3. Pulanglah Bersamaku

1083 Kata
"Jadi, apa rencanamu ke depannya, Gi? Kau sudah lulus S2 dengan hasil terbaik di Universitas terkenal di Prancis," tanya Reno yang terkesan lebih serius dibandingkan Leon yang selalu banyak guyon dan juga santai dalam keadaan apa pun. Egi mengedikkan bahunya ringan. "Sementara ini aku membantu perusahaan Papa, Ren. Sudah ada perusahaan yang aku bangun di Prancis, hanya saja masih perusahaan kecil dan aku lebih tertarik untuk tinggal di Indonesia. Jadi aku ingin membuat perusahaan di sini, sementara perusahaan kecilku di Prancis aku titipkan pada orang kepercayaan," jawab Egi dengan kesan santainya seperti biasa. "Waw!" decak Reno takjub saat mendengar pernyataan Reno. "Ternyata diam-diam selain belajar kau juga mulai berbisnis di sana, ya?" pungkasnya. Binar bangga tidak bisa disembunyikan pria itu dari matanya. Orang yang sejak lama selalu menjadi teman tongkrongannya bisa sesukses itu, bukankah Reno memang seharusnya bangga pada Egi? Meski memang hal itu sepadan, mengingat Egi selalu bekerja keras sejak dulu. Pria itu orang yang sangat ambisius dalam hal apa pun. Egi tersenyum tipis. "Biaya hidup di sana mahal, jadi mau tak mau aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku terus bergantung pada kedua orang tuaku," ucap lelaki itu. "Lalu, uang yang orang tuaku kirim aku kumpulkan dan aku jadikan modal untuk usaha. Dan, yeah, jelas aku pernah gagal. Tapi sekarang tidak seburuk sewaktu awal memulai." "Aku yakin dalam kurun waktu kurang dari lima tahun kau akan menjadi sainganku sebagai milyuner termuda, Gi!" Leon terkekeh. Ia memang milyuner terkaya karena sudah mulai berbisnis sejak zaman sekolah dan berkembang terus hingga ketika ia kuliah ia sudah memiliki lebih dari sepuluh restoran mewah yang tersebar di seluruh Asia. Terkesan berlebihan tapi memang itu kenyataannya. Dari restoran, pria itu mengepakkan sayap membangun perusahaan. Tentu saja, semuanya masih berhubungan dengan makanan. Lalu, sekali lagi, usahanya sesukses bisnis kuliner miliknya. Bahkan, jauh lebih sukses karena perusahaan pembuat makanan dan minuman instan yang dimilikinya berhasil menduduki peringkat kedua sebagai perusahaan paling besar di Nusantara. "Jika lima tahun lagi berarti aku sudah tidak muda lagi, Le! Umurku sudah menginjak pertengahan usia tiga puluh tahun nanti," jawab Egi sambil tersenyum kecil. Leon tertawa keras sedangkan Reno hanya menggelengkan kepalanya. Setelahnya Egi pamit untuk pergi ke toilet. Dalam perjalanan, seperti biasa para gadis menempelinya dan Egi hanya bisa menolak mereka secara halus. Egi pria normal. Sesekali saat hasratnya sedang memuncak, ia akan membayar wanita untuk menghangatkan ranjangnya, tetapi bukan wanita di tempat seperti ini. Bukan wanita yang ia temui sehari di kelab dan langsung tidur bersama. Egi tidur dengan wanita yang memang sudah ia kenal sebelumnya. Minimal ia pernah bertemu tiga kali dengannya, agar tahu apakah wanita itu bersedia tidur tanpa bayaran sebuah ikatan dan komitmen atau tidak. Jika mereka menginginkan hal itu, jelas Egi langsung menghindar dari mereka. Sebab dirinya memiliki wanita yang telah menjadi kekasihnya sejak beberapa tahun. Meski mereka jarang sekali bertemu. Selain itu, ia tidak ingin terkena penyakit dari wanita asing yang tidur dengan sembarang pria setiap malam. Selesai dari toilet ia hendak kembali ke tempat teman-temannya sebelum sebuah suara gaduh yang berasal dari lantai dua mengusiknya. Setahunnya lantai dua adalah beberapa kamar yang biasa digunakan untuk mereka yang membeli wanita di sini untuk semalam. Setelah diam cukup lama mendengar teriakan minta tolong itu, Egi hendak melangkahkan kakinya kembali. Tapi baru saja melangkah dua kali, sebuah jeritan menyentaknya dan sebuah tubuh seorang gadis jatuh tepat di hadapannya. Egi segera menghampiri gadis itu yang kebetulan hanya berada tiga langkah di depannya. Gadis bergaun putih selutut itu meringis sambil memegangi sikutnya yang terluka. Penampilannya sangat kacau. Gaun putih yang tadinya indah ketika dipakai gadis itu, kini berubah mengenaskan dengan bagian pundaknya robek sampai ke bagian atas dadanya sehingga mengekspos kulit mulus gadis itu. Egi berjongkok di hadapan gadis itu. "Kau tak apa?" tanya Egi. Gadis itu mendongak dengan air muka ketakutan. "Miranda! Kemari kau, sialan!" Lalu suara yang berasal dari tangga di hadapan mereka membuat keduanya menoleh. Gadis itu terbangun dengan segera, bersembunyi di belakang tubuh tegap Egi karena tak sempat berlari. "Selamatkan aku, Kak! Selamatkan aku. Aku akan melakukan apa pun asal kau menyelamatkan aku!" Gadis itu terisak di belakang Egi sambil meremas jaketnya. "MIRANDA!" pria berumur lebih dari setengah abad itu berteriak dengan mata nyalang. Ditariknya lengan gadis bernama Miranda itu dengan kasar. Melihat kulit putih pucat gadis itu, Egi yakin bekas tarikannya akan menyisakan bekas kemerahan nanti. "Lepaskan aku! Aku tidak mau!" Ia meronta sambil memandangi Egi dengan penuh permohonan. "Kumohon tolong aku!" Gadis itu berteriak karena sekarang rambutnya dijambak sembari diseret untuk berjalan ke atas tangga. "Lepaskan dia, Bung!" ucap Egi datar pada pria paruh baya di hadapannya. Si pria tua menghentikan langkah. "Siapa kau?" tanya pria itu dengan nada tak suka. "Aku sudah membelinya dari pelelangan tadi." "Benarkah?" tanya Egi, menaikkan sebelah alisnya. "Kalau begitu, aku akan mengganti uangmu dan carilah wanita lain yang bersedia tidur denganmu tanpa paksaan." Pria tua itu terkekeh. "Aku tidak mau, Anak muda. Aku menginginkan gadis ini," jawabnya. "Baiklah. Berikan gadis ini padaku dan aku bayar dua kali lipat dari uang yang kau keluarkan untuknya." Egi mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Pria tua itu sedikit menimbang tawaran Egi sampai akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Aku membelinya seharga dua puluh lima juta, jadi kau harus bayar lima puluh juta padaku." Egi mengangguk setuju dengan seulas senyum seolah uang sejumlah itu tak begitu banyak untuknya. Ia menyodorkan cek yang telah ia tulis dengan nominal yang sudah disebutkan pria tadi lalu beralih menggamit lengan Sang Gadis. Pria tua itu hanya tersenyum sekilas dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Egi membuka jaket birunya lalu memakaikannya pada gadis yang barusan dipanggil Miranda. Menutup bagian tubuh Miranda yang terekspos. "Kak, aku... terimakasih atas bantuanmu. Aku--" Gadis itu kebingungan memilih kata-kata dan memutuskan untuk melihat ke arah lain selain wajah Egi. "Aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih padamu serta bagaimana mengembalikan uang yang telah kau keluarkan," desah gadis itu akhirnya. Egi tersenyum tipis. Mengangkat dagu gadis itu dengan telunjuknya. Menatap bola mata hazel yang penuh dengan kekosongan, kehampaan, dan kelabu. Gadis itu cantik. Wajah kecil dengan bola mata besar dan bibir yang ranum, membuatnya terlihat seperti boneka hidup. Dia sangat berbanding terbalik dengan tunangannya atau bahkan wanita-wanita yang sering dia tiduri. Gadis ini terlihat polos dan lugu, dan anehnya ... Egi malah tertarik dan menyulainya. "Kau tidak usah berterima kasih. Aku membelimu, jadi ikutlah pulang bersamaku, Miranda," ucap Egi. Miranda tak sempat menjawab karena bibir Egi sudah menempel sempurna di bibirnya. Mengecap rasa manis dari bibir kecil berwarna merah muda itu. Ia tertegun sempurna, tetapi entah dorongan dari mana sehingga akhirnya ia membalas ciuman itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN