanjut Genta dengan wajah datar. Raka terkekeh pelan, ia menatap Genta tak suka. "Asal kamu tau, prinsip hidup aku satu kali menikah seumur hidup. Jadi, coba biarkan aku memahami kamu lebih jauh lagi." "Anda tak perlu mencoba mencari, apapun yang saya lakukan adalah sesuai dengan diri saya. Tak perlu susah-susah memahami saya!" Genta memalingkan pandangannya, ia tak suka di usik kehidupannya oleh siapapun. Bang manyu kesini ya Genta kalau ada waktu Bang manyu ya elah dah punya suami mah beda Genta you know lah Bang manyu terbaik buat lo, kalau mau gabung chat Genta iya Ia memasukkan ponselnya kembali dalam saku, Raka menatapnya tajam. Laki-laki itu berdeham tak suka. "Ponsel terus. Sekarang gue tanya yang mencoba selingkuh lo apa gue?"  Genta tersenyum miring. "Cuman gue bales chat dari cowok bukan berarti gue selingkuh, Pak. Jangan ikut campur masalah pribadi gue, temen-temen gue semua cowok asal lo tau!"  "Jangan deket sama mereka, saya nggak suka!"  "Mereka nggak ada masalah sama lo, Pak, apa hak lo buat larang gue? Gue sama mereka itu temen, kita semua temen!"  Raka mengepalkan jari-jarinya, ruangan mereka privat tak ada satu pun yang mendengar pertengkaran mereka. "Udah lah, mending gue pulang!" ucap Genta dengan menggendong tasnya.  Laki-laki itu meremas rambutnya, lalu mengelus dadanya pelan. "Sabar, istri lo masih labil!"  Ia meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja lalu mengejar Genta yang belum menjauh. "GENTA!"  Perempuan itu berdiri di depan mobil Raka, ia bingung harus naik apa dan juga tidak mau mengeluarkan uang.  "Kok kamu ninggalin aku? Mubazir makanannya belum di makan, masuk lagi ya?" bujuk Raka dengan memegang bahu Genta. Perempuan itu menyentak tangan Raka, ia menatap laki-laki itu tajam.  "Kita makan, tapi nggak disini."  "Oke, sesuka hati kamu aja. Aku nurut," pasrah Raka. Mobil ferari hitam itu pun melesat meninggalkan pelataran restoran.  Genta menghembuskan napasnya pelan. "Maaf, kalau aku kasar."  Raka menoleh, lalu tersenyum tipis. "Nggak papa, maaf aku terlalu mengekang. Kalau mau ngumpul-ngumpul pamit ya sama aku, biar nggak khawatir."  "Iya."  Pandangan Genta jatuh pada penjual sate gerobak yang baru membuka lapaknya di pinggir jalan. Ia menepuk lengan Raka, lalu menunjuk gerobak sate tiga meter di depan mereka.  "Yakin makan disini? Kamu nggak malu?"  Genta menggeleng, lalu membuka pintu mobil meninggalkan Raka. "Astaga! Percuma gue habisin ratusam ribu kalau jajanannya aja di gerobak kek gini. Mobil bagus, makan pinggir jalan. Moga aja nggak ada yang kenal sama gue."  Raka menepikan mobilnya, lalu menyusul Genta yang duduk manis di lesehan yang telah di sediakan. Ia tersenyum lalu melambaikan tangan pada Raka. "Aku udah pesen dua porsi, kamu mau sate kan?"  "Iya, serah deh. Aku kira kamu nggak mau makan lesehan kek gini. Nggak malu apa?"  "Enggak lah, kenapa harus malu? Malah aku seneng makan di tempat kek gini, biasanya aku di ajak Bang Manyu." jelas Genta dengan tersenyum.  Dahi Raka mengerut. "Siapa Manyu?"  "Dia itu sepupu aku, udah aku anggap abang sendiri. Nanti aku kenalin sama dia, aku sering nongkrong bareng sama dia di pinggir jalan kek gini. Cari makan bareng," jawab Genta.  "Ternyata bikin kamu senyum itu mudah ya, nggak nyangka di tempat kek gini aja udah bisa senyum."  Genta terkekeh pelan, ia memeluk tubuhnya angin berhembus kencang. Sejak pulang tadi ia belum ganti baju sama sekali, Raka beranjak dari duduknya. Ia kembali membawa jaket kulit hitam miliknya. "Pakai nih, biar nggak dingin. Lagian tuh identitas sekolah kelihatan, di kira sekolah Om aku nggak tertib lagi." "Iya deh iya. Kamu kenapa sih mau jadi guru? Padahal udah enak kerja di kantor," jawab Genta. Raka terkekeh pelan. "Karena aku pengen liat keseharian kamu, pengen lebih deket sama kamu." "Halah, gombal!" "Beneran, coba kalau aku nggak jadi guru gimana kita bisa dekat? Aku pulang malem, pasti kamu udah tidur. Terus pagi kamu berangkat aku juga berangkat, nggak ada waktu kita bicara. Ini jalan satu-satunya aku bisa lebih mengenal kamu, lagian sekolah kamu juga punya Om aku." "Iya juga sih, kok bisa pelajaran kimia? Apa motivasi kamu buat ambil guru kimia?" Raka terkekeh pelan. "Aku sebelum megang perusahaan udah jadi sarjana pendidikan kimia, terus ambil S2 di manajemen bisnis." Genta menganggukan kepalanya paham. "Malam minggu jalan yuk?" "Kemana?" "Ke bioskop atau kemana gitu, mau?" tanya Raka. Genta menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Nggak seru kalau ke bioskop mah, gimana ikut aku aja." "Kemana?" "Tempat aku nongkrong biasanya, aku kenalin sama temen-temen. Mau?" tawar Genta. "Menarik. Boleh deh," jawab Raka. "Nah gitu dong. Biar kamu nggak berpikiran aneh-aneh terus sama aku." Raka tersenyum kecil, ia menatap langit yang bertabur bintang. Lama memang ia tak menghabiskan waktu di luar ruangan seperti ini, entah kapan terakhir ia melihat bintang menggunakan mata telanjang seperti ini. "Kamu tau nggak, Pak, bintang itu sahabat paling setia yang aku miliki." "Kenapa begitu? Bukannya mereka hanya ada di saat malam aja ya?" "Iya, tempat dimana aku mulai kembali ke peraduan. Kalau aku rindu Bapak sama Ibu cuman bintang yang dengerin, mereka nggak ngeluh sama semua cerita aku. Nggak ember juga, itu kenapa aku suka bintang. Andai namaku bisa di ganti, pengen ganti nama Bintang. Aku heran kenapa Bapak dulu suka sama lonceng," jawab Genta dengan menyeka kristal bening di sudut matanya. "Lonceng?" "Genta itu lonceng, mungkin sebagai pengingat. Aku itu di harapkan sebagai alarm alami buat sekitarku, mungkin gitu." Raka tersenyum kecil. "Kalau aku rindu Bunda, apa aku bisa cerita ke sahabatmu bintang?" Genta menoleh ia menatap laki-laki itu bingung. "Bukannya Bunda itu cuman tinggal di Bandung ya? Kan nggak jauh kalau rindu." "Beliau bukan ibu kandung aku. Bunda meninggal pas aku SMA, beliau cantik banget, lemah lembut, penyanyang." Genta menepuk pelan pundak Raka, lalu tersenyum tipis. "Jangan nangis, nggak malu dilihat sama sabahat-sahabat aku? Udah tua juga, Pak." "Tua-tua gini suami kamu, jangan panggil aku Pak diluar jam sekolah. Panggil Mas, Bang, atau Sayang." "Kak gimana?" tawar Genta. Raka berdecak. "Aku bukan Kakak kamu. Mas aja lah, ya?" "Iya deh...," "... mas." lanjutnya. Malam itu ada bongkahan es yang mulai mencair, tebing tinggi yang perlahan terkikis, dan sebuah hubungan yang akan semakin terus berkembang kedepannya. Dan semua itu akan menjadi kenyataan apabila ego dari kedua belah pihak saling di sisihkan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN