PART. 5

754 Kata
"Kalau aku melamarmu, diterima tidak?" Rahul mengulangi pertanyaannya. "Ehm, Vanda tidak tahu harus jawab apa." Kepala Vanda menunduk dalam. "Kenapa bingung?" "Ehm, serakang ... eeh, sekarang, Vanda belum berpikir untuk menikah, Paman." "Kenapa?" "Be ... belum ingin saja." "Jujur, aku menyukaimu, Vanda." "Terima kasih, Paman." "Aku berharap, kamu bisa jadi istriku. Terdengar sangat to the point ya, tapi aku ingin kamu tahu. Siapa tahu pikiranmu bisa berubah." "Ehm ...." Rahul menoleh untuk menatap Vanda. Vanda seperti tidak nyaman dengan ungkapan perasaannya. "Maafkan aku, jika kejujuranku mengganggu kenyamananmu, Vanda." "Tidak apa ...." Vanda berusaha tersenyum, meski ia memang merasa tidak nyaman dengan pembicaraan Rahul yang terlalu serius. Mereka saling diam, sampai Rahul membelokan mobilnya ke halaman kantor SPBU. "Terima kasih, Paman Rahul. Maaf, sudah memperotkan ... eeh, merepotkan. Assalamualaikum." "Walaikum salam." Mobil Rahul pergi, sebuah mobil yang baru selesai mengisi bahan bakar berhenti di depan kantor. Andri keluar dari dalam mobilnya. Ia tersenyum pada Vanda. "Habis borong Sasirangan?" Andri menunjuk paper bag yang dibawa oleh Vanda. "Iya." "Aku mau ke Jakarta juga, ingin bareng?" "Ooh, lusa juga Om berangkatnya." "Iya." "Ehm, boleh. Eeh, silahkan masuk Om Andri." "Tidak, terima kasih. Aku masih banyak pekerjaan. Nanti sore dijemput Ammamu, ehm ... atau dijemput yang tadi mengantarmu?" "Tidak ...." Kepala Vanda menggeleng. "Mau pulang sama aku?" "Tidak memperot ...." "Tidak merepotkan, aku jemput nanti sore ya. Aku pergi dulu, assalamualaikum, Vanda." "Walaikum salam, Om." Andri masuk kembali ke dalam mobilnya. Dilambaikan tangannya. Vanda membalas lambaian tangan Andri. *** Andri menjemput Vanda di rumahnya, mereka pergi ke Jakarta bersama. Andri ingin membeli beberapa alat, untuk membuka cabang bengkel, dan pencucian mobil miliknya. "Titip Vanda ya, Ndri. Dia belum pernah pergi sendiri. Abbanya sedang ke luar kota. Aku juga lagi banyak usuran. Tapi, dia kangen dengan keponakan-keponakanya" "Iya, Mbak. Jangan khawatir, Vanda nanti aku antar sampai rumahnya Revan." "Terima kasih banyak, Ndri. Maaf ya, jadi merepotkan." "Tidak merepotkan kok, Mbak." "Ya sudah, hati-hati di jalan ya." "Vanda pergi dulu, Amma. Assalamualaikum." "Kami pergi dulu, Mbak. Assalamualaikum." "Walaikum salam." Asma mengikuti mobil Andri yang disupiri oleh supir Andri sampai menghilang dari pandangan. Ini pertama kalinya Vanda pergi tanpa dirinya. Asma ingin, perlahan Vanda bisa membuka diri, tidak hanya bergaul dengan keluarga mereka saja. Asma ingin, putrinya membangun kepercayaan diri. Dengan banyak bicara, perlahan kepeleset lidah akan berkurang dengan sendirinya. Saat ini, kepeleset Vanda masih parah. Dalam satu kalimat pendek saja, dia bisa kepeleset beberapa kata. Asma percaya pada Andri, ia mengenal Andri, dan keluarganya. Mereka keluarga baik-baik. Ramah, dan santun dalam bersikap, dan bertutur kata. Andri juga sabar, dan bisa memahami kekurangan Vanda. Dulu, Andri menaruh hati pada Asila, saat tahu Asila, dan Revan menikah. Andri menerima dengan lapang d**a. Asila bukan jodohnya, itu katanya. Dan, selama lima tahun ini, Andri belum menikah juga, entah apa alasannya. *** Di dalam pesawat. "Ini pertama kali kamu pergi sendiri, tanpa orang tuamu ya?" "Iya." "Tidak takutkan pergi sama aku?" "Amma percaya aku pergi dengan Om, jadi kenapa aku harus takut." "Alhamdulillah kalau begitu." Andri tersenyum. Vanda membalas senyum Andri. "Ehm, pacarmu tahu, kalau kita pergi berdua. Oh ... maaf, aku lupa, dalam keluarga Ramadhan tidak boleh ada pacaran, begitukan?" "Iya." "Jadi, lamar, langsung nikah ya?" "Ehm ...." "Memangnya, Vanda sudah siap menikah, kalau misalkan ada yang melamar?" "Untuk sekarang, belum siap, Om." "Sudah memiliki seseorang yang Vanda sukai?" "Belum ...." "Belum berani jatuh cinta, atau belum ada pria yang membuat Vanda jatuh cinta?" "Ehm ...." Wajah Vanda merona. "Vanda jangan merasa rendah diri. Buka diri Vanda, bergaul dengan siapa saja. Lebih banyak bicara, itu bagus untuk melatih agar Vanda bisa lebih lancar bicara. Rendah hati itu bagus, rendah diri jangan." "Vanda tidak bisa sepetri Rara ...." "Vanda tidak harus jadi seperti orang lain. Cukup jadi Vanda saja. Tapi, alangkah baiknya, Vanda bisa membuka diri. Membangun kepercayaan diri." "Nanti deh, Vanda mencoba sarannya, Om." "Vanda marah?" Andri menatap gadis yang usianya berselisih cukup jauh dengannya. "Tidak, kenapa Vanda harus marah." "Ya, mungkin saja, Vanda merasa, aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam hidup Vanda." "Tidak, saran Om baik kok. Untuk kebaikan Vanda juga. Kenapa Vanda harus marah." Mereka terdiam sebentar. "Selama di Jakarta ingin pergi ke mana saja?" "Belum tahu. Om sendiri?" "Aku ke Jakarta untuk membeli peralatan bengkel, dan cuci mobil, untuk cabang yang baru." "Ooh, hebat ya, Om bisa buka cabang." "Kai buyutmu, Raka Ramadhan, adalah orang yang menginspirasiku." "Haah! Yang benar?" "Iya. Beliau pengusaha yang hebat, orang tua yang hebat, manusia yang hebat. Sulit menemukan orang seperti Beliau." Vanda mengusap matanya yang basah, karena teringat Kakek buyutnya. Meski tidak mengenal secara langsung. Tapi, ia merasa dekat. BERSAMBUNG Part selanjutnya, menunggu kontrak turun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN