Prologue
Loving you is like having a beautiful wound
My heart is hurting in all these sad days
Even though you’re looking at someone else
I still looked only at you
And the tears keep coming
***
“Rania awasssss.” Teriakan Kirana membuyarkan lamunan Rania tentang Aksa, dan saat itu juga Rania melihat truk yang terlihat ugal-ugalan dan keluar batas jalan, padahal saat ini mereka sedang berada di jalan dengan jalur one way, tapi truk dari arah lain itu masuk ke jalur yang tidak seharusnya, yang sedang dilewati Rania dan Kirana.
“Arrgghh...” Rania membanting stirnya ke kanan, membuat tubuhnya terpental keluar mobil membentur pembatas jalan, dan pening langsung menyerang kepalanya seketika, ia melihat Kirana yang bersimbah darah di dalam mobil, dengan kepala yang terasa sakit, gadis itu berusaha untuk bangkit dan menolong Kirana dibantu oleh beberapa orang yang mulai berdatangan.
“Kirana bertahanlah, maafkan aku, sungguh aku tidak menyadarinya tadi.” Rania terus menggenggam tangan Kirana selama menuju rumah sakit, ia benar-benar takut saat ini, jika saja terjadi sesuatu yang parah dengan Kirana ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Kepala Kirana masih mengeluarkan darah begitu juga dengan tangan dan kakinya yang mengalami lecet karena terkena pecahan kaca mobil. Ia berteriak meminta tolong, kenapa disaat seperti ini pertolongan begitu lambat ia dapatkan? Dan kenapa orang-orang justru hanya memandang iba ke arahnya, yang ia butuhkan tim medis secepatnya bukan tatapan iba itu, dengan memangku tubuh Kirana yang bersimbah darah, ia menangis, merutuki kebodohannya yang melamun saat menyetir.
Tak berapa lama ambulance datang, Kirana segera diangkat ke brankar dan di bawa menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Rania menangis, ia terus menggenggam tangan Kirana dan berdoa semoga tak ada hal buruk yang terjadi pada Kirana.
Rania terus berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD. Kepalanya terus berdengung pening semakin sakit, namun ia menghiraukannya, Kirana lah yang menjadi prioritasnya saat ini. Ia terlihat gelisah di depan ruang UGD, namun rasa gelisah itu berubah menjadi terkejut saat ia merasa pipinya perih seketika.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Rania membuat tubuhnya sedikit limbung, tamparan dari tangan orang yang sangat ia hormati dan ia kagumi di dunia ini. Ayahnya, yang menatap murka ke arahnya, rahangnya mengeras dan wajahnya memerah menahan amarah. Sedangkan Bundanya memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah tak sudi walau hanya sekedar menatapnya.
“Apa yang kau lakukan dengan saudaramu hah? Bisakah kau tidak membuat masalah sehari saja? Kau lihat sekarang kelakuan bengalmu mencelakai saudaramu, aku tidak pernah merasa mempunyai anak yang memiliki kelakuan urakan sepertimu, sungguh kau membuatku malu.” Perkataan Keanu membuat Rania meneteskan air mata, rasa sesak di dadanya menyeruak ke permukaan, Akira bahkan tidak membelanya, wanita itu sibuk menangis, dan Rania mengerti itu, ia telah menyakiti hati kedua orang tuanya, dengan mencelakai anak mereka, tapi apa Ayahnya harus berkata seperti itu, seolah menyesal jika Kirana terlahir kembar.
“Ayah.” Rania menutup mulutnya, air mata yang tidak pernah ia perlihatkan kepada siapa pun kini justru menyeruak mengalir membasahi wajahnya.
“Bunda,” Rania berjalan menghampiri Akira. Namun saat dia mendekat, gelengan dari Akira memukul telak ulu hatinya, bahkan orang yang telah melahirkannya saja tidak sanggup untuk melihatnya.
Ia menggigit bibir bawahnya dan memlih pergi, namun sebelum ia pergi ia mendengar pintu UGD yang terbuka dan dokter yang mengatakan jika kondisi Kirana sudah stabil, membuatnya benar-benar merasa lega.
“Rania,” Aksa menghampirinya, saat di lobi rumah sakit. Pria itu baru saja tiba setelah mendapat kabar dari asistent rumah tangga keluarga Rania, tadinya ia berniat belajar bersama Kirana seperti biasanya, namun yang ia dapatkan adalah kabar mengejutkan tentang kecelakaan Rania dan Kirana.
“Bagaimana keadaan Kirana?” Rania tersenyum miris, bahkan sahabatnya lebih mengkhawatirkan Kirana daripada dirinya, sekali lagi ia tersenyum miris, semuanya benar-benar berubah.
“Dia..baik-baik saja.” Ujar Rania berusaha tersenyum walau hatinya terasa perih, apalagi saat melihat tatapan kecewa Aksa untuknya.
“Aku tahu kau iri dengan Kirana, namun bukan begini caranya, bukan dengan cara kau mencelakainya, bagaimanapun dia saudaramu, dan aku baru sadar mengapa orang tuamu lebih menyayangi Kirana, itu semua karena dirimu sendiri, kelakuanmu yang membuat mereka lebih menyayangi Kirana, dan aku benar-benar kecewa padamu, kau….kau telah mencelakai gadis yang kusukai.”
Aksa pergi setelah mengatakan itu, tubuh Rania bergetar hebat mendengar setiap perkataan yang keluar dari bibir Aksa, ia tidak menyangka sahabatnya menyakitinya dengan kata-kata tajam yang menusuk hati, sahabat? Masihkah ia pantas disebut sahabat, bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya untuk mencelakai Kirana, bagaimana mungkin ia mencelakai saudara yang sangat disayanginya itu, walaupun ia tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya namun ia sangat menyayangi Kirana. Luka itu kembali menyeruak saat perkataan tajam dan pernyataan perasaan Aksa terhadap Kirana terdengar oleh indra pendengarnya, bahkan rasa sakit itu semakin sakit, saat ia tahu jika Aksa mencintai Kirana.
“Nona kau baik-baik saja? Wajahmu sangat pucat.” Tanya seorang suster yang melihat Rania berjalan dengan sempoyongan dan memegangi kepalanya, Rania hanya mengangguk karena ia merasa bahkan untuk mengeluarkan suara pun tidak sanggup. Ia berniat menuju ruang rawat Kirana, setidaknya ia harus meminta maaf kepada Kirana.
“Kirana,” Panggil Rania lirih, begitu berada di ambang pintu ruang rawat Kirana, Kirana yang melihat kedatangan Rania tersenyum.
“Rania...kau baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkanmu tadi.” Kirana tersenyum tulus, begitu cantik seperti biasanya yang akan membuat semua pria luluh.
“Aku baik-baik saja, kau seharusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri.”
Rania tersenyum lemah, ia melihat ke arah Aksa yang berdiri berseberangan dengannya, dan ia kembali tersenyum miris saat Aksa mengabaikannya, bahkan pria itu tak menatap ke arahnya. Sepertinya Aksa benar-benar tidak peduli dengan kehadiran Rania.
“Aksa, kau tumben sekali diam, Rania di sini.” Kirana merasa aneh dengan sikap Aksa yang tidak biasanya, pria itu biasanya akan hiperaktif jika ada Rania, menggoda, mengejek, kadang merajuk pada Rania, namun kini yang ia lihat adalah Aksa yang seolah benar-benar tidak menginginkan kehadiran Rania di ruang rawatnya.
“Ohk,” Aksa menatap Rania sekilas, membuat sakit itu semakin terasa di d**a Rania, saat Aksa benar-benar mengacuhkannya.
“Apa ada sesuatu yang aku lewatkan? Kau bertengkar dengan Rania?” Kirana menatap Aksa menuntut jawaban, sepertinya rasa penasaran Kirana tidak mudah hilang begitu saja.
“Tak apa, Kirana, aku akan pulang untuk mengambil bajumu, nanti aku kembali lagi.” Rania tersenyum dipaksakan. Ia berbalik dan saat itu juga ia merasakan kepalanya mendengung sakit tak tertahankan seperti dijatuhi sesuatu yang sangat berat.
“Uhuk... Uhuk....”Rania terbatuk, juga memegangi kepalanya yang terasa dijatuhi ribuan batu, ia jatuh terduduk, satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk memegangi kepalanya yang mendengung sakit.
“Kirania.” Teriak Kirana melihat Rania memuntahkan darah dari mulutnya, membuat Aksa langsung mendongakkan wajahnya dan begitu terkejut melihat keadaan Rania yang terlihat kesakitan.