Nada berjalan menjauhi area kafe setelah menelepon Kevand untuk menjemputnya. Satu hal yang sebenarnya sia-sia karena ia pikir kalau Iel akan mengejarnya. Suatu hal yang mustahil, bukan?
Ia juga terus menghapus air matanya yang jatuh terus menerus menuruni pipinya. Tentu, Nada tak mau kalau Kevand tahu dirinya menangis karena diputuskan oleh Iel.
"Kok nggak nunggu depan kafe? Malah nunggu di sini. Sepi banget."
Nada terperanjat saat sebuah suara menginterupsinya. Karena, ia tidak mendengar suara deru mesin mobil sebelumnya.
"Ngagetin aja!" Nada melayangkan tatapan tajam pada Kevand yang kini sudah keluar dari mobilnya.
"Gue kira, lo mau balik sama Iel. Untung gue bawa HP. Kalo nggak, lo sendiri di sini."
"Emang lo ke mana?"
"Lagi beli sesuatu. Bentar doang padahal. Tapi emang feeling gue bagus jadi bawa HP aja."
Nada hanya mengangguk paham. Ia bingung sendiri apa yang harus ia katakan saat ini. Nada hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Lo kenapa, Nad?" tanya Kevand sambil mencoba melihat wajah Nada yang tidak terlalu jelas karena penerangan yang minim.
"Emang gue kenapa?" Nada malah bertanya balik.
"Kebiasaan banget lo. Kalo ditanya malah nanya balik."
Nada hanya terkekeh sambil membuka pintu mobil Kevand.
"Heh!"
"Dingin kalo di luar! Cepet masuk!"
Mau tidak mau, Kevand masuk dan mencebik kesal.
"Kok nggak balik sama Iel?"
Reaksi Nada membuat Kevand terkejut. Lelaki itu menginjak remnya secara tiba-tiba.
"Kenapa lo ngerem mendadak, sih?" Nada melayangkan protesnya.
"Nad, lo kesurupan?" Kevand balik bertanya karena terkejut sebab Nada tertawa dengan kerasnya saat ia bertanya.
"Gue nggak kesurupan. Yang bener aja."
"Terus, lo kenapa ketawa gitu? Serem banget. Ini udah malem ya, Nad!"
"Ya pertanyaan lo lucu tau."
"Lucu apanya? Gue tanya kenapa lo nggak balik sama Iel, lo malah ketawa."
"Ya itu, lucu. Lo nanya kenapa gue nggak balik sama Iel. Gue sama dia kan udah putus."
Nada kembali tertawa meski Kevand tahu kalau Nada sebenarnya tidak baik-baik saja. Lelaki itu bisa melihat mata Nada yang seperti habis menangis.
"Gue sama Iel putus, Kev." ulang Nada.
"Kok bisa?"
Kevand masih bingung harus bereaksi seperti apa. Karena, Nada tidak meraung-raung menangis sebab diputuskan oleh kekasihnya.
"Kayaknya, bener kata lo deh, Kev."
"Maksud lo?" Kevand mengernyit.
"Gue kena azab gara-gara ngejek lo yang nggak pernah anniv." Nada kembali tertawa.
"Lah?" Mau tidak mau, Kevand akhirnya ikut tertawa juga.
"Lucu banget, kan? Bisa-bisanya gue putus pas anniv."
"Makanya, jangan ngeledekin gue!"
Beginilah cara Kevand menghibur Nada. Yaitu meledek sang sahabat dan tidak menunjukkan rasa prihatinnya. Itu lebih baik karena Nada tidak akan terlalu sedih dan tidak merasa lemah karena dikasihani.
"Iya. Nyesel gue ledekin lo. Akhirnya putus."
"Terus, kado lo mana?" tanya Kevand.
"Udah gue kasih, lah."
"Kok nggak lo ambil lagi? Dia nggak ngasih apa-apa ke lo, kan?"
Nada menggeleng lemah.
"Rugi lo!"
"Ya gue ikhlasin aja, lah. Hitung-hitung jadi kenang-kenangan."
Kevand tertawa kembali. Memang Nada ini cukup ajaib. Meski mereka sudah berteman sejak kecil, Kevand masih tetap terkejut saja. Nada sering aneh-aneh.
Seperti saat ini, Nada diputuskan malah tertawa. Bukannya menangis meraung-raung. Tetapi, bukan tak mungkin kalau di rumah sendiri, Nada akan menangis. Kevand juga tahu, sebelum ini, Nada pasti sudah menangis. Namun, tak ingin terlihat lemah di depannya.
"Lo tau gak kenapa gue diputusin Iel?"
"Kenapa? Gara-gara telat?"
"Hmmm. Kocak banget gak sih?"
Nada tentu tidak menceritakan bagian Iel tidak suka dengan kedekatan dirinya dan Kevand. Apalagi, sampai menceritakan apa yang ia lihat malam itu. Biarlah semua itu ia simpan sendiri.
"Lah? Dia nyari-nyari kesalahan? Lo udah bilang kan kalo ban mobil gue tiba-tiba bocor?"
"Udah. Terus, katanya gue nggak ada usahanya. Ya udah, putus."
"Konyol banget. Kayak nggak masuk akal. Apa dia punya cewek lain ya, Nad? Kalo iya, gue hajar."
"Jangan suka nuduh kalo nggak liat sendiri. Mungkin, dia emang beneran bosen atau lagi badmood. Makanya gue iyain aja pas dia minta putus."
Lagi-lagi, Nada berbohong. Ia tidak ingin membebani pikiran Kevand dengan menceritakan semuanya.
"Jangan langsung balik, deh."
Mendengar ucapan Nada, Kevand akhirnya mengubah jalur menuju alun-alun. Di mana ramai sekali orang berjualan. Kevand tahu, Nada akan melampiaskan kesedihannya dengan cara makan.
"Mau beli apa?" tanya Kevand.
"Belum kepikiran. Nanti aja di sana."
Kevand mengangguk paham.
"Jangan jauh-jauh, Nad. Ntar kaki lo pegel."
"Iya bawel!"
Nada mencari jajanan dengan cuek dan mengabaikan tatapan aneh orang karena ia terlalu rapi. Sangat kontras dengan Kevand yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus seadanya.
"Nad, itu lo nggak salah?" Kevand menunjuk makanan yang sudah hampir memenuhi kedua tangan Nada.
Bukan masalah banyaknya. Tetapi, yang dibeli Nada kebanyakan makanan pedas. Kevand sendiri tidak yakin kalau Nada akan kuat memakannya.
"Salahnya di mana? Ayo balik mobil. Gue mau makan ini." Nada mengangkat kedua tangannya.
Kevand hanya mengangguk sambil mengekori Nada. Memang ajaib sahabatnya yang satu ini.
"Mau?" Nada menyodorkan sepotong roti bakar yang ia makan demi mengurangi rasa pedas yang membakar mulutnya.
"Liat lo makan bikin gue kenyang. Gue jadi curiga kalo lo beneran kesurupan, Nad."
"Malah ngatain!"
"Nad, itu lo yakin nggak bakal mules? Banyak banget cabenya."
"Ya elah. Gampang segini mah." balas Nada yang sebenarnya sudah kepedasan. Matanya sampai berair.
Di tempat lain, Iel merutuki dirinya yang terbawa emosi sampai memutuskan Nada begitu saja. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar. Ia bahkan tak berani menyusul Nada meski khawatir bagaimana gadis yang kini sudah menjadi mantan kekasihnya itu pulang.
"b**o banget, lo!" Iel masih terus mengumpat dan merasa kesal pada dirinya sendiri.
Ia mendial nomor Nada tapi tak berani menekan panggilan. Ia ragu dan tidak ingin mendengar Nada menangis di seberang sana.
"Kenapa Nada bisa tau? Ah!"
Sementara itu, Nada masih bersama Kevand yang saat ini sudah berada di rumah pohon. Benar. Meski malam mulai larut dan Kevand sudah memperingati, Nada tetap bersikukuh pergi ke sana. Bagaimana bisa Kevand menolak kalau Nada sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja?
"Nad, ini beneran kita kagak pake jaket, lho. Yang bener aja."
"Ya elah. Banyak protes lo! Timbang duduk doang. Nggak dingin juga. Nih malah kagak ada angin sama sekali, kan?"
Lelaki di samping Nada itu hanya mengangguk. Lelah dengan semua yang Nada lakukan.
"Lo tadi bawa HP gak sih?" tanya Kevand.
"Eh iya. Gue sampe lupa. Jangan sampe ketinggalan di kafe. Bahaya." Nada langsung berlari ke arah mobil Kevand dan mengecek tasnya.
"Syukurlah." Nada membuang napasnya lega saat menemukan benda pipih tersebut di dalam tasnya.
"Lah. Ngapain?" Nada mengernyit saat melihat panggilan tak terjawab dari Iel.
Tetapi, setalah itu ia mengabaikannya dan kembali menaruh tasnya di dalam mobil. Ia hanya ingin menghabiskan malam tanpa melihat ponsel sama sekali. Apalagi, melihat nama Iel. Nada masih merasa jengkel karena diputuskan dengan alasan yang tidak jelas seperti tadi.
"Lama banget. Ada gak HPnya?" tanya Kevand.
"Ada. Untung aja gue nggak lupa."
"Eh, tadi lo nangis ya pas diputusin?"
"Nggak. Ngapain? Lo kan liat sendiri kalo gue ketawa-tawa."
"Ya itu karena lo mau nutupin kesedihan lo, kan? Gue tebak lo pasti nangis dulu dan minta jangan putus, kan?"
"Yeu dasar Kevand sok tau. Mana ada gue begitu?"
"Nggak usah bohong deh sama gue."
"Gue nggak nangis gak mau putus, ya. Tapi emang nangis sih. Dikit. Segini." ucap Nada sambil membuat gerakan dengan hampir menyatukan jempol dan telunjuknya.
"Iya deh percaya."
"Jangan ngeledek gue, please."
"Eh, Nad lo lupa sesuatu gak sih?"
"Nggak."
"Serius, deh. Gue kayaknya lupa sesuatu."
Keduanya tampak berpikir. Lebih tepatnya, hanya Kevand yang berpikir. Karena, sebenarnya Nada tidak tahu apa yang tengah Kevand pikirkan. Hanya ingin terlihat sibuk saja.
"Heh! Besok senin, Nad!"
"Anjir. Kok lo nggak bilang, sih?"
Nada dengan segala kepanikannya langsung melirik jam tangannya.
"Ayo balik! Ah gue nggak mau besok telat. Kevand nih kagak bilang!"
"Malah nyalahin gue. Harusnya, lo bersyukur karena gue inget."
"Iya maaf. Ayo balik."
"Eh tapi bener lo besok mau sekolah?" tanya Kevand.
"Lah ngapain gue nggak masuk? Gue sehat."
"Ya kan siapa tau lo patah hati terus nangis-nangis dan nggak mau masak sekolah, gitu."
"Lo pikir gue sealay itu? Yang bener aja, Kevand! Parah banget, lo!"
Kevand mengacak rambut Nada sebelum berlari menuju mobilnya.
"KEVAAAAND!"
***
Hari senin tentu harus membuat Nada ekstra teliti. Kalau tidak, atributnya bisa saja tertinggal. Belum lagi, semalam ia pulang larut dan belum menyiapkan perlengkapan untuk hari senin. Jadi, pagi ini Nada sibuk mencari atributnya, mencari buku pelajarannya juga kaus kakinya yang entah kenapa hanya ada sebelah.
"Sudah selesai, Nad? Ayo sarapan. Kamu bisa telat, nanti."
"Iya, Ma. Nada cari kaus kaki dulu." jawab Nada pada sang ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Sarapan aja dulu. Biar Mama yang cari."
Nada mengangguk dan membiarkan sang ibu yang mencarinya. Nada tahu kalau ibu sudah mencari, barang yang hilang pun akan langsung tampak di depan mata. Sangat ajaib.
"Gue kira lo nggak sekolah. Tumben belum nungguin gue di depan."
Nada yang sedang mengunyah rotinya itu melirik ke arah pintu depan. Ya, siapa lagi yang bisa masuk seenaknya ke dalam rumahnya kalau bukan Kevand. Sahabatnya itu sudah mengenakan seragamnya dengan rapi.
"Tumben lo udah rapi?" tanya Nada setelah menelan roti yang dikunyahnya.
"Ini udah jam berapa, Nada? Lo yang lelet banget. Cepet nanti telat. Gue nggak mau dihukum di depan pas upacara nanti, ya!"
"Iya, Bawel. Ini gue nunggu Mama nemuin kaus kaki."
"Lo punya satu doang emang?"
"Banyak. Tapi ada sebelah-sebelah doang. Tau ah. Bentar gue habisin ini dulu."
Benar saja, ibunya menemukan sepasang kaus kaki miliknya yang langsung Nada pakai karena takut terlambat.
Hari ini, Kevand juga membawa sepeda motornya agar lebih cepat sampai ke sekolah. Untung saja, Nada mengikat rambutnya hari ini. Jadi, tidak akan berantakan meski Kevand membawa motornya cukup kencang.
"Lo bawa motor kayak orang kesurupan. Untung kita sampe ke sekolah. Kalo ke rumah sakit bisa berabe."
"Doa lo jelek banget! Tuh denger. Udah bel, kan?"
Kevand dan Nada berlari menuju lapangan setelah menaruh tasnya ke dalam kelas.
"Hampir, aja." Nada membuang napasnya lega setelah mendapatkan barisan.
Hari ini aman meski kepalanya sedikit pusing karena semalam tidur telalu larut dan kena angin malam. Tetapi, ia masih bisa tahan karena ia berdiri di tengah barisan. Yang mana ia tidak terkena sinar matahari langsung.
"Semoga pelajaran pertama jamkos." gumam Nada yang ternyata di dengar Kevand yang berjalan di belakangnya.
"Doa lo jelek amat, Nad?"
"Ngagetin aja! Gue agak pusing tau tadi."
"Kenapa nggak manggil PMR? Malah sok-sokan upacara sampe akhir."
"Gue nggak selemah itu ya. Tapi beneran deh, gue masih ngarep jam pelajaran pertama bebas. Mau rebahan bentar."
"Eh, jangan bilang pas pulang lo nangis lagi, ya?" tuduh Kevand.
"Mana ada? Gue kagak nangis sama sekali, ya. Malah gue langsung tidur saking ngantuknya."
Kevand mencoba menatap mata Nada dan memang hanya terlihat kurang tidur. Bukan menangis.
"Kagak percayaan amat sama gue."
Nada melirik ke arah kursi Iel yang kosong. Lelaki itu tak ada di sana. Nada tidak memperhatikan saat upacara tadi.
"Iel nggak masuk, Kev?" tanya Nada.
"Ngapain lo nanyain mantan? Inget, semalem lo diputusin!" bisik Kevand dengan tegas.
"Ya gue kan cuma nanya, malih! Bukan apa-apa. Masa dia cupu banget? Kan yang mutusin gue dia. Kok malah dia yang nggak masuk sekolah? Lebay banget."
"Kok lo jadi kegeeran gini, sih? Siapa tau dia nggak masuk sekolah karena ada urusan. Kagak ada hubungannya sama hubungan kalian. Iel kagak selebay itu, kali."
"Kok lo malah belain dia, sih?"
"Ya kan dia cowok."
"Iya. Bener. Cowok kalo putus nggak nangis. Nggak kayak yang sebelah ini. Nangis-nangis padahal udah tau mantannya selingkuh."
"Idiiih mainnya bales-balesan begitu ya, sekarang?"
"Kenapa? Ngerasa, ya?"
Obrolan mereka terpotong oleh guru yang masuk. Pupus sudah harapan Nada kalau pelajaran pertama gurunya tidak masuk.
"Cie yang doanya tidak terkabul."
"Berisik Iel! Dengerin guru!"
"Gue Kevand. Cie bibit-bibit gagal move on, nih."
Nada memutar bola matanya malas. Kenapa ia harus salah menyebut nama? Salah dirinya yang terus melirik bangku Iel yang kosong.
Kalau saja mereka masih pacaran, pasti Nada khawatir terjadi sesuatu dengan Iel. Tetapi, karena statusnya sudah mantan, sepertinya ia tidak berhak khawatir. Meski dalam hatinya tetap ingin bertanya.
Kegiatan belajar mengajar hari ini tenyata penuh. Seperti tak memihak sama sekali kepada Nada yang sudah agak pusing.
"Mau ke kantin atau nitip aja?" tanya Kevand yang melihat wajah lesu sangat sahabat.
"Emang Kevand best boy. Nitip aja, ya."
Setelah Kevand keluar kelas, Nada dengan isengnya mengecek ponsel dan ia dikejutkan dengan pesan yang masuk.
Iel :
Nad, hari ini aku nggak masuk sekolah karena jadwal terapiku pagi.
"Dih, ngapain lo ngabarin gue? Dasar gak jelas!"
Nada menutup kembali ponselnya setelah membaca pesan yang Iel kirimkan.