Gangguan Pikiran

1646 Kata
Dugaan Erlin meleset. Rafael ternyata tidak pulang lagi malam ini. Sudah tiga hari dua malam suami Erlin itu entah berada dimana. Sepertinya dia sangat marah karena Erlin menolak tawaran bantuan modal usaha dari Zidan. Sesungguhnya Erlin bukan benar-benar menolak namun ingin ada kejelasan dalam kerja samanya, kalau hanya sebuah hibah tentu saja menimbulkan tanda tanya besar karena nominalnya pun cukup besar. Namun demikian, ketidak pulangan Rafael, sedikit membuat membuat Erina senang. Menurut hematnya, lebih baik suaminya tidak ada di rumah kalau hanya membuatnya kesal dan tertekan. Erlin merasa tersika jika harus menyetujui sesuatuu yang bertentangan dengan nuraninya. Andai pun dia benar-benar sangat butuh dengan modal itu, sesungguhnya Bu Haji Komar dan Reza pun sudah jelas-jelas menawarkan jasa dengan sistem kerja sama yang lebih ringan dan saling menguntungkan. Sementara tawaran dari Zidan, masih belum jelas. Erlin sangat yakin jika Zidan yang tajir dan baik itu punya niat baik membantunya. Tetapi semua bisa menjadi rumit bahkan berakhir runyam jika Rafael terlibat dan ikut campur di dalamnya. Erlina justru curiga rencana busuk suaminya yang riba-riba peduli dan mencarikan modal. Sedangkan selama ini dia sering menentangnya. “Tak salah omongan Bi Arsati, suamiku memang serigala lapar. Tidak menakutkan secara fisik, namun jalan pikiran dan rencana-rencananya benar-benar harus diwaspadai. Gila ternyata aku bersuamikan seorang psikopat!” guman Erlin mengingatkan dirinya. Tadi malam Erlin tidur gelisah, bukan memikirkan suaminya yang semakin ke sini semakin ke sana, namun memikirkan tiga orang lelaki yang dalam kisahnya masing-masing dan benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Tiga lelaki dengan karakteristik unik itu ialah, Hendra, Akmal dan Reza. Hendra si rudal jumbo. Bayangan sesuatu yang baru pertama dilihat Erlin, mau tidak mau, sulit dihilangkan dari benaknya, walau sudah berusaha keras untuk membuang atau menyingkirkannya. Namun malah semakin kepikiran, terlebih saat tak sengaja Erlin kembali bertemu dengan Hendra saat suami Wenti itu akan berangkat kerja. “Ah gila, ini sih udah gak waras!” keluh Erlin dalam hati ketika semakin jauh dihantui bayangan menggoda dari senjata adalan Hendra yang lambat laun memicu getaran-getaran aneh dalam dirinya, bahkan ketika hanya mendengar namanya saja. ‘Masa sih aku harus terobsesi dengan suami sahabatku sendiri, batin Erlin kesal. Akmal, Putra Bu Haji. Obrolan Erlin dengan Bu Haji tak kalah peliknya dan kian membuat Erlin susah tidur. Satu sisi dia ingin membantu guru ngajinya itu menyelesaikan masalah dengan menasihati Akmal. Namun di sini lain, secara mental Erlin belum siap berkomunikasi langsung dengan Akmal. Sejauh ini Erlin sangat menghindari sesuatu yang bersifat mencampuri urusan orang lain. Terlebih lagi itu sudah menyangkut urusan hati dan perasaan. Bagaimana mungkin dia menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Lantas bagaimana kalau akhirnya justru Akmal maupun Wenti menuduhnya iri atau cemburu. Reza, Mahasiswa tajir yang ganteng. Sejatinya mahasiswa tingkat akhir itu sudah beberapa minggu memberikan perhatian yang berbeda dari biasanya. Terkadang juga mengirim chat sekedar say hallo atau basa-basi pesan sesuatu yang agak mustahil. Sebagai wanita dewasa, Erlin sangat memahami jika Reza memiliki perasaan lebih pada dirinya. Namun sayang Erin bukan wanita lajang yang bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. “Permisi, selamat pagi menjelang siang, Bu Erlin, hehehe.” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Erlin yang sedang melamun di beranda setelah menyapunya. Dan sontak saja lamunan tentang tiga lelaki yang meresahkannya buyar tanpa sisa. “Eh selamat pagi juga, Mang!” balas Erlin dengan suara yang sedikit gelagapan. Dia bahkan baru menyadarinya jika di depannya telah berdiri seorang lelaki berusia kira-kira empat puluh tahunan, lengkap dengan motor dan gerobak sayurnya. Mesin motornya masih hidup, kenapa tadi gak kedengaran, batin Erlin “Bu Erlin udah belanja sayuran belum?” tanya Kang Sayur yang sangat lengket dengan Hendra dan Wenti itu karena melihat Erlin masih berdiri tertegun di teras rumahnya. Wajahnya mengarah pada dirinya, namun sepertinya pandangan matanya terlihat tidak fokus dan kosong. “Kurang tahu bingung mau masak apa, Mang,” jawab Erlin sambil mendatangi gerobag Mang Pandi. “Silakan liat-liat aja dulu, Bu. Masih seger-seger, kuat disimpan sampai dua hari, bahkan jika tidak dimasukan ke dalam kulkas.” “Gak ada gosip terkini, Mang?” tanya Erlin sambil terkikik. Reputasi Mang Pandi memang sudah sangat terkenal sebagai biang gosip juga kang sayur super m***m. Namun anehnya dia malah jadi kesanyangan emak-emak kompleks. “Tumben ibu nanyain gosip, hehehe?” tanya Mang Pandi heran. “Ya kan biasanya langsung nyerocosin gosip aktual, tajam, dan terpercaya. Sekarang kok tidak, hehehe,” balas Erlin memplesetkan jargon salah satu tv swasta. “Kan biasanya Ibu juga belanjanya bareng sama emak-emak yang lain. Jadi sekali berucap bisa didengar oleh semua, masa harus orang per orang, heheh.” “Gitu ya? Jadi saya udah gak kebagian gosip terbaru nih?” Erlin pura-pura merajuk. “Masih ada sih. Ini malah belum Mamang sebarin, rencananya baru mau besok disampein sama emak-emak kompleks, tapi emang ini masih sangat rahasia.” “Apaan sih Mang? Jadi kepo bener nih.” “Bu Haji Komar lagi bersedih dan uring-uringan terus gara-gara anaknya digodain sama Bu Wenti,” bisik Mang Pandi serius dengan ekspresi sedikit tegang. “Halah. Digodain apa memang mereka saling goda, Mang?” Erlin menyangkal ucpan Mang Pandi sambil menatapnya intens. “Aslinya Bu Wenti yang ngebet, terus Bu Hajinya juga terlalu ketakutann. Kalau Mamang sih ngliatnya Mas Akmal biasa-biasa aja tuh,” sangkal Mang Pandi yakin. Erlin tertegun beberapa saat, siapa yang harus dipercaya, Bu Haji atau Mang Pandi. “Apa yang dicari Mbak Wenti dari Mas Akmal, Mang?” Kepenasaran Elin, akhirnya keluar juga. “Ya, Mas Akmal kan masih muda, ganteng, anunya gedong. Yang terpenting kantongnya juga tebal, secara kakak-kakak dia kan udah pada sukses, anak kesayangan Bu Haji lagi.” “Alah, masa mahasiswa kantong tebal Mang, namanya dikasih kakaknya paling juga berapa?” “Hehehe, zaman sekarang mah beda, Bu. Mas Akmal kan punya bisnis internet, kakak-kakanya gak ngasih uang tapi ngasih modal.” Mang Pandi sepertinya sangat tahu seluk beluk keluarga Bu Haji Komar. “Duh masak apa ya, Mang?” Erlin mengalihkan pembicaraan, tak enak membahas Akmal walau sebenarnya masih sangat penasaran ingin lebih banyak menggali informasi tentang siapa sebenarnya Akmal. “Nih ada terong ungu, mentimun, wortel, lobak, dan pare. Wih ukurannya gede juga panjang. apalagi ini terong ungunya dijamin maknyos pokoknya, hehehe.” Mang Pandi bersemangat menawarkan dagangannya yang justru seperti sengaja mengarahkan ingatan Erlin pada sesuatu yang gede dan panjang. Rudal Hendra yang tak sengaja dilihatnyatiga, seketika kembali membayang dan entah mengapa mendengar kata gede dan panjang, mendadak hati dan jiwa Erlin berdesir dan berdebar. “Gimana Bu, mau beli terong ungunya?” Mang Pandi membuyarkan lamunan Erlin. “I.. iya Mang, tapi saya bingung mau dibikin apa ya?” Erlin berusaha desiran aenhanya. “Atuh gampang itu mah, Bu. Terong ungu kan enak juga dibikin balado. Kalau tidak dimasak kan masih bisa buat kegiatan yang lain, hehehehe.” Mang Pandi keembali terkekeh sambil cengengesan yang membuat Erlin mengernyirkan dahinya. “Kegiatan lain? Maksudnya apa, Mang?” tanya Erlin spontan. “Ah Ibu suka pura-pura. Emak-emak di sini juga suka gitu kalau kurang puas sama suaminya,” jawab Mang Pandi sekenanya. “Hah! Suka gitu gimana? Apa hubungannya kurang puas dengan terong ungu, Mang?” Erlin masih tak paham arah pembicaraan kang sayur m***m yang dirasanya mulai sedikit ngelantur itu. “Suka pura-pura gak tahu gitu deh, hehehehe. Rata-rata kalau yang tidak puas sama rudal suaminya, kan gantinya pake terong ungu. Katanya sih sama juga enaknya. Mamang sih udah gak aneh sama curhatan emak-emak yang suka begituan sama terong. Kadang mereka juga suka minta bantuan Mamang,” terang Mang Pandi panjang lebar dan penuh percaya diri yang sekalius sangat mengejutkan. “Sok tahu kamu, Mang!” sergah Erlin tak percaya. “Yeee, malah gak percaya. Tanya aja sama langsung sama Bu Wenti.” “Astaga! Memangnya Mbak Wenti juga suka make terong buat gituan?” Tak sadar Erlin bicara setengah berteriak saking kagetnya. “Kalau Mbak Wenti sih gak butuh bantuan terong, dia udah punya terongnya Mas Hendra. Kan emang gede dan panjangnya sama kaya gini,” jawab Mang Pandi sambil mengambil satu terong ungu dan menunjukannya pada Erlin. Wajah Erlin mendadak terkesiap memerah dan jantungnya pun terasa mendadak berhenti. Terong yang ditunjukan Mang Pandi benar-benar berukuran nyaris sama dengan rudalnya Hendra. “Ibu mau nyobain gak punya Mas Hendra? Gede dan panjang banget loh punya dia. Dijamin maknyos!” bisik Mang Pandi yang sontak menyadarkan Erlin. “Heh, jaga mulut kamu, Mang! Sembarangan aja kalau ngomorng! Mas Hendra itu suaminya teman saya, tahu!” bentak Erlin tersinggung. Kedua bola matanya pun melotot sempurna. “Loh yang bilang Mas Hendra bujangan siapa? Mamang kan cuma nawarin. Kali aja ibu minat. Kalau gak mau juga gak papa, asal jangan nyesel aja nanatinya, heheheh.” Mang Pandi yang sudah mendapat tugas dari Hendra, tak begitu saja menyerah. Dia bahkan mampu bicara enteng tanpa beban. Erlin hanya melongo tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kalau memang suka sama suka, kan gak ada masalah, Bu? Banyak kok yang begitu, udah bukan rahasia lagi. Yang penting bisa saling jaga rahasia.” Mang Pandi memainkan kedua alisnya naik turun seolah meyakinkan Erlin jika apa yang dia sampaikan adalah sesuatu yang teramat biasa. “Astagfitullah, maksud kamu apa Mang Pandi?” Erlin kembali tersentak. “Yang jelas Mas Hendra sangat menyukai ibu. Dia tergila-gila sama Bu Erlin jadi kalau mau ngerasain terongnya Mas Hendra, cingcaylah. Semua bisa diatur! Dia juga tahu kok kalau ibu sering kesepian di tinggal sama Pak Rafael.” Ucapan Mang Pandi mulia kurang ajar. “Dasar aki-aki cunihin. Sinting kamu, Mang!” sergah Erlin kesal, lalu bergegas pergi meninggalkan Kang Sayur yang kurang beretika dan bermoral itu. “Ya segitu aja udah marah, Bu, anggap saja hanya candaan. Tapi kalau ibu berubah pikiran, tinggal bisik-bisik aja sama Mamang. Dijamin maknyos loh Bu.” Mang Pandi yang sudah mendapat pesanan khusu dari Hendra dan Wenti, tak kenal lelah menebarkan racun. “Dasar cunihin!” maki Erlin pelan sambil bergegas masuk ke rumahnya dan motor Mang Pandi pun kembali melaju hendak melanjutkan aktivitasanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN