Erlin terpaksa kembali membatalkan rencananya. Alih-alih mencegat angkot yang akan membawanya ke pasar, dia malah duduk di bangku bawah pohon mangga. Ngadem sambil menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil akibat pemandngan yang mengerikannya.
Berkali-kali Erlin mengelus dadanya sambil beristigfar. Tidak sampai lima menit matanya menangkap benda milik Hendra itu, namun bayangannya seakan menempel di benak dan kelopak matanya. Hitam, besar, panjang, berurat dan berbulu lebat, itulah gambaran yang kini memenuhi isi kepalanya.
Sungguh itu benda terbesar dan terpanjang yang pernah dilihatnya. Erlin bahkan belum pernah melihat punya suaminya. Setiap berhubungan intim, Rafael selalu mematikan lampu, senangnya gelap-gelapan. Sama sekali tidak ada romantis-romantisan sebagai alur pembuka.
“Eh, ini Neng Erlin mau kemana, kok ngadem di sini sendirian, Sayang?” Tiba-tiba seseorang menegur Erlin yang sedang larut dalam lamunannya.
Erlin lantas gegas berdiri, merasa malu tetangkap basah sedang melamun. Untung saja dari kepalanya tidak keluar gambar benda yang sedang dilamunkannya.
“Eh, i..iya, Bu. Eh Bu Haji, Assalamualaikum,” balas Erlin sedikit gelagapan, lalu dengan sikap santun meraih tangan wanita setengeh baya yang berdiri tepat di depannya. Wanita itu mengenakan gamis yang senantiasa terlihat anggun dan agamis sesuai usia pemakainya.
“Waalaikumsalam, duh udah cantik gini, mau kemana, Sayang?” tanya wanita yang dipanggil Bu Haji itu seraya mengelus-elus pundak Erlin.
“Biasa Bu Haji, saya mau ke pasar, tapi barusan ada perlu dulu sama Mbak Wenti.” Erlin menjawab takjim.
“Eh, bukannya Wenti tadi keluar, mungkin nungguin anaknya ke PAUD? Biasanya jam segini dia kan masih di sana.” Bu Haji mengkerutkan dahinya.
“Hehehe, iya sih, Bu. Saya ada perlunya sama Mas Hendra, tapi udah beres kok. Bu Haji sendiri mau kemana?” Erlin tanya balik mengalihkan pembicaraan.
“Kudratullah, ini sangat luar biasa. Ibu tadinya mau main ke rumah Neng Erlin, eh malah ketemu di sini.” Bu Haji memeluk Erlin menunjukan ekspresi senang dan bersyukurnya.
“Oh gitu, kebetulan dong ya kita ketemu di sini. Maaf, Bu Haji mau pesen apa lagi?” Erlin mendadak antusias dan semringah, bayangan sesuatu yang tadi sempat membuatnya semaput hilang sirna karena bakal ada riziki yang datang.
“Gak kok, mau ngobrol-ngobrol aja. Boleh ibu minta waktunya sebentar?” Mimik wajah Bu Haji berubah serius.
“Ada apa Bu Haji?” Jantung Erlin kembali dag-dig-dug padahal sudah sering ngobrol dengannya. Tetapi memang dia belum pernah meliah wajah guru ngajinya itu seserius dan sedikit mendung seperti saat ini.
“Kalau masalah pesanan pakaian, tenang aja, ibu selalu cocok apapun yang dipilihkan Neng Erlin. Tapi ini masalah yang berbeda. Ibu mau bicarain masalah saudara Neng, Mbak Wenti.” Mimik dan intonasi Bu Haji semakin berubah.
“Mbak Wenti? Ada apa dengan dia, Bu Haji?” tanya Erlin makin terperanjat. Semua tetangga di kompleks, memang tahunya Wenti dan Erlin saudara sepupu.
“Gak enak ngobrol di tengah jalan gini, Neng. Mending ke rumah ibu dulu bentar yu. Soalnya ini sangat penting dan rahasia. Sekalian ibu juga mau minta tolong. Maksudnya minta solusi harus gimana.” Bu Haji menatap Erlin penuh harap.
Bu Haji Yayah istrinya alhmarhum Ustad Komarudian, biasa disapa Bu Haji Komar, merupakan salah satu customer setia Erlin. Walau terbilang cukup makmur karena anak-anaknya sudah sukses, namun beliau tetap mendukung usaha Erlin dengan rutin mengambil kredit barang-barang walau tidak terlalu besar harganya.
Bu Haji kini tinggal berdua dengan anak bungsunya yang kuliah semester empat. Sementara suaminya sudah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Hubungan Bu Haji dengan Erlin cukup dekat, walau Erlin belum mengenakan jilbab secara istiqomah seperti ibu-ibu lainnya. Dia memakai gamis hanya pada saat mengaji atau menghadiri acara resmi.
“Sebenarnya ibu juga agak kagok ngomongnya, Neng. Tapi ibu percaya Neng pasti bisa jaga rahasia ini dan sekaligus membantu ibu menyelesaiakannya.” Bu Haji kembali membuka pembicraan setelah keduanya ada di rumahnya.
“Masalah apa Bu Haji? Kalau memang saya sanggup, Insya Allah bisa bantu.” Erlin masih kebingungan.
“Ini menyangkut masalah Wenti dengan Akmal, anak ibu,” jawab Bu Haji lirih.
“Hah!” Kedua mata Erlin sedikit membesar.
“Ibu sudah bingung harus gimana lagi bicara sama Akmal. Dia udah berani ngelawan dan menentang orang tua. Ibu malu sama almarhum Abinya, Neng.” Bu Haji menyeka air matanya yang mulai menetes.
“Ma…maaf, hub..hub..hubungannya Akmal dan Mbak Wenti Itu memangnya serius, Bu Haji?” Erlin masih tak percaya.
“Serius Neng, malah…..” Bu Haji tak meneruskan ucapannya, sibuk menyeka air matanya. Erlin pun hanya bisa melongo. Tak menduga cerita Wenti tentang pisang ambonnya Akmal, ternyata dia kejar sampai dapat.
“Sekali lagi ibu mohon, Neng Erlin jangan bocorkan rahasia ini. Ibu mau nyeritain juga karena udah bingung harus minta tolong sama siapa. Tadi malam Akmal tidak ada di rumah, pas subuh ibu lihat dia keluar dari rumahnya Wenti.” Bu Haji melanjutkan ceritanya yang benar-benar membuat hatinya terluka.
“Astagfitullah, Bu!” Erlin kembali terperanjat.
“Ada ke..ke..mungkinan Akmal ngi..nginep di rumah Wenti. Pa..pa..dahal kan Mas Hendra sedang tidak ada di rumah, dia bi..bi..biasa dinas malam.” Dengan suara terbata-bata Bu Haji melanjutkan ceritanya.
“Astagfirullah, Bu Haji!” Sekujur tubuh Erlin benar-benar tersentak. Mata terbelalak, mulut pun menganga. Hatinya bertanya-tanya, apa arti tangisan Wenti tadi yang mengaku diselingkuhi suaminya? Ternyata Wenti tak lebih dari seekor rubah penduta yang sangat rakus.
“Jadi saya harus gimana agar bisa bantu Ibu?” tanya Erlin berusaha tenang, setelah Bu Haji Komar yang bercucuran air mata menceritakan secara panjang lebar tentang hubungan Wenti dengan Akmal, anak bungsu kesayangannya.
“Tplong Neng bicara baik-baik sama Wenti, tinggalkan anak ibu. Akmal masih sangat muda, Wenti sudah punya suami dan anak. Ibu mohon, tinggalkan Akmal. Ibu sudah bingung harus gimana lagi ngomongnya.” Air mata Bu Haji kembali tertumpah.
Bu Haji Komar lantas menjelaskan jika Wenti dan Akmal sudah prnah janjian ketemu di luar. Akmal tinggal di kostan dekat kampusnya dan Wenti bisa saja datang ke kostan Akmal. Bu Haji merasa cemas dengan keselamatan anaknya, karena status Wenti yang sudah bersuami.
“Ibu juga mau minta bantuan sama Neng Erlin untuk bicara dengan Akmal,” lanjut Bu Haji.
“Hah!” Erlin erperanjat dan tertegun untuk beberapa saat sambil memandangi ibundanya Akmal yang sedang membasuh air mata dengan kerudung panjangnya.
Erlin belum pernah berkomunikasi secara langsung dengan Akmal. Dia hanya tahu Akmal anak muda yang terkesan sangat alim dan religius. Itu juga bukan sesuatu yang istrimewa karena seluruh keluarga Bu Haji memang sangat nyantri.
Erlin beberapa kali geleng-geleng kepala ketika Bu Haji lebih lanjut menceritakan bagaimana dia sudah kehabisan akal untuk menasihati Akmal. Bahkan pernah juga bicara baik-baik dengan Wenti, namun tanggapannya jadi lain.
Wenti dan Akmal sama-sama menyangkal dengan keras, yang akhirnya justru keduanya seperti tidak lagi menghargai Bu Haji. Akmal yang pada awalnya penurut, kini menjadi sedikit membangkang. Bu Haji bahkan menduga jika Akmal sudah diguna-guna oleh Wenti.
‘Masa sih Bu Haji percaya sama guna-guna segala?’ tanya Erlin dalam hati.
“Ibu pernah bicara dengan Mas Hendra?” Erlin menyelidik.
“Justru ibu takut kalau masalah ini sampai ketahuan sama Mas Hendra. Pasti Akmal yang akan disalahkan. Bahkan mungkin bisa jadi korban kemarahan Mas Hendra. Ibu takut dan bingung, Neng.” Bu Haji komar kembali menyeka air matanya yang menujukan banyak sekali kecemasan.
“Iya juga ya, Bu.” Erlin pun ikut cemas dan bingung. Dia teramat hapal bagaimana temperamnetalnya seorang Hendra.
“Semoga Neng Erlin bisa menolong. Ibu mohon jangan digembar-gemborkan dulu. Tolong jaga nama baik keluarga ibu, Neng.” Bu Haji tampak sangat frustasi. Dan Erlin hanya bisa tetegun. Tak tahu harus bagaimana membantu Bu Haji agar isa terlepas dari kesusahannya.
‘Berarti obrolan Mbak Wenti waktu itu bohong, soalnya Bu Haji gak ngejelasin kalau dia pernah ngobrol di meja makan bulat itu. Dan kalau denger cerita Bu Haji, sepertinya sudah agak lama Mbak Wenti dan Akmal hubugan,’ batin Erlin.
“Ta,,,tapi saya belum pernah ngobrol dengan Mas Akmal, Bu,” Erlin mencoba menjelaksan posisinya, sebelum Bu Haji terlalu berharap besar padanya.
“Iya ibu paham. Tapi sebenarnya Akmal itu gampang kok diajak ngobrolnya. Ya, dia kan cerdas juga sama kaya Neng Erlin. Ibu rasa kalian akan cocok ngobrolnya, sesama orang cerdas.”
“Hehehe, ibu berlebihan. Saya hanya lulusan SMA, Bu, gak mungkin sama dengan Mas Akmal.” Erlina malu-malu.
“Alah siapa yang percaya. Neng Erlin sih dari gaya bicaranya aja udah ketahuan orang kuliahan. Cocoknya jadi guru SMP atau SMA. Makanya ibu juga sempet kaget, kok mlah mau jadi tukang kredit? Maaf bukan berati itu pekerjaan haram. Tapi ibu lebih percaya kalau Neng Elin itu jadi guru.” Bu Haji segera mendatangi Erlin dan memeluknya erat, merasa keceplosan seolah merendahkan tukang kredit.
“Gak papa Bu Haji, saya emang hanya lulusan SMA. Yang sarjana itu Mas Rafael,” jawab Erlin sambil membalas pelukan Bu Haji yang berkali kali meminta maaf karena merasa sangat tidak berahlaq telah merendahkan usaha yang sedang digeluti Erlin dengan semangat.
Setelah Bu Haji tenang, Erlin pun berpamitan untuk segera ke pasar dan berjanji akan bicara baik-baik dengan Wenti, namun belum berani janji bisa menasihati Akmal.
“Gak papa sayang, tapi ibu sangat yakin, Akmal akan nurut sama nasihat dari Neng Erlin. Gak tahu, udah beberapa kaai ibu shalat istiharah, wajah Neng Erlin terus yang terbayang. Jadi ibu sangat yakin hidayah untuk Akmal sedang dibawa Neng Erlin, Amiin!”
“Amiin.”
Karena hari sudah siang Erlin pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Rencanaya besok atau lusa baru dia akan suvey ke toko, sebelum pulang kampung. Dia curiga setelah menelpon tadi, Rafael kemungkinan akan pulang malam ini, sekalian menanyakan apakah dia mau undangan atau tidak pada suadaranya di kampung. Kalau tidak, berarti tak ada pilihan lain slain menerima tawaran dari Reza..
^*^