Elena mengangguk kan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Leah padanya. "Tanyakan saja, jangan sunkan."
"Aku sudah meminta izin dari William tapi sepertinya akan lebih resmi lagi jika izin itu ku dapat darimu."Leah nampak melirik William sebentar ketika mengatakannya.
"Aku sudah tidak memiliki siapapun lagi di sini. Hanya kau dan William. Aku dan bayiku tidak tahu harus kemana lagi. Bolehkah.... Bolehkah aku dan bayiku tinggal di sini untuk beberapa minggu?. Setidaknya hingga aku mendapatkan tempat tinggal baru. Atau hingga surat penempatan ijin resmi tugas kedokteran ku terbit"
Elena tersenyum dan mengangguk sebagai tanda setuju untuk mengijinkan Leah menetap di rumah nya dan William. Elena melirik William yang duduk di sebelahnya. Bibirnya tersenyum yang membuat William ikut menarik sudut bibirnya menatap Elena.
"Tinggalah Leah. Tentu saja boleh.”
"Terima kasih Elena."Leah nampak begitu senang. Bibirnya tersenyum begitu lebar menatap William yang juga tersenyum lalu menengguk angurnya. Elena melirik William dari sudut matanya lalu kembali melihat ke arah makan malamnya. Aneh. Ia setuju dengan ini, tapi perasaanya terasa gelisah. Seolah tak rela akan keberadaan Leah di rumah ini. Rumah William begitu ramai akan pelayan dan pengawal seharusnya sosok Leah tak akan merubah apapun , toh mereka sudah terbiasa di kelilingi banyak orang namun Leah, seolah memiliki atmosfer nya sendiri.
Leah seperti memiliki energi yang dapat mempengaruhi energi Elena. Energi yang saling membentur hingga membuat energi Elena merasa sedikit terganggu atas kehadirannya. Elena menyantap makan malam itu tanpa selera. Seolah Leah sudah menyedot habis energi tubuhnya hingga yang Elena rasakan hanya perasaan khawatir dan kegelisahan yang tak jelas asal usulnya. Seluruh topik pembicaraan hanya berasal dari Leah yang tak ada habisnya mengajak William untuk berbicara akan masa lalu mereka sementara Elena, tak ada satupun memoriam dalam hidupnya tentang suaminya.
Tidak ada.
Sama sekali tidak ada.
Kecuali saat pria itu mengajaknya menikah dengan paksaan dan kekejaman yang tak manusiawi.
"Kau baik-baik saja?."tanya William khawatir. Karena sejak tadi ia kerap kali menemukan Elena hanya mengaduk-aduk makanannya saja tanpa selera. Wajahnya terlihat murung, tidak seperti biasanya. Elena akan membuka topik dan William akan menjadi pendengarnya, lalu mereka akan memperdebatkan sesuatu.
"Eum.. Aku hanya lelah. Mungkin karena habis dari pemakaman."bohongnya. Tentunya karena ada Leah, itu lebih tepatnya.
"Pemakaman? Siapa yang meninggal."tanya Leah bingung.
Elena yang tadinya menatap makanannya kini beralih melirik William penasaran. Apa William akan mengatakannya. Siapa yang meninggal. Tentu nya Leah mengenal perihal Ethan sebagai adik tiri William bukan. Karena mereka adala saudara. William menghela nafas panjang. Seolah kenangan itu sangat mengganggu perasaannya.
"Ethan. Dia sudah meninggal"
William mengatakannya dan seketika membuat perasaan Elena seolah mengambang. Sudah cukup lama. Namun perasaannya masihlah terasa kacau jika nama itu kembali disebut.
"Oh Ethan. Dia sudah meninggal."jawab Leah. Nada bicaranya terlihat jelas kalau dia tidak suka. Tapi tidak mencibir. Mungkin karena tahu kalau William sebenarnya sangat menyayangi Ethan walau ia terlihat seperti tidak peduli dan dia berkata tak mengejek seolah menghargai perasaan William. Elena terkesikap. Terhenyak mendengar nada suara Leah yang menurutnya sangatlah tidak sopan atau karena Elena terlalu sensitif jika hali itu mengenai Ethan.
"Akhirnya dia menyusul ibunya. Baguslah.. dia tidak lagi merepotkanmu. Lagi pula manusia pasti akan menuju ajalnya bukan.”Seketika tubuh Elena menegang. Fix. Elena merasa begitu sensitif dan tidak menyukai Leah. Obrolan berlanjut ke topik lain. William dan Leah saling bercerita tentang masa lalu. Wajah William nampak berbinar dan hal itu sukses membuat Elena merasa sedikit cemburu.
"Sepertinya aku sudah kenyang. Aku terlalu lelah. Aku duluan."Elena bangkit berdiri dari kursinya, melenggang pergi meninggalkan ruang makan dengan wajah masam. Perkataan Elena tentang Ethan, dan bagaimana ia dan William berbicara tentang masa lalu. Semua itu terlalu menyakitkan untuk di dengar. Elena tak mengerti ia begitu sensitif dengan semua obrolan itu. kalau menyangkut masalah Ethan, Elena merasa Leah tidak tahu apa-apa dan tidak berhak menjelek-jelekkan Ethan seperti itu.
Elena masuk ke dalam kamarnya. Bahkan ia menutup pintu kamarnya dengan perlahan, seolah tak ingin kedua orang itu salah paham dan melihat betapa marahnya dia akibat obrolan yang mereka bicarakan. Langit sudah menggelap ketika Elena melihat ke arah balkon kamar mereka. Elena berjalan menuju balkon kamarnya. Kedua tangannya mengerat memegang batang besi pembatas. Matanya terpejam merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Cukup lama ia di sana, hingga Elena mendengat suara-suara di telinganya. Elena membuka matanya dan hal yang berada di depan wajahnya adalah sekelompok kunang-kunang yang bercahaya.
Rumah William begitu luas, rerumputan hijau, pepohonan dan beberapa tanaman berwarna menghiasi halaman luasnya. Elena tersenyum memandang nya. Hal itu mengingatkannya pada Ethan, pria itu membenci serangga. Kalau Elena mengajaknya melihat kunang-kunang maka Ethan akan menjawab, lebih baik melihat kelelawar.
Elena terkekeh ketika mengingatnya. Memoriamnya terlalu banyak di penuhi dengan kenangan manisnya bersama Ethan. Terlalu sedikit jika itu menyangkut William karena memoriamnya bersama William hanyalah tumpahan air mata dan tak cukup bagus jika hal itu kembali untuk di kenang.
"Ethan... Bagaimana menurutmu jika aku mendengar tentangmu. Tentang seseorang yang tak suka padamu. Menurutmu aku harus diam atau melawannya dan berkata jika dia salah tentangmu. Mereka semua tak tahu apa-apa tentangmu. Benarkan! Dia tidak tahu apa-apa!.”
***
Elena memutuskan untuk berbaring. Tak tahu harus melakukan apa lagi. Kedua matanya memandang ke arah balkon yang mengarah pada hamparan langit yang berisi bintang-bintang. Tirai balkon kamarnya menari-nari terkena hembusan angin. Suara jangkrik yang menenangkan seolah mendamaikan perasaan hatinya. Elena memejamkan matanya ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka.
William masuk ke dalam kamar lalu menguncinya. Ia mamsuki toilet lalu mengganti bajunya denan piyama. Menyikat gigi dan mencuci mukanya. Setelah selesai ia keluar dari toilet dan pergi menuju ke arah balkon. Menutup pintunya rapat lalu beringsut naik ke atas tempat tidur.
William membaringkan dirinya di belakang Elena. Menarik istrinya hingga merubah posisi Elena hingga menjadi menghadap ke arahnya. William merengkuh Elena ke dalam pelukannya. Memeluk tubuh Elena dengan erat. "Kau sudah tidur?."
Elena belum tidur tentu saja. Tapi dia hanya diam tak bergeming di tempatnya. Kepala Elena berada di leher William. Bau fermonom suaminya begitu menenangkan hingga tanpa sadar, Elena tergerak semakin mendekatkan dirinya pada William.
William tersenyum menyadarinya. Sebelah tangannya terulur mengusap helaian rambut Elena dengan lembut.
"Leah berasal dari keluarga mom. Jadi... Jika menyangkut Ethan dia tentu tidak menyukainya. Jangan terlalu dipikirkan. Kau jangan terbawa emosi karena ucapannya."
Elena membuka matanya. Ia sudah menduganya Leah tidak menyukai Ethan. Elena lupa jika Leah adalah istri dari anak ipar ibu William tentu dia ada di pihaknya. Elena menjauhkan tubuhnya dari William agar bisa memandang wajah suaminya. Elena menghela nafas panjang, ia mencoba untuk menghilangkan kekesalannya.
"Aku mengerti,"ucap Elena. “Oh ya. Kau ingatkan! Jika besok aku akan mulai masuk kantor."
William menghela nafas malas. Ia ingat itu. Setelah perdebatan panjang dengan ancaman, ia memilih untuk menyerah, karena ia lebih suka jika Elena memiliki usaha sendiri di bandingkan bekerja dengan orang lain dan berada di luar pengawasannya.
"hah! Aku ingat. Bekerja di tempat ku kau tak mau."
"Aku tidak mau. Aku tahu apa yang kau maksud dengan bekerja William. Kau akan merecokiku. Aku tidak mau."
"Dasar keras kepala."decak William.
"Terima Kasih William."Elena nampak bersemangat hingga sebuah kecupan ringan ia berikan di sebelah pipi William. William tersenyum memandang Elena, wanita itu terlihat lebih baik dari pada ketika ia masuk ke dalam kamar ini. Elena berbaring dengan kekesalan di wajahnya namun kini wanita itu sudah kembali. Elena yang hangat. William melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Elena, menarik wanita itu agar lebih rapat ke tubuhnya. Tiba-tiba Elena menahan tubuhnya, menghalangi William yang ingin menciumnya.
“Aku tahu kemana arahnya ini. Apa belum cukup yang tadi sore!. Kita baru saja melakukannya dan kau masih belum juga puas."
"Puas dan sangat puas tapi aku tidak pernah merasa cukup. Kau selalu membuatku b*******h. Aku selalu ingin menyentuh istriku. Dan mendengar desahanmu ketika kau menyebut namaku.”
William meraup sebelah telinga Elena. Mengemutnya hingga membuat Elena memejamkan matanya erat-erat ketika merasakan sensasi luar biasa menggelitik perutnya. Ciuman William turun ke rahang Elena. Menyusuinya dari kanan hingga ke kiri lalu ke tengah dan naik hingga ke bibirnya yang di sambut baik oleh bibir Elena. William meraup bibir atas Elena sementara Elena pada bibir bawah William. Lumatan lembut yang berubah menjadi lumatan agresif.
***
Elena terbangun masihlah begitu gelap. Hari ini adalah hari spesial bagi Elena, itulah kenapa dia begitu bersemangat hingga ia tak bisa menahan rasa bahagianya itu. Segeranya Elena bersiap dengan pakaian casual. Rambutnya panjang sebahunya itu ia biarkan tergerai begitu saja.
Elena memoleskan make up tipis di wajahnya, William terbangun dan menemukan istrinya yang sudah rapih. William mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada headboard ranjang tempat tidur.
"secepat ini kau bersiap?."ucap William dengan suara serak khas bangun tidur.
"tentu saja ini pertama kalinya aku masuk kerja.”ucap Elena tanpa memandang William yang terus saja memandangnya dari atas tempat tidur. William terkekeh melihat betapa semangatnya Elena.
“Kau boss di sana Elena, bukan pegawai yang harus pergi bekerja sepagi ini. Kau ingin membuat pegawaimu datang jam berapa jika kau bahkan datang sepagi ini.”
William benar, bagaimana bisa Elena tidak memikirkan hal itu. “Ah.. kau benar. Ini karena aku tidak sabar ingin melihat wajah para pegawaiku. ahhh... ini membuatku gugup."gerutu Elena. Elena membalikan tubuhnya menjadi menghadap ke arah William.
"oh ya kita sudah sepakat bukan. aku tidak butuh pengawal mulai sekarang."serunya seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. William menghela nafas malas seraya melirik ke arah lain sebelum kembali menatap Elena.
"tetap akan ada, tapi dengan radius 1 meter darimu. Aku tidak mau mengambil resiko."Elena memutar kedua bola matanya malas. William terlalu berlebihan. Sungguh. Elena mengambil langkah mendekati William yang masih berada di atas tempat tidurnya. Elena mendekati William dan mencium bibirnya. Untuk beberapa waktu mereka hanyut dalam ciuman itu, melilit lidah satu sama lain dengan ganas. Elena seolah terbuay dengan ciuman William yang selalu memabukan, hingga ia harus mendorong tubuh William agar segera menghentikan ciuman itu dan membuatnya bisa segera pergi bekerja.
“aku harus segera berangkat.”
"Tidak tanpa ku Elena. Aku akan mengantarmu. Jangan pergi sebelum aku selesai, atau tanpa aku. Kau tidak boleh keluar rumah ingat. Jadi tunggu aku."William bangkit berdiri dan seketika membuat Elena mengalihkan pandangannya ke arah lain. pasalnya bukan tanpa alasan. suaminya itu dengan tidak malunya berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun. William terkekeh melihat istrinya yang masih saja memalingkan wajahnya. "kau masih saja malu padaku."goda William membuat pipi Elena bersemu. Bibirnya berkedut menahan senyum.
"masuk cepat atau aku akan pergi dulua.n"ancam Elena membuat William terkekeh.
"kau tidak akan bisa keluar dari rumah ini tanpa seijinku ckck.. aku mandi dulu sayang."William lagi-lagi terkekeh mengecup pipi Elena sekali lagi sebelum masuk ke dalam toilet membuat Elena dapat bernafas lega.
tbc
JANGAN LUPA LOVE NYA KAWAN^^ & Jangan lupa di FOLLOW ^)^