4. Ciuman Pertama

1259 Kata
Rania benar-benar takut begitu Amora membawanya ke sebuah kamar di lantai dua di kelab tersebut. Kate sudah menghilang sesaat setelah mendapatkan uang dari Amora. Meninggalkan Rania yang sudah harap-harap cemas menantikan nasib seperti apa yang harus ia terima. “Masuklah ke dalam. Tuan Anhar sudah menunggumu. Namamu sekarang Miranda. Bersikap baiklah. Dia pelanggan pertamamu,” titah Amora yang lalu mendorong Rania ke dalam kamar itu tanpa mau mendengar jawaban Rania terlebih dahulu. “A--” Rania tersekat begitu melihat seorang pria paruh baya tengah menyandarkan tubuhnya dengan santai di sandaran ranjang. “Maaf,” tuturnya lalu berbalik hendak keluar dari sana, namun tangannya tertahan oleh genggaman seseorang. “Ke mana, Sayang?” Rania berbalik. Mendapati pria paruh baya tadi tengah berdiri dengan jarak begitu dengan dengannya. “Aku sudah menunggumu sejak tadi,” lanjutnya seraya menarik Rania dan menjatuhkannya ke atas ranjang. “Pak, lepaskan!” Rania berontak sekuat tenaga saat pria itu hendak menciumnya. “Lepas!” Lagi-lagi ia berteriak, kali ini mulai terisak. “Aku sudah membayarmu! Tidak mungkin aku akan melepaskanmu sebelum mencicipi tubuh molekmu ini.” Ia menyeringai m***m, membuat bulu kuduk Rania berdiri. “Saya mohon, Pak!” Rania mendorong tubuhnya lagi dengan kuat. Tapi pria itu tak kunjung melepaskan Rania. Ketika ia tak sampai mencium bibir Rania karena Rania terus menggeleng-gelengkan kepala, ia merobek bagian atas gaun Rania sehingga pundak gadis itu terekspos pun dengan bagian dadanya yang sedikit terbuka. Rania benar merasa jijik begitu pria itu menciumi pundaknya. Sehingga yang ada dalam benaknya hanya satu: terlepas darinya sekarang juga. Bugh! Akhirnya entah mendapat kekuatan dari mana sehingga Rania bisa menggerakan kakinya untuk menendang s**********n pria itu. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berlari meninggalkan pria itu yang meringis kesakitan di atas ranjang. “Miranda sialan!” teriaknya. Rania tak menghiraukan teriakan pria itu. Ia segera keluar dari kamar dan bersumpah untuk melakukan cara apa pun agar terbebas dari tempat terkutuk itu. Namun khayalan tinggalah khayalan saat rambutnya tiba-tiba dijambak seseorang. Siapa lagi jika bukan Anhar, pria tua yang sudah membayar sejumlah uang kepada Amora. “Ke mana kau, Sialan!?” desisnya tajam. “Lepaskan aku! Tolong!” Rania berteriak sekencang yang ia bisa, tak peduli jika esok ia kehilangan suaranya, yang terpenting sekarang ia melakukan usaha yang ia bisa. “Ayo! Kemari kau!” Pria itu menyeret Rania dengan menjambak rambutnya sehingga Rania meringis kesakitan. Sungguh, rambut Rania rasanya akan terlepas dari kulit kepalanya. “Tolong!” teriak Rania kesakitan. “Lepaskan aku!” Bugh! Lagi. Rania dihempaskan dengan kasar di atas ranjang pria itu dengan tanpa perasaan. Ia menaiki Rania dan memegang kakinya. Tapi Rania tidak menyerah, ia mengambil apa pun yang bisa ia gapai. Bantal. Barang pertama yang ia gapai adalah bantal. Dengan cekatan Rania mengambil bantal itu dan melemparnya pada wajah memuakan pria tua bernama Anhar itu. Gagal. Bantal ternyata tidak bisa mengalihkan Anhar darinya. Rania mulai hilang harapan ketika pria tua itu mulai menaiki tubuhnya lagi. Namun sebuah ide gila muncul di benaknya. Ketika Anhar menyeringai di atas wajahnya, Rania meludahi wajah pria itu sehingga Anhar kehilangan fokus karena marah dan merasa jijik. Rania tak mensia-siakan kesempatan, ia bangkit, dan sebelum berlari ia sempatkan memukul leher Anhar dengan sikunya. Rania berlari sambil berteriak minta tolong. Sampai ketika ia menuruni tangga, gaunnya tersangkut sehingga ia kehilangan keseimbangan dan tubuh itu berguling mengikuti anak tangga hingga Rania merasa pening dan sekujur tubuhnya sakit bukan main. Ia memegangi sikunya yang paling terasa menyakitkan sehingga ia merasa mati rasa. Lalu, sebuah tubuh mendekat padanya, berjongkok di hadapannya dan suara merdu yang menghipnotisnya menyapa. “Kau tak apa?” Rania hendak menjawab, ingin meminta tolong, tetapi suara Anhar membuatnya terhenyak dan panik. “Miranda! Kemari kau sialan!” teriak Anhar murka. Rania segera berdiri dan beringsut di belakang tubuh lelaki tegap tadi yang juga ikut berdiri. Saking takutnya, Rania sampai meremas jaket biru lelaki itu. “Selamatkan aku, Kak! Selamatkan aku. Aku akan melakukan apa pun asal kau menyelamatkan aku!” Rania benar-benar berharap pria ini dapat menyelamatkannya. Hanya ia satu-satunya harapan Rania agar terbebas. “MIRANDA!” Anhar kembali berteriak murka. Bahkan kini ia sudah menarik kasar lengan Rania. “Lepaskan aku! Aku tidak mau!” Rania meronta dengan sisa kekuatan yang ia punya sambil memandangi pria di belakangnya dengan penuh permohonan. “Kumohon tolong aku!” Rania berteriak karena sekarang rambutnya dijambak sembari diseret untuk berjalan ke atas tangga. “Lepaskan dia, Bung!” tiba-tiba sebuah getaran masuk ke dalam gendang telinganya dan bermetamorfosa menjadi suara. Suara yang menjadi harapan bagi Rania. “Siapa kau?” tanya Anhar dengan nada tak suka. “Aku sudah membelinya dari pelelangan tadi.” “Benarkah?” pria itu menaikkan sebelah alisnya. “Kalau begitu, aku akan mengganti uangmu dan carilah wanita lain yang bersedia tidur denganmu tanpa paksaan.” Akhirnya tawar menawar antara pria beda usia terjadi di hadapan Rania sampai kesepakatan terjadi bahwa pria muda itu bersedia membayar ganti rugi atas Rania yang ia bawa dua kali lipat dari pada Anhar membayar Amora. Rania merasa dirinya barang yang menyedihkan. Tapi apalah daya, mungkin ini takdir yang telah Tuhan pilih untuknya. Takdir menjadi seorang gadis yang dilelang oleh ibu tirinya sendiri. Tapi, begitu banyak harapan yang ini gantungkan pada pria di depannya. Ia berharap pria itu dapat membawanya dari kubangan penderitaan hidupnya, meski Rania tidak tahu harus dengan apa membalasnya nanti. Pria itu membuka jaket birunya selepas Anhar pergi lalu memakaikannya pada Rania. Menutup bagian tubuh Rania yang terekspos. “Kak, aku… terima kasih atas bantuanmu. Aku--” Rania kebingungan memilih kata-kata dan memutuskan untuk melihat ke arah lain selain wajah pria itu. “Aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih padamu,” desah Rania akhirnya. Tiba-tiba, ia mengangkat dagu Rania dengan telunjuknya. Menatap Rania dengan intens sehingga mau tak mau Rania juga menatapnya. Rania membeku. Tatapan mata biru safir pria itu sungguh menghipnotisnya, tajam seolah menembus matanya, memasuki dirinya dan berakhir di… hatinya. Bahkan saat tangan pia itu menyentuh lengan telanjangnya, Rania merasa seluruh udara berubah menjadi sesak. Ia terserap oleh suatu energi yang tak bisa terlukiskan, memenjarakannya dalam perasaan asing. “Kau tidak usah berterima kasih. Aku membelimu, jadi ikutlah pulang bersamaku, Miranda.” ucap pria itu. Rania tak sempat menjawab karena bibir pria itu sudah menempel sempurna di bibirnya. Mengecap rasa manis dari bibir kecil berwarna merah muda milik Rania--yang tak pernah tersentuh bibir lelaki mana pun. Rania benar-benar tertegun sempurna, tetapi entah dorongan dari mana sehingga akhirnya ia membalas ciuman itu. “Kau manis,” ucap pria itu setelah ciumannya terlepas. “Tapi kau harus lebih giat belajar teknik berciuman. Kau payah dalam hal itu, manis. Kau kaku seperti belum pernah berciuman,” lanjutnya sambil mengusap sisa saliva yang entah milik siapa di sekitar bibir Rania. Semburat merah hadir di pipi Rania yang putih. Ia menunduk, malu. “Aku memang belum pernah berciuman,” jawabnya. Jelas saja. Jangankan berciuman, pacaran saja Rania baru sekali, bersama Randi. Randi satu kelas dengannya. Ia pria baik yang menghormati wanita. Selama hampir setahun pacaran, Randi tak pernah menyentuh Rania selain memegang tangan dan memeluknya sekali ketika kelulusan. Jadi jelas saja Rania kaku dan ini benar-benar pengalaman paling memalukan di dalam sejarah hidup Rania. Ia berciuman dengan seorang pria yang baru ia temui kurang dari lima belas menit! “Kau … serius?” pria itu melebarkan matanya menatap wajah Rania. Rania mengangguk kecil. “Baiklah karena kau sudah kubeli, kau harus belajar melayaniku.” Pria itu berucap santai sedangkan Rania melebarkan matanya. Beberapa saat kemudian, pria itu memakaikan kupluk jaketnya di kepala Rania dan menggamit lengan Rania untuk bertemu teman pria itu, katanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN