Naya POV.
Karena aku takut pada laki laki itu. Aku pun mendorongnya hingga ia jatuh ke atas lantai. Aku pikir, Tuan Furqon tidak akan jatuh sampai se keras itu, Minimal sempoyongan atau apalah. Tapi ternyata dia jatuh sampai bunyinya terengar bedebam seperti benda yang tebal yang jatuh. Aku pun sangat kaget, aku segera mendekat dan menyentuh wajahnya.
"Tuan! tuan baik baik saja?"
Aku sungguh takut dia pingsan atau apalah. Aku takut dia kesakitan karena jatuh barusan. Berapa kali ku tepuk tepuk wajahnya namun juga enggak bangun. Aku bingung, jadi aku memilih membiarkan dia tidur di sana dengan meletakan bantal di atas kepalanya. Aku enggak mungkin bisa membawanya bangun dan memindahkannya ke atas ranjang atau pun sopa. Tubuh Tuan Furqon ini, selain besar dan lebar. Dia juga tinggi. Aku yang pendek dan kecil ini mana bisa memiliki tenaga untuk membantunya. Butuh tiga atau empat orang yang membantunya bangun. Jadi aku biarkan saja dia tidur di atas karpet malam ini.
Meski sesampainya di kamarku, aku kembali mengintip padanya.
Pagi hari, aku langsung kerja saja setelah aku membereskan rumah. Aku bangun pukul tiga pagi, shalat tahajut empat rakaat, kemudian membersihkan rumah dua tingkat itu. karena jarang ada orang yang masuk, selain aku, tuan Furqon dan perempuan itu yang kadang ke rumah ini. Jadi rumah ini enggak terlalu kotor. Aku bisa membersikannya cepat. Sisanya aku masak sarapan untuk diriku sendiri. Aku masak nasi goreng, kemudian mandi. Masih ada waktu untuk makan, aku pun makan sendiri. Namun sebelum aku menghabiskan masakan ku ini. Tuan Furqon datang ke dapur dengan sempoyongan. Laki laki itu meraih gelas dan mengisinya dengan air. Lalu duduk dan menyesap air. Dia menatap padaku dengan lekat.
"Mana nasi goreng untuku!"
Apa!
Nasi goreng?
Yang benar saja. Apa sebelumnya dia pernah meminta itu?
"Bukannya tuan enggak mau aku memasak sarapan untuk tuan?"
Dia mendengus. "Kali ini aku mau makan. Aku lapar, aku enggak peduli meski masakan kamu itu mungkin enggak enak." Baiklah, terserah kalau dia mau mengatakan masakan ku enggak enak atau apalah. Aku pun meraih piring dan mengisinya dengan nasi goreng. Dia terdiam dengan wajah masam. Aku sungguh enggak tahu apa yang telah membuatnya muram seperti itu. Namun sepertinya dia memang memiliki masalah.
"Selamat pagi nona
"Ini tuan." kuletakan nasi goreng di atas meja di sampingnya. Dia tidak menjawab dan langsung memakan nasi gorengnya dengan lahap. Ku lihat pipinya kembung, dan saking banyaknya ia makan nasi goreng. Ia sampai tersedak.
"Ini air pak. Sebaiknya makannya pelan pelan." ujarku.
Dia meraih gelas berisi air dan menelannya perlahan. "Kamu tahu kenapa saya turun ke lantai bawah malam?"
Aku kembali ingat dia mabuk dan mengendus rambutku. Aku sangat takut, sehingga aku mendorongnya kuat. "Mmm ... saya kurang tahu pak. Tapi bapak pingsan dan saya meletakan bantal dikepala bapak." ujarku.
"Oh." dia kemudian kembali makan.
Aku masih tetap di sana karena memang harus menemani suami makan. Itu kata ibu panti asuhan. Ketika kita sudah menikah, maka kita harus melayani suami kita. Ketika dia makan, kita harus menemani suami kita.
"Kamu ngapain di sini? kenapa enggak kerja sana?"
"Oh, saya pikir bapak membutuhkan saya untuk membereskan meja setelah bapak makan."
"Enggak perlu. Kamu pergi saja. Nanti diberesin kalau udah pulang dari tempat kerja aja."
"Baiklah, kalau begitu. Saya akan membereskan meja setelah pulang kerja saja."
Aku pun berangkat kerja, dengan dirinya yang masih makan di meja. Sampai di kantor, aku segera ke ruangannya Pak Furqon dan membersikan meja, dan semuanya. Setelah selesai, aku pun keluar dan duduk di mejaku. Awalnya aku merasa betah kerja di sini. Namun setelah aku menikah dengan Pak Furqon. Aku merasa bahwa kerja di sini tuh tidak membuatku nyaman lagi. Aku tertekan dan ya ... ini karena aku sering bertemu Pak Furqon dan dia sepertinya merasa enggak senang aku berada di sini.
"Selamat pagi Nona Naya!"
Ku lihat laki laki itu, dia kliennya Pak Furqon. Tapi kenapa pagi pagi sudah berada di sini?
"Mau bertemu pak Furqon?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Dia kayanya belum datang ya?" ujarnya.
"Iya. Pak Furqon belum datang."
"Oh," dia pun berdiri dan melihat ruangan ku itu. "Kamu betah di sini?" tanya nya.
"Oh, iya, pak."
"Kenapa kamu membersihkan ruangan Furqon, kalau kamu juga kerja sebagai administrasi. Kan sudaha ada bagian khusus yang membersihkan tempat ini." ujarnya.
Aku memilih tidak menjawab karena memang bingung mau jawab apa. "Oh, karena saya memiliki uang tambahan, pak. Dari hasil membersihkan ruangan Pak Furqon setiap hari itu, lumayan sekali." ujarku.
"Oh. memangnya berapa kamu bisa mendapatkan uang dari hasil membersihkan ruangannya Pak Furqon?"
"Ada lah, pak. Intinya lumayan saja untuk membayar kontrakan dan jajan saya." Aku tahu berbohong itu dosa. Tapi aku juga enggak mau kalau sampai ada yang tahu aku sudah menikah dengan Pak Furqon dan membuat beliau enggak nyaman.
"BTW, kamu di mana tinggal? waktu itu kita pernah bertemu di kompleks yang sama. Kamu tinggal di rumah nomor bera--"
"Ayo ke ruangan ku!"
Tiba tiba Pak Furqon datang, dan mengajak Pak Samudra masuk ke ruangannya. "Naya, nanti bawa air ke dalam." ujar Pak Furqon.
"Iya, pak."
Aku pun segera ke dapur kantor, di sana aku bertemu dengan Lena, asistennya Pak Furqon. "Kamu disuruh apa sama Bapak?" tanya nya.
"Disuruh ambilin air minum." ujarku.
"Ya, udah biar aku aja. Kamu ke ruangan kamu aja."
"Ok." aku pun kembali ke ruangan ku. Pekerjaan ku sebenarnya banyak sekali. Aku membuka map dan mulai mengerjakan tugasku, namun belum saja setengahnya. Aku mendengar panggilan dari Pak Furqon. Berlari cepat, aku segera ke ruangannya.
"Iya, pak." kulihat wajah pak Furqon menegang. Dan Lea menunduk segera keluar dari ruangan itu.
"Saya nyuruh kamu, bukan lena!"
Memangnya apa salahnya? baik aku atau Lena, aku rasa kami sama sama membawakan air kan? lalu salahnya di mana?
"Maaf, pak."
"Kamu itu hanya babu! pemalas!"
"Oh, maaf, pak."
"Dia babu?" tanya Pak Samudra.
Ku lihat pak Furqon mengangguk. "Iya, dia babu di rumahku." Aku tahu dia enggak salah dengan ucapannya. Karena itu benar. Tapi entah kenapa hatiku sakit.
"Oh, jadi kamu kerja di rumahnya Furqon?" tanya Pak Samudra. Karena Pak Furqon sudah memperjelas. Maka aku pun mengangguk. Aku sudah enggak memiliki pilihan.
"Kalian saling kenal?" tanya Pak Furqon.
"Iya, Kami bertemu di rumah makan padang. Kalau gitu, nanti aku ke rumah mu ya. Mau bertemu Naya." Duh, Pak Samudra ini ada ada saja!
"Buat apa? ngapain kamu ketemu babu? bikin malu aja!"
"Enggak apa apa lah! Meski babu, Naya ini cantik banget." kekeh Pak Samudra, tanpa malu bicara di depan ku. "Nay, dari pada jadi babunya Furqon. Mending jadi istriku saja lah. Aku sudah jelas ak--"
"Ah, sudah sudah! kamu pergi sana!" Pak Furqon mengusirku dari ruangannya, dan aku pun tentu saja segera kembali ke luar.
Sepulang kerja, aku pulang dan bertemu dengan Pak Furqon. Laki laki itu melemparkan paper bag tepat di muka ku. Hingga aku meringis karena merasa sakit.
"Pake baju itu, dan kita pergi ke rumah mamah." ketusnya. Aku tahu, dia sangat benci pergi satu mobil dengan ku. "Susah sekali mencari baju yang bentuknya kaya ibu ibu pengajian. Mana harganya lebih mahal pula! kamu udah ngerjain saya! aku potong gajih kamu!" Kemudian ia pun pergi meninggalkan ku. Ku hela napas ini, dan melihat isinya. itu memang gamis terbaik yang ada saat ini. Gamis dengan bentuk dan warna yang begitu cantik. Aku sungguh tidak sanggup membelinya.
Melihat diriku dengan balutan gamis ini, sungguh indah sekali. Gamis ini berwarna putih tulang, dengan bentuk kardigan yang indah di luarnya. Lalu di dalamnya pun terlihat sangat manis. Gamis ini satu perangkat dengan hijabnya. Aku merasa seperti bidadari memakai gamis ini. setelah aku selesai memakai riasan natural, aku pun turun dengan tas selempang yang aku pakai. Ternyata di bawa Pak Furqon sudah menungguku.
Aku melihatnya terdiam ketika melihatku turun dari atas tangga. Aku tidak boleh GR, tidak mungkin Pak Furqon terkesima melihatku. Aku yakin sekali, dia hanya risih melihat bajuku yang seperti apa katanya ... dia bilang seperti ortodok atau apalah. Aku enggak ngerti istilahnya itu.
"kelamaan!"
Dia berjalan mendahului ke arah gerasi. Aku pun mengikuti dan mengunci pintu. Aku pun masuk ke dalam mobilnya Pak Furqon di belakang. Namun
"Ke depan! kamu pikir, saya sopir kamu?"
"Oh, iya, pak." Aku pun pindah ke depan dan duduk di sampingnya.
"Ingat! di rumah mamah, kamu panggil saya Mas."
"I-iya, pak, eh, mas."
"Hmm."
Lalu kami pun pergi ke rumahnya mertuaku. Di sana aku disambut hangat oleh mertuaku. Beliau begitu baik, dan ramah.
"Ya ampun ... Naya begitu cantik. Bajunya bagus, cocok sekali buat kamu."
"terima kasih, bu."
Ku lirik Pak Furqon tetap datar, kemudian masuk ke dalam tanpa mengajak ku.
"Ayo masuk, sayang." Ibu mertuaku mengajaku ke dalam.
"Bagaimana apakah Furqon baik sama kamu?"
"Mas Furqon sangat baik dan sangat manis pada Naya. Terima kasih, ya bu."
"Ah, syukurlah, kalau begitu. Ibu sudah tidak tahan nunggu cucu ibu lahir."
Kalau untuk satu itu, sepertinya enggak mungkin. Jangan kan hamil, mas Furqon sama sekali enggak sudi melihatku. "Doakan saja, bu."
"Pastinya sayang. Kamu tunggu di sini ya. Ibu mau ambilkan sesuatu." Aku pun menunggu di ruang tamu. Sedangkan Mas Furqon entah ke mana. Lima menit kemudian, mertuaku datang dengan membawa sebuah kotak.
"Ini untuk kamu." Beliau duduk dan memberikan kotak berwarna merah maroon itu di pangkuan ku.
"buka lah, kamu pasti akan suka." ucapnya.
Aku pun membukanya, dan terlihat seperangkat perhiasan berlian yang begitu berkilau. Aku termangu karena sangat kaget.
"Kamu suka?"
"Bu ... ini berlebihan sekali."
"Ih, ko berlebihan? ini hadiah dari ibu untuk kamu. Kamu telah menyelamatkan ibu. Ayo pake ini."
"Tapi bu---"
"Sini, Ibu pakei--eh, Furqon! ayo sini! pakein ini untuk Naya!"
Duh, kenapa kebetulan sekali, Mas Furqon hendak keluar. Jadinya kan ibu memanggilnya. Aku sungguh enggak enak sama Pak Furqon. Kulihat dia sepertinya enggak suka ibu memberikan perhiasan ini padaku.
"Bu ... enggak us--"
"Sini!"
Aku terpaku, ketika Mas Furqon meraih kotak itu, dan duduk di depan ku dekat sekali. Dia meraih kalung dan menyingkap kan kerudung ku, memakaikan kalung itu dengan jarak yang begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan nafasnya. Apakah ... apakah aku masih hidup? atau ... ini hanya di dalam mimpi?