Bestie Bumi dan Langit

1551 Kata
Sebenarnya Erlin ingan membalas ucapan suaminya itu dengan tamparan yang sekeras-kerasanya. Sungguh sangat rendah cara pandang Rafael memaknai arti seorang anak atau keturunan dalam keluarga. Dia bahkan hanya menganggap anak adalah pelengkap mainan, penawan kesepian belaka. Tak ada seorang istri pun yang tidak mengingikan anak, namun Erlin justru semakin memantapkan tekadnya untuk tetap memakai kontrasepsi secara diam-diam demi mencegah kehamilan. Dia tak ingin melihat anaknya kelak, menderita dan merasakan kurang kasih sayang dari ayah biologisnya. “Oh iya Lin, sebentar lagi aku akan mengikut diklat, kurang lebih dua minggu. Nah, selama aku tidak ada, kamu jangan pernah menghubungi mamaku, apalagi menemuinya. Aku juga gak akan kasih tahu dia sih.” Rafael berpesan, saat sudah siap berangkat kerja. Erlin menjawab dengan anggukkan kecil, “Emang dimana diklatnya?” tanyanya pelan sekedar basa-basi. “Kalau gak di Jakarta, mungkin di Jogja. Pokoknya di manapun tempatnya, aku gak bakal bisa pulang selama diklat berlangsung. Sekali lagi jangan coba-coba hubungi mama, oke?” Rafael kembali mengultimatum istrinya yang mengangguk kecil. Sejak menempati rumah yang sekarang, Erlin belum pernah berkunjung ke rumah mertuanya tanpa diantar Rafael. Dia pun segan bertemu dengan ibu mertuanya, karena takut aakan mengungkit utang piutang almarhum ibunya. ‘Semoga usahaku cepat membuahkan hasil, agar segera bisa melunasi semua utang almarhumah Mama, lalu pergi dari kehidupan mereka!’ tekad Erlin makin membaja. Erlin Tri Pupita, berusia 24 tahun. Anak ketiga pasangan almarhum Abdulsalam dan almahumah Siti Mariah. Kedua kakak Erlin tinggal di Jakarta, sudah lama tidak bertemu karena menganggap Erlin bukan adiknya lagi sejak terjadi perseteruan diantara mereka. Perpecahan dalam keluarga akibat perebutan warisan yang tak seberapa nilainya, benar-benar telah memishakan mereka dan menyisakan luka yang mendalam, dan tak tersembuhkan hingga kini. Erlin bahkan sudah menganggap dirinya hidup sebatang kara di dunia fana ini. Dua tahun yang lalu Erlin terpaksa menikah dengan Rafael demi pelunasan utang piutang alamrhumah ibunya yang bahkan sampai saat ini, Erlin sama sekali tidak diberi tahu berapa jumlah utang ibunya itu. Yang Erlin tahu dia harus berkorban menikah dengan Rafael, lelaki yang baru dikenalnya sesaat sebelum akad nikah. Rafael Catur Putra, berusia 28 tahun. Putra bungsu keluarga Ibu Hikmah, pemilik restaurant ternama. Secara fisik penampilan Rafael teramat biasa-biasa yang cenderung kurang sedap dipandang mata. Namun demikian dia lelaki paling percaya diri sedunia. Mengaku mantan playboy yang digandrungi banyak wanita dari berbagai strata. Rafael bekerja di sebuah perusahaan swasta bonafied dengan jabatan yang belum bisa dibanggaan. Erlin sangat menyadari itu, sehingga dia pun tidak terlalu banyak menuntut pada suaminya. Terlebih suaminya pun memang tidak pernah terbuka dalam urusan gaji atau penghasilan lainnya. Erlin hanya pernah mendapat info jika suaminya banyak utang peninggalan dari masa lalunya yang sangat tidak baik-baik saja. Seharunya Rafael bersyukur memiliki istri seperti Erlin. Walau bukan wanita yang dicintainya, namun Erlin memiliki kriteria sebagai istri idaman suami. Pandai bergaul, penyabar, cantik, pandai memasak dan mengurs rumah, serta berjiwa tangguh dan cerdas. Sebenarnya keluarga Rafael sangat mencintai Erlin, namun justru Rafael selalu menjauhkannya. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki tak tahu diri dan kurang bersyukur itu. Hampir setiap hari Rafael pulang tengah malam. Bahkan terkadang berhari-hari tidak pulang. Sebenarnya dia bisa pulang tepat waktu karena masih berstatus pegawai rendahan yang tugas dan tanggung jawabnya belum terlalu banyak. Hidup Rafael selalu diliputi kecemasan dan kecurigaan yang diciptakannya sendiri. Pernah beberapa kali pulang kerja dalam keadaan mabuk. Erlin hanya bisa bertanya, sejak kapan suaminya gemar minum-minum beralkohol. Yang dia tahu justru Bu Haji Hikmah, ibunya Rafael adalah seorang wanita yang sangat religius, walau terkadang ucapan yang keluar dari mulutnya bisa bikin sakit hati yang mendengarnya. Rafael nyaris tidak pernah memberi uang cash pada istrinya, namun dia selalu menyedikan segala kebutuhan harian rumah tangganya. Rafael mau repot-repot belanja sendiri, termasuk pakaian dalam istrinya. Mungkin itu keunikan seorang Rafael yang menganggap istrinya tidak perlu mengenal mata uang. Mengapa Rafael bisa menjadi pribadi yang sangat unit seperti itu? Apakah ada masa lalunya yang tidak biasa? Entahlah. Lamunan Erlin seketika ambyar karena ada gedoran yang cukup keras pada pintu rumahnya. “Demi Tuhan Lina! Kamu pasti tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi!" cerocos Wenti seperti petasan yang dibakar, begitu Erlin membukakan pintu untuknya. "Wah! Gosip panas nih? Pastinya lumayan bagus. Mbak Wenti belum pernah bersemangat seperti ini, sejak tahu brondong yang incarannya ternyata jeruk makan jeruk, hihihi," jawab Erlin sambil terkikik, mengejek Wenti. “No! aku sudah melupakan dia! Tapi ini masih tentang brondong juga! Astaga Lina, aku masih tak bisa percaya apa yang baru saja kulihat. Mataku masih berasa kelilipan, oh my God!" Wenti makin berapi-api. “Oke kita ngobrol di dalam aja,” ajak Erlin sambil menarik tangan Wenti dan mereka pun bergerak menuju ruang keluarga. “Ampe kehausan gini aku, Lin!” ucap Wenti sesaat setelah kembali ke sofa sambil memegang segelas air putih. Lalu duduk di samping Erlin. "Isi kepalamu sepertinya mau pecah deh. Ceritain dong ada apa, sih?" Erlin mesem-mesem geli dengan tingkah Wenti yang selalu berapi-api dalam merespon sesuatu. "Gini, aku barusan ke tempatnya Bu Haji Komar. Maksudnya buat narik uang arisan, soalnya dia kan udah narik. Oh my God, ternyata anaknya memang bener-bener ganteng Lin. Dia kan kost jadi jarang ada di rumahnya.!” Wenti membelalakan matanya. “Hmmm, kalau gak salah namanya Rizal, lantas?” Erlin sedikit mengernyitkn dahi, walau sudah biasa dengan gaya Wenti yang super lebay. “Nah, aku kan diterima sama Bu Haji, ngobrol bentar, kemudian aku diajak ke ruang makannya. Di sana ada meja makan bulat yang atasnya pake kaca. Lalu kita duduk di sana, dan aku membuka catatan arisan sepeti biasa." "Oh, Jadi Mbak Wenti mau bilang kalau meja makan milik Bu Haji yang terbuat dari kaca itu sangat buruk? Itukan meja makan dari aku, Bestie?" Erlin sedikit kesal dengan kebiasaan Wenti yang selalu mencela apapun milik orang lain, karena ngiri. “Dengerin dulu, Bestie. Bukan meja makan yang mau dibahas! Mejanya cantik kok, walau sama-sama dari kaca tapi bentuknya unik, aku juga mungkin nanti mau pesen.” “Lantas apa dong?” “Nah, Bu Haji ngambil uang buat bayar, sambil manggil anaknya Rizal itu. Mereka lantas membaca catatanku dan menyetujuinya. Rizal saat itu masih pake jubah mandi wanra putih, rambutnya pun masih basah. Aku kira dia baru keluar dari kamar mandi.” Wenti menjeda ceritanya untuk meneguk lagi minumannya. “Lanjut, Betsie.” Erlin mulai sedikit penasaran. “Rizal kan duduk di seberangku. Saat dia ngambil catatanku itu, aku sedang melihat ke bawa menembus meja kaca. Kemudian Rizal maju ke depan seraya membuka kakinya. Dia kan mau nandatangi kuitansi pembayarannya.” “Apa istimewanya?” “Dan Bestie, jubahnya Rizal itu tersingkap ke samping! Dia bahkan tidak memakai celana dalam! Aku langsung bisa melihat ada yang menggantung di sana, Lina!” seru Wenti sambil kembali membelalakan matanya. “Hah!” Erlin ikut tersentak. “Maksud aku, saat dia bergerak itu, yang tergantungnya seperti diayun-ayun maju-mundur. Oh Tuhan! Itu besranya seperti pisang ambon itu, Lina," jelas Wenti sambil menunjuk buah pisang yang ada di atas meja makan. "Astaga Mbak Wenti! Kamu ngelihatnya langsung?" Erlin masih sedikit tersentak. "Hanya beberapa detik sih. Maksudnya, aku sebentar saja ngliatnya karena malu." Wenti tersipu-sipu. "Ya, melihatnya hanya beberapa detik aja, tapi cukup lama menceritakannya dan heboh banget. Mbak Wenti bahkan bisa ingat kalau itu terayun maju-mundur seperti pisang ambon ya? Dasar gilingan, hahahaha…," sergah Erlin sambil terbahak. “Hahahahaahaha!” Wenti pun menimplainya, hingga mereka tertawa terpingkal-pingkal. "Apa Rizal tahu kamu melihat pisang ambonnya? Bagaimana kalau Bu Haji juga tahu kamu memperhatiin pisang anaknya, Mbak?” tanya Erlin setelah tawanya reda. “Aku rasa tidak,” sangkal Wenti. “Baguslah. Tapi itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikirkan, Bestie. Maksud aku, Mbak Wenti kan hanya sebentar ngliatnya. Jadi tidak benar-benar mengetahui jika itu memang sebesar pisang ambon itu, hehehe." Erlin pun ikut menujuk pisang ambon berukuran besar di atas mejanya. "Bestie, aku emang ngeliatnya cuma sekejap, tapi kejadian setelah membuktikan kalau punya dia memang sangat luar biasa. Bener-bener super. Gila ya padahal dia baru semester lima, gimana nanti kalau udah dewasa bener.” Wenti kembali menegug air minumnya. Mereka pun melanjutkan obrolan unfaedah lainnya. Wenti berusia tiga tahun lebih tua dari Erlin. Dia pengagum brondong ganteng, gedong dan beruang. Namun sejauh yang Erlin tahu, Wenti hanya sekedar pengagum belum pernah terlibat affair dengan brondong manapun. Jika berpikir Wenti dan Erlin sepasang bestie yang genit dan m***m, tidak sepenuhnya benar. Sejatinya kepribadian Wenti dan Erlin, bagai bumi dan langit. Hendra, suaminya Wenti teman SMA-nya Rafael. Setelah lulus sekolah Hendra entah melanjutkan kuliah dimana, sementara Rafael melanjutkan di IPG Bogor. Tuhan kembali mempertemukan Rafael dengan Hendra saat keduanya sudah berumah tangga. Bahkan bekerja di perusahaan yang sama. Rafael sebagai staf administrasi sementara Hendra dalam posisi keamanan alias satpam. Ketika di sekolah Rafael dan Hendra tidak bersahabat, bahkan nyaris tidak saling kenal. Namun karena bekerja di tempat yang sama juga tinggal di kompleks yang sama, mereka pun kini berteman. Wenti dan Erlin pun menjadi teman karib seperti saudara kandung. Wenti dan Hendra sudah dikarunia seorang anak lelaki berusia 3 tahun, bernama Denise. Erlin sama sekali tidak pernah tahu ada konspirasi antara suaminya dengan Wenti. Di mata Erlin, Wenti adalah sahabat yang berkpribadian baik, terbuka dan asik diajak ngobrol maupun diskusi masalah yang sedikit berat, walau terkadang Wenti agak sedikit lebay dalam banyak hak. Erlin bahkan tak peduli dengan banyaknya gosip miring tentang Wenti. Karena sejauh ini semua hanya berupa rumor yang belum terbukti kebenarannya. ^*^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN