7. Elang dan Perasaannya

1601 Kata
'Ck, rupa-rupanya wanita itu punya pacar. Lalu buat apa dia mau saja dijodohkan denganku. Benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran wanita. Harusnya dia menolak perjodohan sialan itu dan memilih pacarnya, bukannya malah setuju dan pada akhirnya aku juga yang menjadi korban,' gerutuan Elang hanya berani dia suarakan di dalam hati saja. Selama perjalanan tak sekali pun Elang membuka suara. Siapa juga yang tidak kesal jika harus berlama-lama menunggu seperti orang bodohh, kiranya yang ditunggu enak-enakan pacaran. Yang lebih menyebalkannya lagi Kiran sama sekali tak merasa bersalah. Kalau tidak karena mamanya yang mendesak Elang dan meminta padanya untuk menjemput wanita itu, Elang juga tak akan mau repot-repot seperti ini. "Eum ... maaf. Aku tadi tidak tahu kalau kamu menungguku," ucapan permintaan maaf Kiran ditengah keheningan perjalanan mereka berdua. Elang mengernyit mendengarnya, menoleh sekilas pada Kiran. Merasa aneh saja karena Kiran mau meminta maaf juga rupanya. Elang kembali fokus pada kemudi. Hingga tiba di rumah tak ada pembicaraan lagi diantara mereka berdua. Elang keluar dari dalam mobil tanpa menghiraukan Kiran. "Elang!" Baru juga Elang akan membuka pintu, Kiran memanggilnya membuat pemuda itu menoleh ke belakang. "Terima kasih sudah mau menjemputku," ucap Kiran lagi. Elang mendengus lalu menjawab sarkas. "Jika tidak karena Mama yang memaksaku, aku juga tidak akan mau repot-repot menjemputmu." Setelah mengucapkan kata menyakitkan itu, Elang berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Kiran begitu saja. Mendapati sang mama yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Wanita paruh baya itu menoleh seraya mengulas senyuman. "Elang sudah pulang?" tanya Rania menyambut kedatangan putranya. Elang hanya menjawab dengan anggukan kepala saja. "Elang ke atas dulu, Ma." Pamitnya pada Rania, setelah itu langsung menaiki anak tangga dengan tergesa menuju kamarnya. Membuat Rania hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku putranya. Tak lama berselang, Kiran menyusul masuk. Tak lupa memberikan salam pada mama mertuanya. "Kiran mandi dulu saja. Setelah itu kita makan malam." Rania berucap yang langsung dituruti oleh Kiran. Perempuan itu meninggalkan Rania menaiki anak tangga menuju kamar milik Elang. Baru juga Kiran membuka pintu kamar, tampak dimatanya jika Elang tengah meraih jaket kulit dari dalam lemari dan memakainya cepat tanpa menoleh sedikit pun padanya. Kiran hanya mengawasi saja gerak gerik Elang. Kini yang Elang lakukan adalah menyambar kunci motor yabg tergeletak di atas nakas. Sebelum lelaki itu berlalu keluar meninggalkan kamar, Kiran sempat bertanya. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu," jawab Elang sinis, membuka pintu kamar, keluar dan kembali menutup pintunya dengan sedikit bantingan. Kiran hanya bisa mengusap dadanya sabar akan perilaku buruk yang suaminya tunjukkan. Meski lebih muda tidak pantas jika Elang bersikap demikian. Elang adalah pria dewasa yang tidak seharusnya bersikap labil. Daripada mengurusi Elang, lebih baik Kiran mandi saja. Masa bodo dengan apa yang akan Elang lakukan di luaran sana. Elang sendiri tidak paham kenapa mood nya mendadak buruk seperti ini. Dia perlu melarikan diri berkumpul bersama teman-temannya. Turun ke lantai bawah langsung mendapat tatapan menelisik dari Rania. "Elang, kamu mau ke mana?" "Aku keluar sebentar, Ma. Ada urusan." Sebelum sang mama mencerca dengan berbagai macam pertanyaan, Elang segera berlalu menuju garasi. Memacu motor sport merahnya keluar dari garasi. Setelah kepergian Elang, Rania terduduk di atas kursi makan. Tidak tahu lagi bagaimana caranya mendidik Elang. Rania pikir dengan menikah maka perilaku Elang akan berubah. Memiliki rasa tanggung jawab pada istrinya. Nyatanya apa? Elang masih saja sesuka hatinya. Jika seperti ini, Rania jadi tak enak hati sendiri pada Kiran. Semoga menantunya itu bisa mengerti akan sikap dan perilaku Elang. Rania tak pernah berhenti berharap agar putra semata wayangnya bisa berubah suatu hari nanti. *** Seperti biasa, di sebuah tempat perkumpulan anak-anak motor teman-teman Elang telah berkumpul ketika pemuda itu datang. Reza, Dimas dan beberapa teman satu geng mengalihkan perhatian akan kedatangan Elang. Karena beberapa hari lelaki itu tidak datang menampakkan batang hidungnya di hadapan mereka. Baru pagi tadi mereka bertemu kembali dengan Elang setelah sekian hari. "Woi, Bro. Datang juga lo." Ber-higt five dengan mereka satu persatu, begitu Elang mendekat. Padahal hanya dua malam dia tidak datang ke tempat in, tapi sudah mendapat cercaan pertanyaan dari mereka. "Sorry, gue harus nemenin bokap dan nyokap ke kampung." Jujur Elang pada teman-temannya. Dia memang benar pergi ke kampung tempat tinggal keluarga Kiran. Untuk dinikahkan pula. Mangsedih, ya. "Kampung?" Dimas mengernyit karena merasa aneh. "Sejak kapan lo doyan pergi ke kampung. Tumben." Kembali Dimas mengajukan pertanyaan yang hanya dijawab Elang dengan mengedikkan bahu. Tidak mungkin juga dia bercerita pada mereka semua jika perginya ke kampung karena dipaksa harus menikahi seorang wanita. Bisa-bisa Elang akan menjadi bahan olokan mereka semua. Menghabiskan waktu hingga tengah malam berada di markas bersama anggota gengnya membuat Elang sedikit melupakan semua masalah. Ditambah dengan satu putaran balapan membuat kepenatan juga kekesalannya menguap sudah. Jujur Elang katakan jika dia merasa sangat terbebani dengan pernikahan yang papanya rancang ini. Elang merasa masih terlalu muda dan ingin hidup bebas tanpa kekangan siapa pun juga. Selama ini dia cukup stres karena cercaan papanya. Dan sekarang ditambah lagi dengan kehadiran seorang perempuan yang bergelar istri. Elang rasa ia tak akan lagi bisa menikmati masa muda yang tidak mungkin datang dua kali dalam hidupnya. Argh sial ... bisa gilaa lama-lama jika hidupnya selalu saja direcoki oleh keluarganya. "Bro!" Tepukan di bahunya membuat Elang terjengit karena kaget. Dimas lah pelakunya. Bahkan pemuda itu hanya nyengir tak sedikit pun merasa bersalah. "Lo kenapa? Gue lihat dari tadi lo bengong aja." Sial, rupanya Dimas menyadari. Elang merutuki kebodohannya yang justru banyak melamun malam ini. "I'm okay." "Serius?" Dimas duduk di atas motor yang ditopang dengan standar tengah. Saling berhadapan bersama Elang. "Ya." "Nggak biasanya lo banyak diem begitu." "Lagi capek aja. Ya, udah sih, gue balik dulu." Elang meloncat turun dari atas motor. Memakai jaket yang tadi sempat ia lepas. "Jam berapa sudah mau balik aja." "Capek gue." Helm susah terpasang di kepala. Lalu menaiki motornya. Sebelum pergi, Elang berteriak pada rekan-rekannya untuk pamitan. "Gue cabut dulu!" "Hati-hati." "Hmm." Memacu motornya meninggalkan mereka semua. Sebenarnya Elang enggan pulang ke rumah malam ini, tapi bagaimana pun juga pasti papa akan bertanya macam-macam padanya jika pulang lewat tengah malam. Bukannya Elang takut pada papanya, tapi dia sudah malas terus saja ribut dengan orang tuanya. Entahlah, Elang tak paham. Apakah memang dia yang salah atau papanya yang tak pernah bisa mengerti akan dirinya. Yang pasti tiap kali bertemu dengan sang papa yang ada hanya ribut dan ribut. Jarang sekali Elang bisa akur dengan papanya, padahal dia adalah anak satu-satunya yang dipunya oleh kedua orang tuanya. Beruntung masih ada Rania yang selalu menjadi penengah acapkali Elang dan Arman adu mulut. *** Rumah sudah tampak sepi. Mungkin semua penghuninya sudah pada tidur. Setelah memarkir motor di garasi, dengan mengendap-endap Elang masuk ke dalam rumah. Menaiki anak tangga sepelan mungkin agar tidak membangunkan siapa pun juga. Lega akhirnya sampai juga dia di depan kamarnya. Memutar handel pintu, masuk ke dalam kamar dan melepas jaket yang membungkus badan. Seperti biasa Elang akan langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, ingatan akan keberadaan seseorang yang menghuni kamarnya, membuat pandangan Elang tertumbuk pada wanita yang telah ia nikahi dua hari lalu tengah meringkuk di atas ranjangnya dengan berbalut selimut tebal membungkus sampai batas dadaa. Elang naik dengan perlahan ke atas ranjang. Mengamati wajah Kiran yang dengan santai meniduri ranjangnya. "Cantik," gumamnya. Tanpa sadar diam-diam Elang mengagumi Kiran. Tak dapat dipungkiri jika Kiran memang memiliki wajah yang cantik alami. Kulitnya putih bersih tanpa noda. Dan Kiran sama sekali tak terlihat tua atau terlihat berusia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya terlihat sangat polos. Seulas senyum tersungging di bibir Elang. Memberanikan diri mengusap rambut panjang Kiran yang tergerai di atas bantal. Sangat lembut dan wangi. Perlahan Elang mendekatkan wajahnya dan mencium untaian rambut yang berada di telapak tangannya. Mata Elang mulai menelusuri lekuk leher Kiran yang jenjang dan mulus. Glek dengan susah payah Elang menelan air liurnya. Ini sudah gilaa, kenapa juga Elang begitu tertarik pada wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Tentu saja, karena Elang adalah lelaki dewasa. Kini tangan Elang juga telah berani menyentuh serta mengusap pelan pipi mulus Kiran. Sangat hati-hati agar tak sampai membangunkan si empunya. Beruntung karena detik itu juga Elang tersadar jika dia tak boleh bersikap lebih. Elang harus sanggup mengontrol naluri lelakinya. Dan sepertinya Kiran mulai merasa terusik dalam tidurnya akan semua perlakuan Elang. Kiran mulai menggeliat dan menggerakkan tubuhnya. Mata indah dengan bulu mata yang lentik mulai terbuka. Terang saja Kiran terkejut karena jarak wajah mereka berdua yang begitu dekat. "Mau apa kamu?" tanya Kiran panik mendapati wajah Elang yang tak juga beralih. "Harusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu tidur di ranjangku?" s**t! Elang harus bersikap pura-pura jika tidak ingin malu karena beberapa detik lalu sempat mengagumi Kiran. Berlagak galak di depan Kiran. Dengan tergesa Kiran bangun dari berbaringnya, menyingkap selimut juga mengambil bantal dan berlalu menuju sofa. Membaringkan dirinya di sana karena tidak ingin berurusan dengan Elang. Tidak masalah jika pagi nanti tubuh Kiran akan merasakan pegal-pegal asal dia tidak banyak terlibat fisik dengan bocah tengil itu. Merutuki kesialannya karena harus memiliki suami bocah yang sikap dan tingkah lakunya sangat tidak sopan. Sementara itu, Elang tersenyum simpul merasa menang berhasil mengintimidasi Kiran. Sebenarnya tidak ada masalah juga seandainya Kiran tidur di atas anjang yang sama dengannya. Sama sekali Elang tidak keberatan. Karena nantinya Elang dapat memeluk dan mendapatkan kehangatan dari Kiran. Ingin rasanya Elang menggeplek kepalanya sendiri ketika kini dirinya menyadari suatu hal. Bukankah sejak awal dia sudah berniat ingin mengacuhkan keberadaan Kiran. Tapi kenapa justru sebaliknya. Elang yang diacuhkan oleh perempuan itu. Argh ... Sial. Memilih merebahkan tubuhnya berusaha mengusir bayangan Kiran yang mulai berani bergentayangan di otak dan pikirannya. 'Sialan kau, Kiran!' umpat Elang dalam hatinya sebelum ia mulai memejamkan mata. Tidur miring membelakangi di mana posisi Kiran yang berada di atas sofa. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN