Chapter 1: A Woman Dead in Her Forties

680 Kata
Kami berakhir di ruang pengadilan. Sertifikat perceraian sudah berada ditanganku yang mengonfirmasi bahwa kita tidak saling memiliki lagi. Aku telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba membuatnya mencintaiku. Aku tidak sempurna dalam sejuta hal, tetapi aku selalu berpikir bahwa aku adalah tipe istri yang akan setia kepada suami. Katamu, ini adalah kesalahanmu. Tapi sepertinya kesalahan ini adalah milikku, karena terlalu mempercayaimu. Aku akan tetap berada disini untuk bersedih sebentar saja. Sekitar dua minggu yang lalu, pada pukul 11 malam, teleponku berbunyi dengan pesan ini: “Apa kabarmu?” Kami telah tinggal terpisah semenjak aku memergokinya berselingkuh. Aku merasa tidak sepenuhnya siap, sehingga memutuskan untuk mengabaikan pesan darinya. Keranjang penuh berisi pernak-pernik yang akan kami gunakan untuk menghiasi pohon natal, sudah disiapkan sejak enam bulan sebelum perceraian kami. Aku akhirnya memutuskan untuk berhenti memikirnya. Dialah yang menyebabkan tubuhku terasa seperti tubuh seorang penderita kanker. Kanker yang menggerogoti, seperti ngengat di lemari pada musim semi. Sehingga kini, tubuhku bagai tulang dengan seonggok daging yang tak bertuan. Aku menatap foto natal kami tahun lalu. Tidak tahukah bahwa kamu sangat penting bagiku? Tidak ada lagi pangsit ayam, atau suwiran daging sapi rebus; tidak ada lagi keributan saat kami bangun pagi karena rumah yang dipenuhi bungkusan popcorn, setelah menghabiskan malam bersama dengan menonton tayangan favoritmu ‘A California Christmast’. Tidak ingatkah kamu dengan hari-hari panjang yang kita lalui bersama? Aku menaruh hatiku di dalam kotak kecil di lemari itu bersama sepatu Nike yang ingin lari dari kesuraman yang menggerogotiku; namun mereka terjebak di ruangan ini bersamaku. Sang pemilik sepatu sudah berlabuh di hati wanita yang lebih sempurna dariku. Vernor dan aku telah bersama selama 8 tahun, menikah selama 3 tahun. Kami saling melengkapi satu sama lain dan tampaknya baik-baik saja. Aku bertemu Vernor ketika kami berdua berada di lift sekolah menengah. Lift itu berada dekat dengan kelas intensif bahasa Prancis yang terletak di sebuah desa kecil kuno bernama Val Saint Andre, tepat di atas bukit curam dari kota indah di Prancis bagian selatan bernama Aix en Provence. Sebagai siswi pertukaran pelajar dari Illinois, aku berusaha menyapanya terlebih dahulu. Aku menyadari bahwa pria itu terlihat manis dengan aksen Kanada yang ia miliki. Tinggi badanku hanya beberapa inci di atas 5 kaki, dan cenderung menyukai pria yang jauh lebih tinggi dan berbadan kekar sepertinya. Saat itu, Vernor adalah seorang anak berusia 18 tahun, kami seumuran, tetapi dia adalah kakak tingkatku. Dia sama sepertiku, suka belajar banyak bahasa dan petualangan; buku dan musik; dan hal-hal yang mustahil dilakukan oleh anak penyandang d*********s sepertinya. Vernor mengidap rheumatoid arthritis ketika berusia 7 tahun sehingga harus menggunakan kursi roda. Aku tau bahwa dia adalah orang Kanada dari kota bersalju 500 mil di utara Vancouver, British Columbia yang juga seorang murid pertukaran pelajar kala itu. Kami menyadari bahwa latar belakang kami, keluarga, dan pengalaman hidup kami, bahkan kecacatan kami, sangat berbeda dan kontras. Aku adalah seorang gadis buta warna dan anak hedonis agnostik yang tumbuh dalam keluarga pecandu alkohol di Portland, Oregon. Vernor dibesarkan di sebuah rumah dengan keluarga religius yang menanamkan kekuatan dan nilai-nilai positif dimanapun ia berada. Kami tetap dekat selama 5 tahun sejak pertemuan itu, hingga akhirnya menikah. Ah! Tapi, ini sangat menyedihkan untuk dikenang, dengan apa dan mengapa kami bertemu hingga akhirnya saling jatuh cinta, lalu berpisah. Aku memutuskan untuk menyalakan api unggun di suhu yang mencapai 9° C bersama secangkir kopi panas di ruang keluarga. Sebulan yang lalu, Vernor dan wanita itu mengatur sebuah pertemuan denganku agar kisah kami tidak terlampau rumit sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Dia berselingkuh ketika aku hamil anak pertama kami. Aku menemukan perselingkuhan tersebut ketika usia kandunganku masih tujuh bulan dan menyebabkan anakku terlahir secara prematur. Dia meninggalkanku, sesaat setelah aku mengakhiri kontrak dengan sebuah perusahaan penerbitan buku disaat karir menulisku sedang berada di puncak kejayaan. Saat itu, aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga untuk membesarkan anak kami tanpa bantuan pengasuh. Setiap hari aku merasa seperti orang bodoh dan kehilangan semua harga diriku, atau mungkin aku tidak pernah memilikinya? Kami sudah 3 tahun bersama. Ini adalah pertama kalinya dia meninggalkanku demi seorang gadis berusia 19 tahun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN