Sekar tidak mau kalah. Tentu saja dia tidak mau dipermalukan oleh putri sendiri di hadapan tamu-tamunya, apalagi jika alasannya adalah menantu payah seperti Alan Gu. Tidak sudi!
“Heh! Kenapa kami sangat membencinya? Itu karena dia seorang yatim piatu! Aku sudah bilang, kalau bukan karena kamu mengancam akan melukai diri sendiri dan menjadi perawan tua, apakah kamu pikir aku dan ayahmu akan menerimanya di keluarga ini? Ada banyak pria hebat yang ingin menikah denganmu, tidak masuk akal kalau kami harus menerimanya, bukan? Kamu pikir uang mahar 100 juta itu hebat? Itu sangat menyedihkan! Uang mahar sekecil itu sangat tidak layak untuk mendapatkan istri sebaik dirimu! Kapan kamu sadar untuk berpisah darinya, Angela? Jangan-jangan, dia sudah menyihirmu, ya?! Pokoknya, dalam waktu dekat kamu harus mengurus perceraian dengannya!”
Kata demi kata membuat hati Angela dan suaminya terluka. Belum lagi, itu sebenarnya adalah rahasia mereka semua selama ini, tapi ibunya malah mengungkapnya di hadapan tamu-tamu sosialitanya yang suka bergosip.
Karena uang mahar 100 juta itu, keluarga Tanoto enggan mengadakan pesta pernikahan yang layak untuk Angela dan Alan. Mereka hanya mengadakannya sangat sederhana dengan alasan berhemat dan tertutup untuk keluarga saja. Aslinya, mereka hanya tidak mau memperkenalkan menantu mereka yang dinilainya sangat memalukan dan miskin.
“Ibu... ibu tega sekali berkata begitu.... Kenapa ibu sangat membenci pernikahan kami? Apakah ibu sudah lupa saat ibu terjatuh dari tangga? Yang menolong dan membawa ibu ke rumah sakit adalah suamiku! Kalau tidak segera ditolong saat itu, ibu pikir keadaan ibu akan bagaimana sekarang?” ujar Angela dengan mata berkaca-kaca, mulai terisak mengingat pernikahannya yang selalu dibanding-bandingkan dengan pernikahan adiknya yang berhasil mendapatkan pria dari golongan kaya.
Kilas balik makan malam semalam berputar cepat dalam ingatan Angela. Betapa pilih kasih keluarganya terhadap anak-anaknya hanya gara-gara latar belakang suami mereka.
“Lihat! Dia tidak mau menunjukkan uang 1 juta dollar itu! Padahal kita hanya ingin memeriksanya, apakah itu asli atau tidak. Kenapa? Kamu takut kami akan mencurinya dari kalian? Kalau pun itu asli, sudah seharusnya kami mendapatkan bagian, bukan? Selama menikah, kalian menumpang hidup di sini. Makan dan minum dari kami! Dan kamu, Angela! Apa kamu lupa bagaimana kami sudah merawatmu sejak kecil sampai seperti sekarang? Dasar anak durhaka!” seru Sekar dari seberang meja makan, melotot marah kepada Angela dan Alan.
Angela geram!
Kedua tangan mengepal di atas pangkuannya. “Aku sudah bilang, Bu! Uang itu adalah uang titipan! Aku hanya sedang kehilangan akal sehat saja sampai berani memberikannya kepada ibu saat itu! Kalau orang yang menitipkannya memintanya kembali, apakah kita akan sanggup menggantinya?! Tidak ingat berapa hutang keluarga kita sekarang ini?”
“Heh! Kakak ipar, jangan bodoh. Mana ada orang yang begitu baik hati dan polos menitipkan uang 1 juta dollar kepada orang yang tidak dikenalnya dengan baik? Memangnya kamu dan Alan Gu itu siapanya? Antar saudara saja tidak akan ada yang begitu percaya terkait masalah uang. Apalagi jumlahnya segila itu!” komentar adik ipar Angela yang bernama Darius Angkasa.
Tentu saja semua yang hadir di meja makan menaruh pikiran negatif kepada Angela. Bahkan adik laki-lakinya, Jeffry Tanoto hanya bisa mendengus geli melihat adu mulut di acara makan malam itu. Mungkin perdebatan mereka terlalu konyol dan sulit dipercaya sampai Jeffry sendiri yang biasanya tidak peduli dengan masalah internal keluarga, akhirnya terlihat seperti sedang terhibur.
“Cukup dengan pertengkaran ini! Jika itu memang uang yang nyata, aku percaya jika Angela tidak akan menyembunyikannya dari kita, bukan?” sindir Adiguna Tanoto, ayah Angela yang duduk di ujung meja. Wajah galaknya tampak gelap dan tidak ramah.
Angela menelan ludah gugup. “Berapa kali harus aku katakan, uang itu adalah titipan dari rekan bisnis Alan. Dia sengaja mempercayakan uang itu agar bisa membangun bisnis bersamanya. Tapi, karena aku tidak percaya begitu saja. Makanya aku ingin memastikan keasliannya terlebih dahulu sebelum Alan setuju dengan ide itu. Dia tahu Alan membangun bisnisnya sendiri dengan cepat hanya dalam waktu satu tahun, dan dia menilai kemampuannya yang hanya berjualan martabak dan donat seperti itu adalah sebuah bakat yang tersembunyi. Tidakkah ayah berpikir demikian? Jika ayah memiliki jiwa-jiwa pebisnis, seharusnya sudah bisa melihat kalau Alan bisa dipercaya. Jika orang lain saja bisa mempercayainya dengan uang sebanyak itu, kenapa kita tidak?”
Adiguna Tanoto tampak berpikir keras dan menautkan kening dalam. “Apakah kamu berkata kalau penilaianku terhadapnya sangat buruk? Begitu? Kamu pikir, siapa yang menyuruhnya untuk mulai berbisnis dan berhenti menghabiskan waktunya seperti orang bodoh di depan komputer setiap hari?”
“Bukan begitu ayah! Jika ayah bisa mengenyampingkan sedikit kebencian ayah kepadanya dan memberinya kesempatan, bukankah dia bisa lebih berkembang lagi?”
Percakapan malam itu berakhir dengan banyak bisik-bisik tidak menyenangkan dari semua anggota keluarga. Bahkan adik perempuan Angela menyindirnya dengan keras sebelum naik ke lantai dua.
“Kakak. Kenapa kakak begitu defensif dengan uang itu? Apakah kakak sungguh tidak mau berbagi dengan kami?”
“Yara! Jaga ucapanmu! Aku tidak mau kita bertengkar gara-gara uang!” bentak Angela kesal.
Yara Tanoto mendengus geli sembari menyilangkan tangan di dadanya. Di sebelahnya berdiri Darius Angkasa yang tampak tersenyum jahat dan licik.
“Kalau tidak mau bertengkar gara-gara uang, maka perlihatkan uang itu kepada kami. Seandainya saja tadi siang kamu tidak bertengkar dengan ibu, maka koper berisi uang 1 juta dollar itu tidak akan ketahuan, bukan? Apa sulitnya memperlihatkan isinya sebentar saja kepada kami? Kamu bahkan berani melawan ayah lagi demi pria itu?” sinis Yara, mengedikkan kepalanya arogan ke arah pria tampan yang berdiri di belakang Angela.
“Jangan dengarkan dia. Ayo kita pergi saja,” bujuk Angela kesal, menarik sebelah lengan suaminya penuh emosi.
“Kakak! Jangan terlalu pelit! Apakah kamu tidak tahu karma bagi orang pelit?!” teriak Yara penuh provokasi.
Angela dan Alan terus berjalan sampai hilang dari pandangan, lalu perbincangan kecil terjadi di antara suami istri itu.
“Maafkan aku. Gara-gara tindakanku yang terlalu impulsif, mereka semua merecoki kita dengan uang itu. Sebaiknya kita segera mengembalikannya secepat mungkin,” bisik Angela yang masih memegang erat-erat tangan suaminya.
Alan hanya bisa menghela napas berat. “Apa yang sudah terjadi, ya, sudah terjadi. Kenapa kamu harus berkata kalau itu adalah uang dari rekan bisnisku? Tidakkah kamu akan membuat masalah lebih besar lagi?”
Angela juga tidak tahu kenapa dia sampai spontan berkata demikian. Satu-satunya alasan yang masuk akal dan mungkin bisa diterima oleh ayahnya hingga tidak diganggu lebih jauh lagi hanyalah dengan mengatakan kebohongan tersebut.
Dengan mata terpejam erat, Angela membalasnya cepat, “Maaf. Aku tidak tahu harus berpikir apa lagi agar mencegah mereka mengambil uang itu. Sepertinya, aku benar-benar sangat stres akhir-akhir ini.”
Tiba-tiba saja, Alan segera memeluk istrinya. “Kamu selalu melindungiku dengan berbagai cara. Aku sangat senang, tapi juga sangat sedih karena membuatmu harus menderita di saat yang sama. Ke depannya, tolong jangan seperti itu lagi. Aku tidak ingin kamu dan keluargamu bertengkar gara-gara aku. Kamu tahu kalau aku begitu merindukan sebuah keluarga. Jangan sia-siakan mereka meski berbeda pendapat, Angela.”
Kilas balik itu akhirnya berhenti di otak Angela.
Dia dan ibunya masih saling tatap dalam diam sementara para tamu mulai bisik-bisik heboh di belakang.
“Sekar, aku pikir yang dikatakan oleh putrimu itu benar adanya. Bukankah saat kamu jatuh dari tangga, kamu hampir saja benar-benar cilaka? Untung saja kamu hanya mengalami gegar otak ringan. Katanya, kalau tidak segera ditolong dari kecelakaan seperti itu, sudah pasti akan lumpu. Paling parahnya, ya, meninggal kehabisan darah,” komentar seorang wanita di antara para tamu di sana.