Pacar?
Naya tersenyum. Apakah memiliki seorang pacar itu penting? sedangkan saat ini banyak sekali orang yang berpacaran namun berakhir dengan putus dan nangis nangis. Jadi sebenarnya apa tujuan memiliki pacar itu?
"Saya tidak pacaran, pak." jawab nya.
"Maaf, maksudnya? kamu enggak tertarik dengan memiliki seorang pacar? seperti itu?"
"Mmm ... saya tidak akan mengatakan tidak ingin. Tapi mungkin kalau langsung menikah saja itu lebih baik." Namun sialnya pernikahan yang diidamkan Naya malah menjadi neraka untuknya. Furqon adalah suaminya, namun laki laki nyatanya sangat sangat membencinya. Laki laki itu bahkan tidak segan memperlihatkan perasaan benci padanya dengan membentak atau menganggapnya seorang manusia yang beitu menjijikan. Mungkin kalau Furqon ini adalah orang lain, bukan suaminya. Maka Naya tidak peduli itu. Namun laki laki itu adalah suaminya. Seseorang yang sudah bersumpah setia di depan penghulu, dan syah di mata agama dan negara.
"Apa itu artinya dek Naya sudah menikah?" namun Samudra tidak melihat ada cincin yang melingkar di jari manis gadis itu. "Atau belum?" ia penasaran laki laki seperti apa yang diinginkan gadis cantik berhijab itu.
"Mm ... saya permisi, pak. Saya sudah selesai makan." Naya segera meninggalkan piring yang sudah kosong. Dan beranjak meninggalkan laki laki tampan itu. Sesampainya di rumah, Naya membuka pintu dengan pelan, ia takut mengganggu Furqon dan kekasihnya itu. Dia berjalan perlahan dan tanpa suara.
"Aku mau kita menikah secepatnya!" Langkah Naya terhenti ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Furqon. Ia berdiri di balik tembok, karena tidak sanggup melihat apa yang tengah terjadi di sana.
"Tapikan kamu sudah punya istri, bagaimana bisa kamu akan menikahi aku? apa yang harus aku katakan pada kedua orang tuaku." ujar Berlian.
"Aku tidak pernah mau menikahinya. Dia yang menikah dengan kedua orang tuaku, tapi aku merasa tidak pernah menikahinya. Kamu tahu, dia ini hanya seorang anak panti asuhan yang tidak jelas siapa keluarganya. Dia juga tidak cantik dan seksi seperti kamu sayang." ujar Furqon lagi. Naya mengepal eratkan kedua tangannya dengan gemetar. Ia hampir saja masuk, ketika getaran ponselnya terasa, ia pun meraih ponselnya yang berada di dalam saku rok panjangnya tersebut, dan melihat isi ponselnya. Di sana Naya menemukan banyak panggilan dari temannya, Melina. gadis itu berada di rumah sakit dalam keadaan tidak baik baik saja. Naya kenal Melina ketika mereka sama sama berada di sekolah SMA. Ia dan Melina sangat akrab dan manjadi sahabat yang begitu dekat. Melina pernah bercerita padanya, kalau ia begitu di kekang oleh kedua orang tuanya karena mereka sangat kaya raya, dan menginginkan Melina menjadi anak yang suskes seperti kakaknya. Namun Melina ini agaknya kurang suka di atur, seperti kakaknya Melina. Jadinya gadis itu nakal dan saat ini malah keguguran, sehingga ia berada di rumah sakit sendirian tanpa sepengetahuan keluarganya.
Naya ingin pergi ke rumah sakit, namun tentu saja ia harus meminta ijin pada sang suami, tapi bagaimana ia meminta ijin kalau laki laki itu saat ini sedang bermesraan dengan kekasihnya. Tapi ya sudah lah ... lebih baik ia tetap meminta ijin meski laki laki itu mungkin tidak akan menggubrisnya.
"Maaf!" naya jelas mengganggu ketika Furqon hendak mencium perempuan itu. Furqon menghela napas dalam dan menunduk dengan geram menahan amarah. Dia tidak mau menatap sedikit pun pada naya, tidak akan karena gadis itu jelas jelas sangat jelek, jadi untuk apa Furqon menatapnya.
"Apa?" sahut Furqon dingin.
"Saya mau pamit ke rumah sakit, teman saya sedang berada di unit gawat darurat." ujar Naya pelan.
"Jangan! kamu pergi tidur sekarang!" tegas Furqon.
"Aku mohon ..." Naya bertekuk dua lutut dengan menunduk dalam. "Dia tidak memiliki keluarga yang peduli padanya. Aku mohon ijinkan aku pergi ke rumah sakit.
Furqon terkekeh. "Memangnya keluarga kamu ada yang peduli?" sindir Furqon, membuat Naya mematung. Sindiran itu jelas membuat hatinya sakit. Kenapa Furqon sampai tega mengatakan itu padanya. Tidak cukup kah laki laki itu telah menyakitinya dengan tidak menganggapnya sebagai istri.
''Kamu juga enggak ada yang peduli, dan kamu sudah sombong mau memperdulikan orang lain.'' tambah Furqon lagi.
''Ayolah sayang, biarkan dia pergi. Mungkin temannya memang sedang butuh dia." ujar Berlian.
Karena ini gadis kesayangannya yang bicara, maka Furqon pun terdiam. Ia mendengus menatap Naya dalam diam. "Pergilah, lagi pula aku enggak mau lihat wajah jelek kamu!" gumamnya.
"Terima kasih." Naya pun pergi dan segera menelpon taksi.
Sampai di rumah sakit, Naya segera mencari kamar yang menjadi rawat inapnya Melina. Gadis itu mengabarinya kalau dia sudah masuk ke ruang kamar inap.
"Mel ..." Naya memeluk gadis itu. Melina menengisa pilu dengan tubuhnya yang gemetar.
"Pacarku enggak mau tanggung jawab. Pacarku tinggalin aku karena dia bilang keluargaku terlalu kaya dan dia enggak mau jadi babu keluargaku. Apa aku salah karena terlahir dari keluarga berada?"
Naya menggeleng dan mengusap punggungnya. "Enggak Mel ... kamu beruntung dan kamu harus bersyukur."
''Untuk apa aku harus bersyukur kalau setiap hari kedua orang tuaku hanya membanding bandingkan antara aku dan kakaku yang sudah sukses. Mereka selalu bilang kalau aku itu hanya menghabiskan uang saja, tidak seperti kakaku yang sudah memiliki perusahaan. Dan aku enggak bisa seperti mereka, mereka bilang aku ini pembawa sial!"
"Astagfirullah! enggak kaya gitu sayang ... mungkin mereka lagi banyak masalah. Kamu tetap berhusnudzon ya ..."
"Aku enggak ngerti apa itu berhusnudzon seperti yang kamu katakan itu. Karena yang aku tahu, dan sejak aku mulai dewasa, mereka hanya terus dan terus menyelaku. Mereka bilang kakak ku ini lah, kakak ku itu lah, dan aku adalah anak yang tidak berguna. Aku lebih baik mati aj--"
"Hus ..." Naya menggeleng dengan menatap wajah sang sahabat. "Jangan berkata yang enggak enggak! anggap semuanya sebagai cambukan semangat untuk kamu, agar kamu suskes."
"Tapi aku enggak bisa! aku enggak bisa suskes!"
"Kata siapa? kamu hanya belum mencobanya saja. Kamu tidak akan pernah tahu apapun, sebelum kamu mencobanya."
Melina terdiam selama beberapa saat. "Tapi pacarku enggak mau kembali sama aku, aku harus bagaimana?" ia kembali meratapi nasibnya, setelah terdiam selama beberapa saat. Naya menghela napas dalam, menggenggam tangan sang sahabat. Mengusap rambutnya dan memberikan senyuman terbaik, meski hatinya sedang hancur saat ini. Melina tidak boleh tahu kalau ia sedang sedih gara gara suaminya dan pernikahannya yang aneh luar biasa. Tidak! Melina memang tidak tahu kalau ia sudah menikah dengan Furqon.
"Kalau gitu, kamu harus menjadi perempuan yang hebat."
"Perempuan yang hebat?"
"Iya. Perempuan yang hebat, yang bisa semuanya. Yang enggak butuh bantuan laki laki atau kasih sayang laki laki. Kamu independen dan bisa lebih hebat dari seorang laki laki. Tunjukan kalau kamu bisa, dan pulang lah. Kamu ikuti apa yang kedua orang tuamu inginkan. Kalau mereka ingin kamu jadi pengusaha, maka lakukan lah, perlihatkan lah kalau kamu bisa menjadi lebih dari kakak mu."
"Mana bisa aku jadi lebih dari kakaku? dia--"
"Bisa! kamu bisa menjadi lebih dari kakak mu." Masih menggenggam tangan gadis itu. "Kamu bisa menjadi lebih dari kakak mu, bahkan lebih."
***
Sepertinya waktu sudah malam sekali. Naya pulang ke rumah nya Furqon dengan pelan pelan, agar laki laki itu tidak sampai mengetahuinya. Dia juga memilih berjala dalam kegelapan agar tidak mengganggu laki laki itu. Namu ...
"Baru pulang!"
Furqon turun dari lantai atas bersamaan dengan lampu yang menyala, membuat Naya menegang di tempatnya.
"I-iya ..." Naya memilih menunduk dan menghindari tatapan lekat Furqon. Naya tidak tahu apa yang terjadi pada laki laki itu, karena kali ini mau mengangkat wajahnya dan menatapnya sampai begitu lama.
Apakah ... apakah laki laki itu sedang mabuk? mendadak Naya mundur takut.
"Kamu takut padaku?" Furqon tersenyum miring dan maju mendekatinya, sampai gadis itu berasandar pada dinding tembok di belakangnya. Mengangkat sebelah tangannya dan mendekatkan wajahnya, membuat naya menunduk dalam mati kutu.
"Bagaimana teman mu?"
"Di-dia sakit."
"Kenapa?"
"Keguguran ..." Naya tidak tahu kenapa ia sampai mau mengatakan yang sejujurnya pada laki laki itu. Tapi mungkin karena tatapannya yang menakutkan itu. Makanya Naya berkata apa adanya.
"Ok ..." Naya semakin menunduk dan meringis, ketika Furqon menghisap ceruk lehernya yang tertutup hijab. Furqon memang mabuk karena laki laki itu bau sekali. "P-pak ..." gadis itu mendorong d**a Furqon. Namun Furqon memeluknya erat dan meracau tidak jelas, membuat Naya gelagapan dan bingung karena tidak bisa melepaskan diri.