Kami berakhir di ruang pengadilan. Sertifikat perceraian sudah berada ditanganku yang
mengonfirmasi bahwa kita tidak saling memiliki lagi. Aku telah menghabiskan waktu
bertahun-tahun untuk mencoba membuatnya mencintaiku. Aku tidak sempurna dalam sejuta
hal, tetapi aku selalu berpikir bahwa aku adalah tipe istri yang akan setia kepada suami.
Katamu, ini adalah kesalahanmu. Tapi sepertinya kesalahan ini adalah milikku, karena terlalu
mempercayaimu. Aku akan tetap berada disini untuk bersedih sebentar saja.
Sekitar dua minggu yang lalu, pada pukul 11 malam, teleponku berbunyi dengan pesan
ini:
“Apa kabarmu?”
Kami telah tinggal terpisah semenjak aku memergokinya berselingkuh. Aku merasa tidak
sepenuhnya siap, sehingga memutuskan untuk mengabaikan pesan darinya.
Keranjang penuh berisi pernak-pernik yang akan kami gunakan untuk menghiasi pohon
natal, sudah disiapkan sejak enam bulan sebelum perceraian kami. Aku akhirnya memutuskan
untuk berhenti memikirnya. Dialah yang menyebabkan tubuhku terasa seperti tubuh seorang
penderita kanker. Kanker yang menggerogoti, seperti ngengat di lemari pada musim semi.
Sehingga kini, tubuhku bagai tulang dengan seonggok daging yang tak bertuan. Aku menatap
foto natal kami tahun lalu. Tidak tahukah bahwa kamu sangat penting bagiku? Tidak ada lagi
pangsit ayam, atau suwiran daging sapi rebus; tidak ada lagi keributan saat kami bangun pagi
karena rumah yang dipenuhi bungkusan popcorn, setelah menghabiskan malam bersama
dengan menonton tayangan favoritmu ‘A California Christmast’. Tidak ingatkah kamu dengan
hari-hari panjang yang kita lalui bersama? Aku menaruh hatiku di dalam kotak kecil di lemari
itu bersama sepatu Nike yang ingin lari dari kesuraman yang menggerogotiku; namun mereka
terjebak di ruangan ini bersamaku. Sang pemilik sepatu sudah berlabuh di hati wanita yang
lebih sempurna dariku.
Vernor dan aku telah bersama selama 8 tahun, menikah selama 3 tahun. Kami saling
melengkapi satu sama lain dan tampaknya baik-baik saja. Aku bertemu Vernor ketika kami
berdua berada di lift sekolah menengah. Lift itu berada dekat dengan kelas intensif bahasa
Prancis yang terletak di sebuah desa kecil kuno bernama Val Saint Andre, tepat di atas bukit
curam dari kota indah di Prancis bagian selatan bernama Aix en Provence. Sebagai siswi
pertukaran pelajar dari Illinois, aku berusaha menyapanya terlebih dahulu. Aku menyadari
bahwa pria itu terlihat manis dengan aksen Kanada yang ia miliki. Tinggi badanku hanya
beberapa inci di atas 5 kaki, dan cenderung menyukai pria yang jauh lebih tinggi dan
berbadan kekar sepertinya.
Saat itu, Vernor adalah seorang anak berusia 18 tahun, kami seumuran, tetapi dia adalah
kakak tingkatku. Dia sama sepertiku, suka belajar banyak bahasa dan petualangan; buku dan
musik; dan hal-hal yang mustahil dilakukan oleh anak penyandang d*********s sepertinya.
Vernor mengidap rheumatoid arthritis ketika berusia 7 tahun sehingga harus menggunakan
kursi roda. Aku tau bahwa dia adalah orang Kanada dari kota bersalju 500 mil di utara
Vancouver, British Columbia yang juga seorang murid pertukaran pelajar kala itu.
Kami menyadari bahwa latar belakang kami, keluarga, dan pengalaman hidup kami,
bahkan kecacatan kami, sangat berbeda dan kontras. Aku adalah seorang gadis buta warna
dan anak hedonis agnostik yang tumbuh dalam keluarga pecandu alkohol di Portland, Oregon.
Vernor dibesarkan di sebuah rumah dengan keluarga religius yang menanamkan kekuatan dan
nilai-nilai positif dimanapun ia berada. Kami tetap dekat selama 5 tahun sejak pertemuan itu,
hingga akhirnya menikah.
Ah! Tapi, ini sangat menyedihkan untuk dikenang, dengan apa dan mengapa kami
bertemu hingga akhirnya saling jatuh cinta, lalu berpisah. Aku memutuskan untuk
menyalakan api unggun di suhu yang mencapai 9° C bersama secangkir kopi panas di ruang
keluarga.
Sebulan yang lalu, Vernor dan wanita itu mengatur sebuah pertemuan denganku agar
kisah kami tidak terlampau rumit sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengajukan
gugatan cerai di pengadilan. Dia berselingkuh ketika aku hamil anak pertama kami. Aku
menemukan perselingkuhan tersebut ketika usia kandunganku masih tujuh bulan dan
menyebabkan anakku terlahir secara prematur. Dia meninggalkanku, sesaat setelah aku
mengakhiri kontrak dengan sebuah perusahaan penerbitan buku disaat karir menulisku sedang
berada di puncak kejayaan. Saat itu, aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga untuk
membesarkan anak kami tanpa bantuan pengasuh.
Setiap hari aku merasa seperti orang bodoh dan kehilangan semua harga diriku, atau
mungkin aku tidak pernah memilikinya? Kami sudah 3 tahun bersama. Ini adalah pertama
kalinya dia meninggalkanku demi seorang gadis berusia 19 tahun.