6. Ada Hans Di Sini

1734 Kata
Kiran merasa beruntung karena Elang mau mengantarnya pagi ini. Jika tidak, mungkin saja dia bisa terlambat masuk kantor. Dua minggu lamanya Kiran cuti dari pekerjaan. Rasanya akan aneh saja di saat selama itu ijin tidak bekerja, sekalinya masuk harus terlambat. Dedikasi Kiran sebagai karyawan rajin dan teladan bisa tercoreng nantinya. Wanita itu berjalan tergesa menuju lift karena lima menit lagi sudah jam masuk kantor. Namun, langkahnya harus terhenti karena indera pendengarannya merekam panggilan seseorang yang begitu nyaring. "Kiran!" Suara yang sangat familiar oleh Kiran. Tak perlu menebaknya karena dia sudah tahu siapa gerangan pria yang kini telah berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Benar saja. Hans berlari kecil mendekat dan kini telah berdiri menjulang di hadapan Kiran. "Hai, Hans!" Kiran menyapa sembari mendongakkan sedikit kepala karena tinggi tubuhnya hanya sebatas bahu pria itu. "Apa kabarmu? Maafkan aku tak bisa datang ke rumahmu untuk berbela sungkawa atas meninggalnya ayahmu." Wajah sendu serta raut bersalah Hans berikan. Kiran mengulas senyuman. "Tidak masalah, Hans," jawabnya. Kiran paham kenapa Hans tidak datang untuk memberikan bela sungkawa atas kepergian sang ayah tercinta. Semua karena dua sebab. Pertama karena rumah keluarga Kiran berada di kampung yang lumayan jauh jaraknya dari kota. Kedua, karena Kiran juga tahu jika selama tiga minggu Hans tengah berada di Jepang untuk mengunjungi seminar sekaligus menangani proyek besar di sana. Menggantikan sang owner perusahaan yang tidak bisa bepergian jauh karena suatu sebab yaitu harus menunggui sang istri yang bersiap melahirkan anak keduanya. Yup. Tuan Hiro tentunya si pemilik perusahaan besar Ichiro Company, tempat di mana Kiran juga Hans bekerja. "Kamu harus sabar. Semoga almarhum ayahmu diterima di surga-Nya." "Terima kasih." "Kamu mau naik?" "Hem." Kiran mengangguk. "Ayo!" Hans menggandeng lengan Kiran masuk ke dalam lift. Hans Anthony, lelaki yang menjabat sebagai tangan kanan sekaligus orang kepercayaan pemilik perusahaan, yang juga sebagai atasan Kiran. Lelaki yang sejak Kiran bekerja di kantor ini sekitar dua tahun lalu, selalu memberikan perhatian lebih padanya. Hans adalah lelaki yang baik, wajahnya yang tampan serta postur tubuhnya yang mendekati kata sempurna, mampu membuat perhatian wanita hanya tertuju kepadanya. Tapi anehnya sejak pertemuan pertama mereka, Hans tak henti memberikan perhatian lebih untuk Kiran membuat wanita itu terbawa perasaan. Bahkan tanpa segan Hans juga pernah mengungkapkan perasaannya pada Kiran dan sampai tahap mengajak wanita itu menikah. Kiran tahu jika Hans adalah lelaki yang bertanggung jawab, tapi Kiran tak dapat memberikan harapan lebih pada pria itu. Kiran terlalu takut bersanding dengan Hans. Selain karena rasa kerdil jika berdekatan dengan pria itu, juga suatu sebab hanya Kiran sendiri yang tahu. Menolak secara halus ajakan Hans yang ingin menikahinya waktu itu. Namun, bukannya marah dan menjauhinya, justru Hans tak mempermasalahkan hal itu. Hans masih setia memberikan Kiran waktu hingga suatu ketika Kiran mau menerima dirinya. Ah, Hans. Kenapa masih ada lelaki baik sepertinya. Batin Kiran selalu berkata. Ting Pintu lift terbuka menyadarkan Kiran dari semua lamunan. Hans menyentuh lembut tangan wanita itu. Membuat Kiran terjengit kaget. "Kiran, aku tahu kamu masih berduka. Dan jika kamu masih memerlukan waktu untuk menenangkan diri, aku akan memberikanmu tambahan cuti untuk beberapa hari." Hans seolah paham akan kesedihan yang Kiran tunjukkan karena sejak mereka masuk ke dalam lift, Kiran hanya diam melamun. Bahkan Hans sendiri tak berani mengganggu dan membiarkan Kiran menata hatinya agar kembali membaik seperti sedia kala. "Tidak, Hans. Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaan. Percayalah, aku sudah lebih baik sekarang." "Tapi jika kuperhatikan, sedari tadi kamu hanya diam melamun." "Maafkan aku. Yah ... Kamu tau sendiri semua serba mendadak dan ini sangat sulit aku terima. Tapi percayalah aku sudah berusaha ikhlas. Dan aku sudah lebih baik sekarang. Jadi ... Kamu tak perlu khawatir. Oke." Kiran berusaha meyakinkan Hans bahwa dia baik-baik saja. Sungguh, Kiran tidak ingin Hans mengkhawatirkannya. Dia bukan siapa-siapa yang pantas mendapat perhatian lebih dari Hans. Juga tidak ingin menjerumuskan Hans semakin dalam akan pesona dan kedekatan mereka selama ini. Tiba-tiba saja Kiran teringat akan pernikahannya dengan Elang. Detik itu juga rasa bersalahnya pada Hans semakin menjadi. Sanggupkah Kiran membuat kecewa Hans suatu hari nanti andai pria di sebelahnya ini mengetahui semuanya. "Oke. Baiklah kalau begitu. Jika kamu butuh sesuatu jangan sungkan bilang padaku. Aku akan selalu ada untukmu." Senyum Hans tak pernah habis setiap kali pria itu bersama Kiran. Wanita yang berhasil menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Gadis yang usinya beberapa tahun dibawahnya, tapi memang sengaja Hans yang meminta pada Kiran untuk memangilnya nama saja jika sedang berdua karena Hans merasa geli sendiri ketika hanya berduaan saja dan Kiran memanggilnya dengan sebutan Pak. Berasa semakin tua saja dirinya. "Terima kasih, Hans." "Sama-sama." Mereka berdua berpisah di depan lift karena Hans harus menuju ruang sang atasan, sementara Kiran harus menuju ke ruangannya sendiri. *** Waktu delapan jam yang dihabiskan dengan bekerja di depan layar komputer sepertinya masih saja kurang karena pekerjaan Kiran tetap saja tak berkurang sedikit pun. Dua minggu ditinggalkan membuat tugasnya semakin menumpuk. Bahkan hingga Kiran sampai melewatkan jam makan siang. Biasanya ada Hans yang dengan setia membawakan makanan jika Kiran tak sempat pergi ke kantin. Tapi hari ini lelaki itu sedang keluar kantor karena urusan pekerjaan. Perut Kiran sudah terasa melilit dan bisa dipastikan jika dia sedang kelaparan sekarang. Gegas membereskan berkas-berkas yang belum selesai ia kerjakan. Tak sanggup rasanya jika Kiran harus meneruskan semua pekerjaannya hari ini. Tubuhnya sudah cukup lelah. Waktu sudah hampir pukul enam petang. Saat Kiran berdiri dari duduknya, sudah banyak kubikel yang kosong ditinggalkan penghuninya. Hanya ada satu dua orang yang masih setia menekuri pekerjaan masing-masing. Wanita itu meninggalkan ruang kerjanya dan berjalan menuju lift. Berpikir sejenak dan menimbang-nimbang, dia harus pulang ke mana malam ini. Pulang ke rumah mertuanya yaitu Mama Rania atau pulang ke rumah sewanya. Selama Kiran bekerja di kota, wanita itu memang memutuskan untuk menyewa sebuah rumah minimalis yang lokasinya tidak jauh dari gedung perkantoran. Hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai sepuluh menit perjalanan. Sementara itu untuk sarana transportasi, Kiran mendapatkan fasilitas mobil dari kantor. Oleh sebab itulah kenapa dulu Kiran tergiur untuk bekerja di kota. Karena meskipun jauh dari rumah, akan tetapi banyak hal yang bisa di dapat olehnya. Selain pengalaman dan teman baru juga banyak fasilitas dan tunjangan yang Kiran dapatkan. Gajinya pun menggiurkan. Bisa beberapa kali lipat dari upah kerja minimum di kampungnya. Dengan bekerja di kota pula Kiran berharap dapat menabung lebih banyak demi mewujudkan mimpi dan keinginannya. Menjadi wanita karir yang sukses dan membanggakan bagi kedua orangtuanya karena mereka telah banyak mengeluarkan biaya demi bisa menyekolahkan dirinya. Kiran masuk ke dalam lift, sepi tak ada siapa-siapa. Sampai di lobi, pintu lift terbuka bertepatan dengan Hans yang juga sedang berdiri di depan lift. Sepertinya lelaki itu akan menaiki lift menuju ruangannya berada. Begitulah kinerja Hans. Tak ada jam kerja pasti selayaknya karyawan pada umumnya. Hans yang menjadi tangan kanan serta orang kepercayaan Tuan Hiro diwajibkan mampu menghandel apapun yang biasa Tuan Hiro kerjakan. Jadi tidak heran jika Hans akan sering keluar kantor untuk menemani sang atasan ataupun menangani proyek besar yang atasannya berikan. "Hai, Hans!" sapa Kiran terkejut mendapati lelaki itu juga tengah menatap padanya. "Ki ... benar sekali dugaanku. Pasti kamu belum pulang." Kiran mengernyit, lalu terkekeh mendengar perkataan Hans. "Tadi aku mau ke atas melihatmu. Dan ternyata bertemu di sini. Ayo, aku antarkan kamu pulang. Tinggalkan saja mobilmu di sini. Besok pagi aku jemput kamu lagi." Tawaran Hans yang disambut Kiran dengan perasaan kebingungan. Kiran hanya bisa tersenyum kikuk. Merutuki dalam hati kenapa Hans begitu perhatian padanya. Pantaskah laki-laki sebaik Hans harus ia sia-siakan. Pemikiran yang memenuhi otak Kiran membuat gadis itu menggelengkan kepala tanpa terasa. Siapa sangka jika semua pergerakan Kiran tak luput dari perhatian Hans dan menimbulkan tanya dalam benak laki-laki itu. "Hei, kamu kenapa. Are you okay?" tanya Hans khawatir melihat ekspresi wajah Kiran yang tak mampu ia prediksi. "Aku oke," jawab Kiran cepat dan singkat. "Jadi, ayo kita pulang." Hans bersiap menggandeng lengan Kiran. Namun, segera dicegah oleh gadis itu. Dengan gugup Kiran berusaha mencari alasan agar Hans tidak perlu mengantarkannya pulang. "Aku naik taksi saja." "Kamu nggak bawa mobil?" Hans bertanya karena tidak biasanya Kiran akan menaiki sebuah taksi. Setiap hari memang Kiran akan membawa mobil milik perusahaan sebagai alat transportasi pulang pergi dari kantor ke rumah sewanya. Kiran menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa dia memang tidak membawa mobil hari ini. "Berarti nggak ada alasan lagi buat menolak niat baikku. Ayo aku antar pulang." Hans berusaha kembali menarik lengan Kiran dan wanita itu hanya bisa pasrah mengikuti lelaki keluar dari lobi kantor. "Kiran!" Sebuah panggilan tak hanya menghentikan langkah Kiran tapi juga Hans. Keduanya sama-sama menoleh pada asal sumber suara. Dan mata Kiran melotot begitu melihat siapa gerangan yang tadi memanggilnya. Rupanya bocah itu juga sedang menunggunya di depan lobi dengan bersandar di samping mobil milik Mama Rania yang tadi pagi digunakan untuk mengantarnya juga. 'Untuk apa bocah itu ada di sini?' pikiran Kiran bertanya. Hans yang juga ikut berhenti dan berdiri di samping Kiran, melihat Elang lalu beralih menatap wanita di sampingnya. "Siapa?" tanyanya pada Kiran. Gugup? Tentu saja. Bagaimana Kiran tidak gugup jika dihadapkan pada situasi seperti ini. Berusaha menjawab dengan kebingungan. "Eum ... itu ..." "Kiran! Sudah malam, buruan!" teriak Elang sekali lagi karena kesal mendapati Kiran yang justru hanya diam mematung menatapnya. Bahkan wanita yang resmi menjadi istrinya itu tidak sendiri melainkan sedang bergandengan tangan dengan seorang pria. "Hans, maaf sepertinya aku tak bisa ikut denganmu. Aku pulang duluan, ya!" "Kiran. Siapa dia?" Hans tak berhenti bertanya demi ingin mengetahui siapa gerangan pemuda yang sedang menjemput wanita pujaan hatinya. "Besok aku ceritakan padamu. Sekarang aku pulang dulu. Bye!" Dengan cepat Kiran melangkah menghampiri Elang. Bocah itu justru sudah masuk ke dalam mobil lebih dulu Kiran buka pintu mobil. Kiran merasa lega bisa lepas dari cercaan Hans. Baru juga mendaratkan tubuh di atas jok mobil, Kiran sudah harus mendengar ocehan Elang, suami berondongnya. "Ditungguin juga ternyata malah pacaran. Tahu gitu males aku nungguin hampir sejam." Mobil melaju meninggalkan pelataran lobi kantor. Tak menanggapi gerutuan Elang justru Kiran sibuk mengamati Hans melalui kaca spion. Tampak dimatanya bagaimana Hans yang kini sedang melambaikan tangannya. Hingga mobil melesat menjauh sampai bayangan Hans tak lagi terlihat, barulah Kiran menyadari sesuatu. Sebuah ucapan yang tadi keluar dari mulut Elang dan mirip sebuah gerutuan. 'Sebentar, apa yang bocah tadi katakan? Menungguku hampir sejam. Benarkah dia mau menungguku selama itu.' Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, Kiran menolehkan kepalanya ke samping melihat wajah kesal Elang. Hal itu justru membuat wanita itu tersenyum simpul. Merasakan kebaikan Elang kepadanya. Di luar dari wajah menyebalkan suami berondongnya, rupanya tersimpan sebuah perhatian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN