Istri Pengalah

1601 Kata
Jam dua dini hari, Rafael baru tiba di rumahnya. “Biasalah cari tambahan, Lin!” jawab Rafael ketus saat istrinya bertanya mengapa dia selalu pulang larut malam. Erlin mengernyitkan dahi, “Tambahan apa, Mas?” tanyanya pelan. Berusaha tetap santun walau hatinya sangat kesal dan marah dengan jawaban klise suaminya. “Gak usah bawel. Kita jalani aja peran masing-masing. Aku cari nafkah dan penghasilan tambahan, kamu ngurus rumah seperti biasa. Bukankah aku juga tidak pernah menanyakan apa saja yang kamu kerjakan di rumah.” Jawaban Rafael kian terdengar sangat menohok. “Mas?” Erlin berseru namun tak berlanjut. “Jadi lebih baik kamu juga begitu. Fokus aja dengan urusanmu, karena aku juga akan selalu fokus dengan urusanku. Paham!” ketus Rafael dingin. “Tapi Mas…” “Tidak ada tapi-tapian!” potong Rafael, “Ingat Erlin! Aku ini suami sementaramu. Kamu gak usah terlalu jauh mencampuri urusanku! Memangnya siapa yang mau jadi suamimu? Bukankah kita menikah hanya sandiwara! Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk bercerai!” Rafael berkata dengan tidak mempedulikan hati dan perasaan istrinya. Sedianya Erlin hanya ingin mempertanyakan, tambahan penghasilan seperti apa yang selama ini dicari suaminya. Dalam kenyataanya tak pernah serupiah pun Rafael memberikan hasil dari usaha tambahannya itu hingga membuatnya pulang larut malam. Rafael bahkan tak pernah sedikit pun menceritakannya. Erlin hanya bisa menangis dalam hati dan setelah itu bungkam. Terlalu sering Rafael memberikan jawaban yang sangat menyakitkannya. Bahkan untuk pertanyaan yang sangat sederhana sekalipun. Sejatinya Erlin sudah sangat siap untuk bercerai dengan Rafael, bahkan sejak hari pertama mereka menikah. Dua tahun terikat dalam janji suci pernikahan, semestinya sedang dalam suasan harmonis yang sangat manis bermandikan madu asmara. Namun justru Erlin merasakan dirinya berada dalam kobaran api neraka. Saat ini sudah memasuki tahun kedua mereka terkurung dalam pernikahan yang disebut Rafael sebagi sandiwara, tetapi Rafael hanya berucap akan mencari dan mencari waktu yang tepat untuk mengakhiri segalanya. Erlin tidak bisa menggugat cerai karena terikat sebuah perjanjian tak tertulis dengan ibu mertuanya. Erlin terus berusaha mengenal dan mencintai Rafael, yang sedari awal sama sekali tidak dikenalinya. Rafael adalah sosok lelaki muda yang tidak terlalu gagah apalagi tampan. Tidak banyak wanita yang jatuh cinta padanya, kecuali memandang harta orang tuanya. Namun justru sikap Rafael terlalu sombong dan dingin untuk Erlin, istirnya. Rafael pun terlalu tinggi hati untuk ukuran seorang lelaki. Selama berumah tangga, Erlin nyaris tak pernah merasakan nikmatnya ranjang pengantin bersama Rafael yang notabene suami sahnya. Memang sangat janggal dan mengenaskan karena sejatinya Rafael adalah cowok normal seperti kebanyakan, bahkan libidonya cenderung ugal-ugalan. Rafael memberi nafkah batin pada Erlin hanya sekedarnya saja nyaris tanpa rasa dan gairah membara. Semua pengorbanan, pengabdian dan kesetiaan yang dipersembahkan Erlin pada Rafael, hanya dianggap angin lalu. Sedikit pun hati Rafael tidak pernah tergerak untuk memberi apreasiasi atau balasan. Kehadiran Erlin dalam rumah tangganya tak lebih hanya sebagai hiasan kamuplase semata, yang bagi Rafael bahkan kecantikan Erlin sama sekali tak sedap dipandang mata, apalagi dinikmatinya. Sampai kapan Erlin harus bertahan dan bungkam? Sampai kapan waktu bercerai itu tiba? Hanya Rafael yang tahu. “Raf, lu itu suami yang benar-benar beruntung. Gak semua cowok bisa ngedapetin istri secantik dan seanggun Erlin, bersyukurlah!” Nasihat yang tulus dari Zidan sahabat sejatinya, bahkan tak bisa lagi menggetarkan hati Rafael yang membatu. “Zid. gua kagak butuh istri tukar guling utang! Gua mau istri pilihan sendiri, bukan hadiah gak bermutu seperti itu. Mama pikir, gua gak mampu apa nyari yang lebih baik dari si Erlin?” bentak Rafael. Prinsip dan jawaban arogan Rafael sepertinya sudah tidak bisa dibantah lagi oleh siapapun, tidak terkecuali Gerald. Padahal dalam kesehariannya, Gerald adalah satu-satunya sahabt Rafael yang masih mau mengerti dan memahami dirinya. Karena Gerald sangat tahu kwalitas sahabatnya itu sejak dari kecil. “Dasar manusia kurang bersyukur. lu!” sergah sang teman saking kesalnya. Pernikahan karena perjodohan ternyata tidak seindah dalam cerita-cerita fiksi. Tidak semudah itu menyatukan dua hati yang berbeda, tak segampang membalikan tangan menumbuhkan rasa cinta dalam hati yang gersang. Setidaknya itu yang Erlin rasakan selama ini. ^*^ Pagi itu, embun memberkahi bumi dengan kesejukannya. Meninggalkan purnama yang tersenyum manis menyampaikan salam perpisahanya pada sang surya yang siap menyinari dunia. Erlin terjaga saat pagi belum menyingsing. Setelah melakukan ibadah wajib, seperti biasa, dia melanjutkan perkerjaan rumahnya dengan melayani Rafael, suaminya yang bersiap untuk berangkat kerja. "Lin, kaos kakiku mana?" Rafael berteriak dari kamar tidur. Erlin yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan, segera belari menuju kamar menemui suaminya. Tadi malam dia lupa tidak menyiapkan kaos kaki untuk suaminya. "Pakai yang hitam aja ya, Mas. Supaya cocok dengan setelan celannya," ucap Erlin ketika sudah berada di depan pintu kamarnya. "Ya, terserah kamu aja, laos kaki ini gak keliatan,” jawab Rafael datar dengan tanpa menoleh sedikit pun pada istrinya. Sibuk dengan ponselnya, sementara tangan kirinya pun sibuk merapikan celana panjang yang dipakainya. Erlin segera menuju kamar sebelah. Lemari pakaian suaminya ada di sana. Sampai hari ini, Erlin masih tidak mengerti dengan kemauan suaminya yang ngotot menyimpan lemari pakaiannya di kamar terpisah, tetapi kunci lemarinya justru dipegang sama Erlin dan sama sekali tak ada yang dia sembunyikan oleh suaminya dalam lemari itu. "Lin, kamu cantik sekali pagi ini." Rafael tiba-tiba berbisik di telinga Erlin sambil memeluknya dari belakang. Erlin sedikit tersentak, Rafael tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Apalagi bersikap romantis dan bahkan memuji kecantikannya. Dalam keterkejutan itu Erlin berpikir keras, mungkinkah suaminya tadi malam minum minuman beralkohol hingga mabuknya terbawa sampai pagi. “Biasa aja, Mas. Hari ini dan hari-hari sebelumnya juga aku kan biasa begini," timpal Erlin berusaha tenang, sambil membalikan tubuhnya. Erlin melepaskan diri dari pelukkan suaminya yang sukses membuat bulu romanya berdiri dan merinding, “Ini Mas,” ucap Erlin sambil menyerahkan koas kaki yang diminta suaminya, tanpa merespon lebih jauh pujian yang dilontarkannya. . “Hmm, kamu beda banget hari ini, Lin. Terlihat lebih cantik, seksi and memesona gimana gitu, hehehehe.” Rafael kembali memuji istrinya sambil terkekeh. Lalu kembali memeluk serta mencium kening istrinya sebanyak dua kali. ‘Ada apa dengan Mas Rafael? Minumnya kapan, mabuknya kapan?’ batin Erlin masih sedikit kebingungan. “Aku kok baru sadar kalau kamu itu ternyata memang sangat cantik, Lin.” Rafael masih terus memuji istrinya, walau tidak terlalu direspon oleh Erlina. “Udah siang, Mas. Sarapan dulu.” Erlin menjawabnya dengan saran. Entah mengapa pujian suaminya itu justru makin terasa menghiris hatinya. Setelah selesai mengurus keperluan suaminya, Erlin pun duduk di meja makan menemani Rafael sarapan pagi dengan tanpa banyak bicara. Sikap Rafael yang mendadak romantis bak seorang romeo, benar-benar telah membuatnya sedikit berhati-hati, canggung, tak enak hati dan salah tingkah tak karuan. Dia sangat tahu Rafael tidak tulus memujinya. Pasti ada sesuatu yang sedang direncanakannya. Seperti yang sudah-sudah. Wanita mana yang tidak bahagia punya pasangan yang mesra dan romantis. Istri mana yang tidak senang mendapat pujian dari suamnya. Namun jika seperti Rafael yang perubahan secara mendadak, Erlin merasa belum siap dan malah curiga. ‘Niat buruk apa yang direncakan Mas Rafael. Jangan-jangan dia mau minta perhiasanku lagi buat bayar utang. Emangnya dia pikir aku punya perhiasan apa lagi?’ batin Erlin disela-sela suapan sarapannya. Wajar Erlin merasa cuirga, selama ini jangankan memuji dan merayu, menghargai keberaan isrreinya pun tidak pernah ada dalam kamus Rafael. Kecuali berpura-pura yang dia lakukan demi udang di balik karang. “Oh iya Lin, kamu udah periksa lagi belum ke dokter?” tanya Rafael memecah keheningan sarapan mereka. “Periksa untuk apa, Mas?” Erlin kembali mengernyitkan dahinya seraya menatap wajah suaminya yang tampak sedikit lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Sepertinya yang baru mendapatkan doorpeice. “Periksa kandunganmu dong. Kita kan udah dua tahun menikah, kok kamu belum hamil juga. Jangan-jangan ada yang gak beres dengan kandunganmu,” ucap Rafael tanpa tedeng aling-aling. “Mas kan tahu aku cukup subur, rahim dan kandunganku pun baik-baik saja. Mungkin Allah belum percaya sama kita.” Erlin menjawab diplomatis. “Hehehe, kenapa Allah masih gak percaya? Kamu kan udah siap jadi ibu. Apalagi yang kurang? usiamu sudah cukup, kamu juga udah pandai mengurus anak, buktinya Denies, anaknya Wenti, lebih sering kamu yang urus.?” Rafael seperti sedang menggugat Tuhan. “Kita belum dipercaya karena mungkin Allah melihatnya kita masih belum serius berumah tangga, Mas. Kamu sendiri jarang berupaya untuk membuat anak itu kan?” Erlin mulai berani bicara sedikit lancang. “Maksudnya?” Rafael menghentikan aktivitas menyuap nas gorengnya. “Mas Rafael kan jarang nyentuh aku. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, memangnya aku ini Siti Mariam apa?” Erlin sedikit nyolot, terpancing. “Hahaha, emangnya kamu gak pernah disentuh cowok lain apa?” timpal Rarael ngasal. “Astagfirullah, Mas! Maksud kamu apa?” sentak Erlin seraya meletakan sndok makannya di atas piring. Jiwanya benar-benar seperti terkena sambaran petir. “Gini Lin, kamu mungkin juga tahu, banyak banget cewek yang hamil hanya dengan sekali disetubuhi. Nah, selama dua tahun ini, aku mungkin sudah lebih dari sepuluh kali ngebuahi rahimmu, tapi hasilnya masih nihil. Mungkin saja kamu mau cari pejantan lain, boleh kok!” Rafael makin ambigu ucapannya. “Iya, Mas. Nanti siang aku periksa lagi sama bidan. Memangnya Mas Rafael beneran mau punya anak dariku?” Erlin mengalah demi menghentikan ocehan suaminya yang makin lama akan semakin menyakitkan. “Maksud aku, anak itu kan buat kamu, bukan buat aku. Kalau punya momongan kan kamu juga yang senang, minimal gak terlalu kesepian di rumah, iya gak?” “Aku gak pernah kesepian!” pungkas Erlin ketus. Tak ada gunanya berdebat dengan lelaki yang selalu merasa benar dan memiliki empati pada perasaan orang lain, bahkan pada istrinya sendiri. Beruntung Erlin sudah ditakdirkan menjadi wanita yang berjiwa tangguh berkat terpaan beragam badai dalam kehidupannya di masa lalu. ‘Kegilaan apa lagi yang masih akan ditunjukan Mas Rafael padaku?’ tanya Erlin dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN