BAB 4

1835 Kata
William merebut gunting dari tangan Elena dan melemparkannya hingga membentur pintu dan menyebabkan suara yang begitu keras. William menarik tubuh Elena ke dalam pelukannya, memeluk tubuh Elena dengan erat. Sebelah tangannya mengelus belakang kepala Elena lembut, sementara tangan lainnya melingkar di pinggang Elena. Menahan rontaan yang Elena lakukan untuk lepas dari William. “lepaskan aku.”Elena nampak kacau, ia terus meronta-ronta di dalam pelukan William untuk melepaskan diri. Isak tangis Elena membuat dadanya terasa sesak dan perih, seolah-olah seseorang memukul tepat di dadanya. William merasakan rontaan Elena melemah, suara tangisnya terdengar lirih hingga akhirnya ia mendapati istrinya itu sudah tidak sadarkan diri. . *** Elena merasakan matanya terasa berat untuk terbuka, kepalanya langsung diserang rasa pening berdenyut-denyut. Elena terhenyak ketika William mencium keningnya, ketika Elena melihat ke sebalah kanannya William ada di sisinya duduk bersandar pada headboard ranjang tempat tidur, wajahnya menunduk menatap Elena yang berbaring di sebelahnya. William merunduk mencium keningnya lamat sebelum kembali bersandar dan melemparkan senyum hangat menatapnya, Elena mengingat tentang kejadian semalam dan melihat mata William saat ini Elena tahu suaminya itu juga masih mengingat jelas peristiwa semalam. Perasaan bersalah menyelinap ke dalam hatinya, William pasti membencinya sikapnya tadi malam pasti membuatnya marah. Wajahnya terlihat sendu menatap Elena dengan serbuan perasaan bersalah. “maafkan aku.”senyuman di wajah William menghilang seketika. "Aku bersumpah kalau kau berhasil menusuk dirimu dengan gunting itu maka aku akan melakukan hal yang sama padaku sendiri Elena." Elena beringsut bangun menjadi terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang tempat tidur mengiktui apa yang William lakukan. Elena dapat merasakan William menatapnya dari sudut matanya dan ketegangan di sekitar mereka, tak seperti bisanya ia merasakan rasa ini. Terakhir kali ketika ia merasakan hal ini ketika ia dan William masih berselisih. "Maafkan aku.”suara Elena terdengar lirih, perasaan bersalah itu masih di sana menyelimuti hatinya. Elena merasakan sesak di hatinya ketika mengingat kejadian yang seakan menyiksa dirinya hingga Elena berharap ia mati saja dan membuatnya tak merasakan rasa sakit itu.   William menghela nafas panjang. Ia juga dapat merasakan rasa sakit yang Elena rasakan hingga membuat hatinya begitu hancur, William dapat merasakan kecanggungan Elena. William tidak suka hal ini, ia menyukai senyuman Elena ketika wanita itu menunjukan senyum lebarnya yang terlihat begitu cantik dan kini hanya ada kesedihan yang terlukis di wajahnya. William menyeka air mata di wajah Elena menggunakan ibu jarinya, lalu ia menggenggam sebelah tangan kiri Elena dan menempelkannya di wajahnya pada sebelah pipi kirinya. "Jangan salahkan dirimu. Ini kecelakaan. Bukan karena kau membunuh bayi kita. Jangan terpuruk seperti ini. Kau membuatku sakit Elena. Hatiku sakit melihatmu seperti ini," “Kandunganmu tidak apa-apa. Jadi kita bisa mendapatkannya lagi. Semua ini sudah takdir. Kau tidak boleh menyalahkan dirimu. Kau mengerti."William terus mencoba untuk membuat Elena mengerti, wanita itu tak boleh berada begitu lama berlarut-larut dalam kesedihannya. "Maafkan aku."ucap Elena lagi. "Ini bukan salahmu. Jadi berhentilah minta maaf dan membuang air matamu dengan percuma." "Aku pasti membuatmu kecewa."Wajah Elenda tertunduk menatap kedua tangannya yang bertaut, bergerak-gerak dengan gelisah. "Tidak. Kau tidak pernah membuatku kecewa. Sudah ku katakan ini takdir. Ini sudah di atur,"ucap William masih dengan bibirnya yang tersenyum. Tapi kemudian mimik wajahnya berubah marah. “Tapi aku akan sangat kecewa dan marah padamu jika kau melakukan hal yang tadi lagi." "Eum... Maafkan aku."Lagi Elena mengatakan hal itu membuat William menghembuskan nafas kesal. William merasa tidak ada yang harus dimaafkan. Ia benci jika Elena selalu saja menyalahkan dirinya sendiri seperti saat ini. "Ku maafkan. Jadi berhentilah mengatakan hal itu. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini semua bukan salahmu." "Sekarang kau harus makan. Jangan menolak nya. Kau harus makan agar kau tidak sakit. Aku tidak mau kau sakit."William mengambil bubur yang tadi di buatkan oleh Eve. Bubur itu berada di atas meja nakas di samping tempat tidurnya. "Ahh.. Sudah dingin. Aku akan minta pelayan Kim untuk membuatkannya lagi."William menoleh pada Elena lalu tersenyum, ketika ia ingin berdiri Elena menarik lengannya hingga membuat pergerakan William terhenti. William kembali menoleh pada Elena, wanita itu menggelengkan kepalanya menolak apa yang akan William lakukan. “Tidak perlu, aku akan memakannya. Kemarikan.”William kembali duduk. Ia mengambil   "Baiklah... Sekarang buka mulutmu. Akan ku suapi."ucap William bagai perintah. Elena membuka mulutnya dan William akan mulai untuk menyuapinya makan. Elena benar-benar di manja oleh William. Sesekali William akan mencium keningnya atau daun telinganya dengan sayang. Bahkan membersihkan makanan yang tersisa di sudut bibirnya. Setelah selesai William memberikan segelas air yang langsung di seruput Elena dan setelahnya ia mengembalikan gelas kosong itu pada William. "Aku taruh ini sebentar."William pergi keluar kamar. Hanya berdiri di ambang pintu karena ia berteriak memanggil pelayan yang berdiri tak jauh darinya untuk membawa piring kotor itu ke dapur. Lalu ia kembali mendudukan dirinya di sisi istrinya yang masih duduk bersandar pada headboard ranjang tempat tidur. "Kau tidak makan?."tanya Elena pada William. Pasalnya setelah pergi dari rumah sakit dia belum juga melihat William menyentuh makanan. "Sudah."bohongnya. Sejak kemarin bahkan William belum menyentuh nasi. Pria itu tak berselera makan karena memikirkan kesehatan istrinya. Rasa keterpurukan Elena membuat harinya begitu kacau. Tak ada hal lain yang bisa ia pikirkan kecuali istrinya. Kesehatan istri tercintanya. Sebelah tangan kanan William menelusup menjadi melingkar di pinggang Elena. Menarik istrinya menjadi begitu dekat dengannya. William mencium rambut istrinya seraya memejamkan mata. Sudah lama dia tidak sedekat ini dengan Elena. Rasa traumanya membuat William berhati-hati untuk melakukan segala kontak fisik dengannya. Takut-takut Elena terganggu dan merasa ketakutan. Sudah 1 bulan dari pasca operasi Elena seolah membangun tembok besar di antara ia dan William dan kini Elena merasa begitu bersalah apalagi setelah aksi bodohnya semalam. Elena memang bodoh, dia memutuskan  tanpa berpikir panjang.                   William sangat merindukan Elena, merindukan dekapan Elena, merindukan sentuhannya, merindukan bibir Elena, erangannya dan ketika Elena menyentuh tubuhnya dan menyebutkan namanya. Pikiran liar itu memenuhi isi kepala William, ia tidak pernah tidak menyentuh Elena dengan waktu yang begitu lama. Kini William tetap harus berhati-hati, ia takut reaksi Elena jika ia menyentuhnya. William tidak ingin Elena panik karena sentuhannya, walau ia sudah tidak sabar untuk terus menunggu Elena. William merindukan bibir Elena, merindukan sentuhannya dan ketika  Elena menyebut namanya dengan erangan yang begitu merdu di telinganya. William bergeser untuk duduk semakin dekat ke arah Elena. Sebelah tangannya melingkar di pinggang Elena dan menarik wanita itu hingga merapatkan tubuh mereka. Sebelah tangan William terangkat menyentuh pipi Elena dengan gerakan lembut. Elena memejamkan mata ketika dengan perlahan wajah William mendekat ke arahnya. William tersenyum ketika melihat Elena memejamkan matanya, tanpa ragu ia menempelkan bibirnya di atar bibir ranum milik Elena.                 Elena merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Elena tak pernah terbiasa ketika William menciumnya, desiran dan degupan itu masih ada, terasa mengguncang hatinya dengan hebat. William mengerang ketika merasakan Elena mencengkram rambutnya. Sebelah tangan William lainnya menelusup di bawah kaki Elena, mengangkat sedikit tubuh wanita itu dan mendorongnya ke bawah agar berbaring di atas tempat tidur. Tubuh William berganti menjadi menindih Elena, ciumannya semakin lama semain liar. Rasa rindu yang hebat membuatnya seolah kehausan untuk mencicipi lebih dalam ciuman tersebut. Hasratnya bergulung-gulung menenggelamkan akal sehatnya entah kemana. William terlalu merindukan Elena, menyentuhnya dan mengeksploari setiap jengkal tubuh Elena yang selalu William klaim sebagai miliknya. Ciuman William turun ke lehernya, wajah Elena mendongak seolah memberikan ruang bagi William untuk menjelajahi lebih dalam bagian itu. Elena mengerang, merapatkan matanya ketika William menghisap bahunya dan menyusuri tengkuknya hingga ke telinga. William mati-matian menahan dirinya utnuk bersikap lebih cepat, Elena baru saja sembuh dan mau menerima dirinya. William tidak mau Elena menjadi takut atau merasa sakit atas sentuhannya. Hasrat itu menggerogotinya untuk lebih cepat melepaskan pakaian wanita itu dan mencium bagian lain dengan membabi buta. Tubuh Elena adalah candu yang memukau William menikmati semuanya, aromanya adalah aroma menyenangkan yang ia hirup ketika mencumbu lehernya. Ketika bibir William kembali bertemu dengan bibir Elena, lumatan itu semakin gencar lebih dalam melumat dan berkelit dengan lidahnya. Kedua tangan William sudah menyusuri setiap jengkal tubuh Elena dari balik wajahnya, dengan gerakan lembut dan hati-hati. William ingin Elena merasa nyaman dengan sentuhannya, dan kembali menginginkannya. *** "Hiks... Hiks... Hiks... Hiks.. " Seorang pria berjalan dalam kegelapan. Mencari-cari penerangan hingga dia dapat melihat sebuah titik cahaya. Ia berjalan menuju cahaya itu hingga samar-samar terdengar suara tangis yang terasa menyayat hatinya. Ada seseorang. Nampaknya wanita karena rambut sebahunya tergerai. Terduduk membelakanginya. Nampaknya suara tangis itu berasal darinya. Pria itu terus mendekat. Berjalan dengan penuh kehati-hatian untuk mendekatinya. Sebelah tangannya terulur untuk menyentuh bahu wanita itu. "Kau baik-baik saja?.”matanya menatap wanita itu dengan penasaran. Wajah wanita itu yang tertunduk perlahan tergerak untuk menoleh ke arahnya hingga.... Jam weker berbunyi dengan kencangnya. Membuat pria itu terbangun dari tidurnya. Kedua matanya terbuka menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Sebelah tangannya terangkat untuk mematikan jam weker tersebut. Mimpi yang sama. Selalu sama. Beberapa minggu ini dia selalu saja memimpikan hal itu. Wanita yang membelakanginya tengah menangis dengan tersedu-sedu. Ponsel yang berada di atas meja samping tempat tidurnya bergetar panjang. Tanda bahwa ada sebuah panggilan masuk. Tangannya kembali terulur mengambil ponselnya. "Halo."jawabnya seraya beringsut bangun menjadi terduduk. ".................." "Eoh. Aku sudah bangun" ".................." "Aku ingat. Jam sepuluh kan. Aku akan segera bersiap." "................." "Aku akan membeli bucket nya di perjalanan." "................." "Aku tahu. Aku bukan anak kecil lagi. Berhenti memberikan nasihat padaku." "................." "Aku tunggu" PIP. Pria itu bergegas bangkit turun dari tempat tidurnya untuk membersihkan tubuhnya.   *** Pria itu sudah bersiap dengan setelan jas hitamnya. Berdiri di depan gedung Apartemennya. Menunggu seseorang menjemputnya. Tak lama sebuah mobil Audi hitam berhenti tepat di hadapannya. Seorang petugas keamanan Apartemen membukakan pintu mobil itu untuknya. Tanpa repot-repot bertanya ia langsung masuk ke dalam mobil tersebut di bagian penumpang. "Sudah lama?."tanya pria yang duduk tepat di sebelah kirinya. Pria itu memutar kedua bola matanya malas. Menanggapi pertanyaannya. "Sudah ku bilang hanya butuh 15 menit bagiku untuk membersihkan diri."gerutunya. pria itu meliriknya lalu menggelengkan kepalanya terheran seraya mengalihkan tatapannya ke arah jalanan. "Kau selalu saja seperti ini, terburu-buru." "Terserah."ucapnya malas menganggapi perkataan sang kakak. Mereka mampir untuk membeli bucket bunga sebentar sebelum melanjutkan perjalanan, kini keduanya sudah sampai ke tempat tujuan. Sebuah pemakaman di daerah perbukitan. Jason berjalan di belakang kakak laki-lakiknya, ia tak suka kalau berjalan berdampingan dengan sang kakak. Sesekali ia mengedarkan pandangannya, suasana begitu sepi, beberapa orang terlihat menuruni tangga dan berpapasan dengan mereka. Cukup banyak anak tangga yang harus mereka daki untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Hingga akhirnya beberapa pemakaman terlihat. Sebuah bukit-bukit kecil yang cukup tinggi. Beberapa bukit ada yang di hiasi oleh figura. Sebuah foto orang yang terkubur di sana. Pemakaman di sana sangat rapih. Rerumputan hijau yang terawat terbentang luas di sana. Jarak dari tempat pemakaman yang dituju dan pintu masuknya cukup jauh. Mereka harus menelusuri lebih dalam untuk sampai. Mereka kembali berpapasan dengan beberapa orang, ada tiga orang saat ini menuruni tangga. Dua orang pria bersetelan jas dan seorang wanita berpakaian serba hitam. Sepertinya seorang pelayat juga. Jason melihat ke arahnya. Seorang wanita yang di kawal oleh dua bodyguard. Jason melihat ke wajah wanita itu ketika mereka berpapasan. DEG! DEG! DEG! Tiba-tiba jantungnya berdegup dengan kencang. Langkah Jason memelan hingga akhirnya langkahnya terhenti. Ia terdiam ketika merasakan detak jantungnya yang berpacu dengan keras, rasanya sedikit sakit seolah sesuatu mencubit jantungnya. Tubuh Jason berbalik untuk kembali melihat ke arah wanita itu yang terus berjalan pergi meninggalkan pemakaman. . . . . "Wanita itu....."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN